LPK DI NEGARA ASIA:
1. Indonesia (PT ASKRINDO dan Perum JAMKRIDO)
2. India (Credit Guarantee Fund Trust Small and Medium Enterprise (CGTSME)) .
3. Korea (Korea Federation of Credit Guarantee Foundation (KOREG) dan Korea Credit Guarantee Fund (KODIT)) .
4. Thailand (Small Business Credit Guarantee Corporation (SBCGC)) .
5. Philipina (Small Business Guarantee & Finance Corporation (SBGFC).
6. Taiwan (Small & Medium Enterprise Credit Guarantee Fund of Taiwan).
7. Malaysia (Credit Guarantee Corporation Malaysia Berhad (CGCMB)).
8. Sri Lanka (Central Bank of Sri Lanka (CSBSL)) .
9. Nepal (Deposit & Credit Guarantee Corporation).
10. Jepang (Japan Finance Corporation (JFC) dan NFCGC).
LPK di Asia ini tergabung dalam ACSIC (Assosiation Credit Supplementation Institution Confederation) yang setiap tahunnya diadakan ACSIC Training Program (ATP) dan ACSIC Conference. Berikut artikel ini adalah buah oleh-oleh kunjungan dari ATP ke 20 di Mumbai, India tanggal 1-6 Agustus 2010.
I. Potret Singkat Usaha Penjaminan Kredit di Negara-Negara Asia
Usaha penjaminan kredit yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC telah memberikan kontribusi yang nyata dalam mengembangkan UMKM dan mampu menggerakan ekonomi sektor riil. Program penjaminan kredit UMKM didukung sepenuhnya oleh pemerintah dalam bentuk bantuan keuangan. Dalam menjalankan usaha penjaminan kredit, LPK meng-asuransikan kembali penjaminan kredit kepada Re-guarantor/perusahaan Reasuransi seperti halnya yang dilakukan oleh JFC di Jepang. Dengan adanya risk sharing ini kerugian LPK dapat dikurangi pada batas yang diterima oleh LPK.
Secara umum perusahaan LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC memiliki karakteristik yang sama yaitu sebagai berikut :
1. Shareholder LPK dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah memberikan dukungan keuangan kepada LPK dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM
2. Usaha penjaminan kredit UMKM cenderung merugi karena usahanya sebagian besar menjamin kredit.
3. Di negara Jepang, Korea, Taiwan dan India telah mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam meningkatkan pelayanan baik dalam proses akseptasi maupun pada saat pembayaran klaim.
4. Ada dukungan dari perbankan dalam mengucurkan kredit UMKM dan menjaminkan kredit UMKM kepada LPK miliki pemerintah.
II. Sekilas Strategi bisnis LPK Asia
Materi presentasi yang disajikan oleh peserta ATP memberikan business knowlegde sharing kepada seluruh peserta ATP tentang teknik dan proses akseptasi serta bentuk dukungan pemerintah dalam usaha penjaminan kredit UMKM. Materi tersebut dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan masukan yang bermanfaat bagi perusahaan dan pemerintah agar dapat mendorong pencapaian target dalam mengembangkan UMKM melalui mekanisme penjaminan kredit UMKM. Praktek usaha penjaminan di negara-negara
Asia terutama Jepang, Korea, Taiwan dan India telah menempatkan Teknologi Informasi sebagai pendukung utama yang mengarah pada IT-Driven dalam memberikan pelayanan penjaminan kredit kepada penerima jaminan dan terjamin. IT-driven pada usaha penjaminan kredit sudah menjadi kebutuhan dan keharusan yang dapat disejajarkan dengan IT driven pada usaha perbankan. Di masa depan, IT driven sangat menentukan perkembangan usaha penjaminan kredit dan kualitas penjaminan kredit yang dituntut lebih prudent dan tepat sasaran.
1. Dalam proses akseptasi dan penyelesaian klaim menggunakan sistem informasi dengan Web –based B2B E-Business Model yang dapat mengkoneksikan Core Banking System dengan sistem informasi Askrindo. Proses Web-based B2B E-Business ini dapat melahirkan suatu Pertukaran data real time (real time data exchange) yang didukung dengan MIS dan decision support system yang sudah berjalan dengan baik. Proses akseptasi dan penyelesaian klaim Web-based B2B e-business telah dilakukan oleh CGTSME-India pada proses akseptasi automatic cover dengan karakteristik penjaminan kredit kecil atau memiliki nilai plafond kredit yang tidak besar. Pembayaran premi atau klaim dapat dilakukan secara on-line melalui sistem ini. Pada sistem ini diperlukan kerjasama yang kuat dengan perbankan dalam hal pertukaran data. Proses akseptasi dengan sistem ini diperkirakan dapat mengakselerasikan kenaikan kinerja penjaminan kredit terutama penjaminan kredit kecil atau Kredit usaha rakyat (KUR) seperti yang saat ini dilakukan oleh LPK milik pemerintah. Pembangunan sistem B2B e-business ini memerlukan kesiapan perangkat lunak dan keras teknologi informasi dan kemampuan SDM TI.
2. Kunci sukses dalam melakukan menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM tergantung pada 3 (tiga) aspek yaitu leadership & organization, Sumber daya manusia (Human Resources) dan Evaluasi model & perangkat penilaian yang digunakan. Hal ini telah berhasil dilakukan oleh LPK Korea Selatan” Korea Technology Finance Corporation” (KOTEC) dengan Tri Polar System sehingga kinerja penjaminan kredit dapat meningkat dengan tingkat kegagalan yang relatif rendah atau bisa diterima oleh perusahaan. Kunci utama keberhasilan dalam proses penilaian tersebut ada pada kualitas SDM yang digunakan. Beberapa langkah yang dapat menghasilkan kualitas SDM yaitu sebagai berikut:
a. Program pengembangan SDM yang dilakukan secara berkesinambungan dan tepat guna
b. Pengalaman dan kemampuan dijadikan dasar utama penilaian
c. Untuk memelihara kelangsungannya perlu ada komitmen yang kuat terhadap SDM dengan memberikan reward dan promotion opportunities
3. Pada penjaminan kredit UMKM atau KUR dapat menetapkan tingkat NPL pada suatu periode tertentu bekerjasama dengan mitra bank untuk memperoleh komitmen yang kuat dan penekanan pada prinsip kehatian-hatian. Penetapan NPL kredit UMKM ini ditetapkan untuk memperoleh besaran bantuan pemerintah terhadap kredit UMKM yang menyebabkan klaim seperti yang dilakukan oleh LPK SBCG Thailand. SBCG telah menetapkan tingkat NPL sebesar 15,5 % secara akumulatif dengan Portfolio Guarantee Scheme (PGS) untuk masa penjaminan (term of guarantee) 5 tahun. Pada PGS tersebut, IJP yang dikenakan adalah 1,75 % sehingga selama 5 tahun total IJPnya menjadi 8,75 %. Selisih IJP dengan tingkat NPL 15,5 % yaitu sebesar 6,75 % akan disubsidi oleh
Pemerintah. Pola PGS ini dapat diterapkan di Indonesia dengan komitmen perbankan mitra KUR yang kuat sehingga akan menciptakan usaha bersama dalam menerapkan prinsip kehati-hatian pada saat penyaluran KUR. Pada tahun 2009, NPL KUR di Indonesia telah mencapai 5,83 % dan tingkat NPL ini tidak ada usaha untuk membuat suatu batasan angka NPL tertentu dan dibiarkan bergerak liar sehingga tingkat NPL dapat meningkat tajam. Penetapan NPL KUR secara bersama-sama dengan perbankan mitra akan lebih efektif dan menghemat bantuan keuangan pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Askrindo dan mitranya Jamkrindo dalam mengembangkan amanat program penjaminan KUR dapat men-push pemerintah atau mengusulkan sistem PGS tersebut dengan melibatkan perbankan mitra.
4. LPK dapat membuat suatu program yang dapat membantu UMKM untuk memecahkan masalah manajemen dan permodalan. Seperti halnya yang dilakukan oleh SBCG Thailand yang telah membentuk SMEs Clinic yang memberikan bantuan kepada UMKM berupa informasi dan konsultansi keuangan dan manajemen untuk meningkatkan kinerja UMKM. SMEs Clinic ini juga bekerjasama dengan perbankan mitra yang menyalurkan kredit UMKM agar UMKM yang sehat dapat memperoleh pinjaman/kredit UMKM berdasarkan analisis dan konsultasi SMEs Clinic.
Program ini sebenarnya juga dapat dilakukan juga di Indonesia agar UMKM yang feasible dan unbankable dapat dengan cepat dan efektif menggunakan KUR untuk meningkatkan usahanya. Perbankan mitra diyakini akan tertarik dengan program ini karena dapat menurunkan tingkat NPL KUR secara keseluruhan.
5. LPK dapat mempertimbangkan untuk melakukan penjaminan kredit personal/individu (personal credit guarantee program) bekerjasama dengan perbankan mitra dengan skim yaitu:
Dalam menjalankan usaha penjaminan kredit personal ini harus didukung dengan sistem informasi yang relatif cukup baik antara sistem LPK dengan bank mitra. Skim penjaminan kredit personal ini telah dilakukan oleh LPK Korea yaitu Koreg dengan tingkat NPG-nya sekitar 2,96 %. Selain itu, Koreg juga menerapkan suatu sistem anti fraud dari kredit individu yang dikenal dengan Anti-Fraud Detect Service (AFDS) sehingga NPG program ini dapat diminimalisasi pada tingkat yang diterima oleh perusahaan. Ada beberapa informasi yang dapat dieksplorasi dari AFDS yaitu rekaman data historis keuangan pegawai sebagai peminjam/borrower yang pernah mengalami default atau dikategorikan black list dan black list dari orang-orang yang tergabung dalam mafia kejahatan/orang-orang yang pernah punya itikad tidak baik. Dari AFDS ini juga dapat menentukan limit penjaminan kredit personal. Berdasarkan data empiris NPG penjaminan kredit personal ini, tingkat IJP yang harus dibayar minimal sama dengan NPG empiris.
Pertukaran data sistem perbankan dan sistem LPK ini menjadi bagian yang kritis dan penting dalam menerapkan prinsip ke-hati-hatian dan mencegah kerugian yang lebih besar lagi. Disamping itu, langkah yang dilakukan untuk menurunkan risiko kerugian antara lain melakukan prosedur verifikasi pendapatan/gaji pegawai debitur yang relatif ketat.
6. Untuk mengurangi risiko penjaminan sekaligus meminimalisasi tingkat NPG, di Jepang dilakukan pre claim treatment berupa postpone repayment. Selain itu, untuk mencegah adanya kelompok debitur yang tidak memiliki itikad baik dalam proses penyaluran kredit UMKM melalui mekanisme penjaminan kredit maka LPK bekerjasama dengan pihak kepolisian. Kerjasama dengan pihak Kepolisian ini juga memiliki fungsi untuk meningkatkan penerimaan recovery dari debitur/UMKM yang mengalami gagal bayar kredit. Pertukaran data antara sistem LPK di Jepang (Credit Guarantee Corporate (CGC)) dengan pihak Kepolisian tentang debitur/UMKM yang tidak memiliki itikad baik sangat mempengaruhi keberhasilan kerjasama tersebut. Sistem minimalisasi risiko penjaminan kredit ini dapat dilakukan juga oleh LPK di Indonesia bekerjasama dengan Kepolisian dengan menerbitkan suatu MOU kerjasama jangka panjang atau jangka pendek. Kerjasama ini juga akan memberikan suatu shock terapy bagi debitur/UMKM yang tidak memiliki itikad baik agar tetap menaati perjanjian kerjasama penerimaan kredit dari perbankan dan penjaminan dari LPK.
7. Peranan teknologi informasi dalam usaha penjaminan kredit telah merubah strategi peningkatan pelayanan nasabah dari manual menuju sistem on-line berbasis Web. LPK di beberapa negara Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea dan India telah melakukan pelayanan penjaminan pada proses akseptasi/ penutupan yang cepat dengan menggunakan web-based / on line system yang dilengkapi dengan on line interactive training modul. Proses akseptasi melalui on-line system berbasis Web ini diperuntukan pada penjaminan kredit skala kecil dan risiko kreditnya telah dianalisis secara maksimal oleh perbankan. Pada proses on-line ini LPK sebagai follower of bank. Sebagian LPK di negara Asia juga telah melakukan pembaharuan dari manual claim settlement ke on line claim settlement.
8. Penjaminan kredit UMKM merupakan program yang diarahkan untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Jumlah LPK di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah hanya 2 (dua) LPK yaitu Askrindo dan Jamkrindo kurang optimal dalam menjamin kredit UMKM karena usaha tersebut tidak dapat menjangkau UMKM di seluruh Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi. Usaha penjaminan kredit UMKM perlu perpanjangan tangan atau ekspansi bisnis dengan melibatkan Pemerintah Daerah dalam bentuk Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) seperti yang dilakukan oleh negara Jepang dan Korea. Untuk menekan kerugian penjaminan kredit daerah diperlukan mekanisme penjaminan ulang (re-guarantee) dari LPK milik Pemerintah seperti Askrindo sebagai re-guarantor. Peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha penjaminan kredit yang melibatkan re-guarantor dan LPKD ini adalah:
1. Memberikan dukungan regulasi yang dapat memperluas gerak usaha penjaminan daerah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak swasta.
2. Memberikan dukungan bantuan keuangan kepada LPK dan re-guarantor berupa subsidi premi dan pembayaran klaim atas penjaminan dan re-guarantee yang gagal, serta Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi premi dan klaim bagi LPKD berdasarkan coverage penjaminan dan penjaminan ulang (re-guarantee) yang telah disepakati.
Penjaminan Kredit Untuk Kemakmuran Rakyat. Risiko usaha Penjaminan lbh besar dibandingkan dengan perbankan krn melibatkn tiga pihak sehingga diperlukan Budaya Risiko yang kuat dalam proses bisnis & pengelolaan risiko korporat yang menjadi sahabat seluruh unit kerja (risk taking unit). Usaha penjaminan dapat sustain dengan cara mendiversifikasi usaha penjaminan yang menguntungkan. Sertifikasi Manajemen Risiko harus mutlak menjadi persyaratan promosi jabatan dalam jenjang karir pegawai.
Kamis, Agustus 26, 2010
PROGRAM MULTIPLE TRI STAR LPKD MEMPERKUAT DUKUNGAN PENGEMBANGAN UMKM DI DAERAH
I. PENDAHULUAN
Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, UMKM telah menunjukkan peran yang sangat penting dalam menggerakkan ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Sejalan dengan itu, perhatian pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap sektor UKM pun dari waktu ke waktu semakin besar. Peranan UKM terhadap perekonomian pada saat krisis telah terbukti memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan entitas ekonomi lainnya dan tetap eksis memberikan kontribusi yang relative besar dalam pemulihan ekonomi. Pada saat ekonomi stabil pun, peranan UKM tetap dominan sebagai penopang ekonomi yang kokoh seperti yang dilansir dalam berbagai data resmi pemerintah.
Selain memiliki daya tahan ekonomi relatif cukup baik pada saat krisis ekonomi, kontribusi ekonomi UKM terhadap ekonomi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Begitu pentingnya kinerja sektor riil yang dimotori UKM untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah telah berupaya menggunakan seluruh kebijakan ekonomi untuk mendukung pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM). Salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendukung pengembangan UMKM yaitu dengan menggunakan mekanisme penjaminan kredit UMKM yang dapat mempermudah akses keuangan UMKM dari perbankan. Kebijakan strategis pemerintah ini memperoleh respon positif dari perbankan dan Lembaga Penjaminan di Indonesia.
Perkembangan usaha penjaminan menunjukkan perkembangan yang dinamis yang diindikasikan dengan dukungan Pemerintah sebagai regulator dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi pemerintah ini telah memberikan peluang usaha penjaminan yang lebih besar lagi dalam upaya pengembangan UMKM melalui Aliansi dengan Pemerintah Daerah dalam bentuk Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD)/Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). LPKD dibentuk dengan pola kerjasama/mitra antara Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) yang sudah eksis dengan Pemerintah Daerah dan tak menutup kemungkinan diperluas dengan melibatkan pihak swasta di daerah.
Pembentukan LPKD harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dasar hukum pendirian LPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi Perusahaan sebagai dampak positif dari perubahan eksternal, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”
Dari bunyi ketentuan tersebut, terdapat dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, bahwa perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan.
II. MULTIPLE STAR LPKD
Peluang usaha penjaminan dalam mendukung pengembangan UMKM yang relatif besar dan memperoleh respon positif dari perbankan, perlu ditangkap oleh LPK dengan mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak eksternal terutama Pemerintah Daerah dan Perbankan.
Strategi Aliansi LPK yang akan ditetapkan bertujuan untuk memperluas dan memperkuat (enlargement and empowered) kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Perbankan serta dimungkina dengan pihak Swasta melalui optimalisasi usaha penjaminan kredit dalam rangka mengembangkan UMKM di seluruh wilayah potensi UMKM di Indonesia. Strategi aliansi juga akan mengeksplorasi potensi bisnis penjaminan kredit daerah yang relatif besar sehingga menjadi icon bisnis penjaminan kredit LPK.
Strategi Aliansi dalam usaha penjaminan kredit diutamakan pada pengembangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) yang mengoptimalkan peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Perbankan. Dalam implementasi usaha PPKD dituntut komitmen dan strategi yang baik berdasarkan potensi ekonomi, pasar dan aturan regulasi yang berlaku. Optimalisasi implementasi strategi aliansi dilakukan melalui suatu program Multiple Tri Star PKD (MTS PKD) yang melibatkan LPK, Pemda, dan Perbankan dalam penjaminan kredit daerah.
Strategi Aliansi LPK yang dimiliki Pemerintah dijalankan dengan mempertimbangkan kapasitas penjaminan LPK maupun Pemda dan perbankan agar dapat memenuhi tuntutan regulasi yang ada. Rencana strategi aliansi ini dapat memberikan berbagai alternatif posisi LPK dalam pengembangan PPKD yaitu:
1. Sebagai perusahaan Holding yang memiliki penyertaan MODAL Lembaga Penjaminan Kredit Daerah yang tersebar di seluruh provinsi.
2. Sebagai Re-Guarantor atau Co-Guarantor yaitu sebuah perusahaan yang memperoleh dukungan finansial dari pemerintah dalam melakukan kegiatan penjaminan kembali PKD
3. Sebagai perusahaan Lembaga Penjaminan Kredit Induk yang memiliki unit kerja di daerah yang berperan sebagai joint bussiness dengan Pemda dan Perbankan seperti posisi PT. LPK menjalankan PPKD saat ini (As it is).
4. Sebagai LPK yang berfungsi sebagai mitra business yang mendampingi LPKD dalam bentk technical assisstants.
Tujuan pembentukan PPKD ini memberikan manfaat kepada Pihak Tri Star (Pemda, LPK, dan Bank) adalah sebagai berikut:
MANFAAT UNTUK PIHAK PEMDA
(a) OPTIMALISASI PEMANFAATAN DANA APBD
(b) PENGEMBANGAN UMKM
(c) PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN DI DAERAH
(d) PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
(e) PENYEDIAAN LAPANGAN PEKERJAAN
(f) MENGURANGI COST OF DEVELOPMENT PEMDA
MANFAAT UNTUK BANK
(a) MEMBANTU PENYALURAN KREDIT
(b) PENGENDALIAN RISIKO KREDIT
(c) PENDAPATAN MENINGKAT
MANFAAT UNTUK LPK
(a) MENDUKUNG PENGEMBANGAN UMKM DI DAERAH
(b) RISIKO KERUGIAN DITANGGUNG BERSAMA
(c) MEMBANTU PEMDA DALAM MEMBENTUK LEMBAGA PENJAMINAN
III. BENTUK ALIANSI TRI STAR
Untuk merealisasikan strategi aliansi tersebut perlu suatu skema usaha penjaminan yang mengakomodir seluruh kepentingan komponen Tri Star (LPK, Pemda, dan Perbankan) dalam bisnis penjaminan kredit UMKM . Skema usaha penjaminan dimana LPK sebagai titik sentral dari pengembangan PPKD harus berdasarkan pada kepentingan bisnis perusahaan dan kepentingan pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Bentuk Strategi aliansi yang dapat diterapkan ada beberapa bentuk seperti pada model di bawah sebagai berikut:
3.1. LPK sebagai Holding PPKD
3.2. LPK sebagai Co-Guarantor
Untuk membantu PPKD memperbesar kapasitas penjaminan dan melakukan risk spreading dibutuhkan suatu Co-Guarantor atau Re-Guarantor dengan coverage re-guarantee atau co- guarantee berkisar 60 % - 70 % ditanggung oleh LPK. Dengan besaran coverage ini, LPK membutuhkan bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat bisa dalam bentuk PSO atau PMN.
3.3. LPK BUMN.
Bentuk aliansi dengan tetap mempertahankan posisi LPK seperti saat ini (As it is) dapat dilakukan selama regulasi memperbolehkan LPK yang saat ini sebagai perusahaan Asuransi dan penjaminan miliki pemerintah dapat menjalankan usaha penjaminan kredit. Bentuk strategi aliansi ini dapat juga memberikan suatu technical assisstant kepada PPKD yang baru dibentuk.
IV. PELAKSANAAN DI LAPANGAN
Pelaksanaan Strategi Aliansi LPK terutama dalam mengembangkan peran aktif Pemda, perbankan dan pihak swasta dalam pembentukan LPKD harus melibatkan stakeholder lainnya seperti DPRD. LPKD yang dibentuk dengan penyertaan modal daerah (PMD) dari APBD harus memperoleh persetujuan DPRD dengan memperhitungkan akuntabilitas dan azas manfaat baik bagi rakyat khususnya UMKM maupun peningkatan pendapatan/fiskal daerah. LPKD yang dibentuk dengan PMD dapat berbentuk Perum, Perseroan Terbatas maupun Perusahaan Daerah (BUMD) diharuskan berorientasi keuntungan agar ada kontribusi ekonomi pada pendapatan daerah atau peningkatan fiskal daerah. Disamping itu, LPKD juga harus dapat berperan untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui sektor riil berupa kontribusi ekonomi UMKM.
LPKD yang dibentuk tidak menutup kemungkinan dapat berafiliasi dengan pihak swasta yang memiliki visi dan misi menggerakan perekonomian daerah melalui kontirbusi ekonomi UMKM.
Permasalahan LPKD yang hanya menjalankan usaha penjaminan kredit UMK yang cenderung merugi ini dapat diselesaikan dengan cara menjalankan usaha diversifikasi produk non penjaminan kredit UMKM yang bersifat profit oriented seperti penjaminan konsumtif (penjaminan kredit pegawai Pemda, BI, atau DPRD) dan penjaminan produktif yang selektif. Keberhasilan LPKD atau PPKD dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM dan non penjaminan kredit UMKM ditentukan pada manajemen portofolio yang seimbang dan tepat dari kedua usaha tersebut.
LPK sebagai Lembaga Penjaminan Kredit dapat menjadi fasilitator dan berperan aktif baik secara teknikal dan modal dalam pelaksanaan usaha LPKD dengan tetap memperhatikan tuntutan stakeholder LPKD.
V. PERMASALAHAN DAN SOLUSI
Dalam mengimplementasikan strategi aliansi LPK terutama melalui pengembangan PPKD di daerah akan dijumpai berbagai permasalahan yaitu antara lain:
1. Bentuk perusahaan PPKD yang bekerjasama dengan Pemda jika dalam bentuk BUMD dituntut untuk profit oriented, sedangkan usaha penjaminan kredit UMKM berdasarkan pengalaman negara lain (termasuk Indonesia) termasuk usaha yang cenderung merugi. Karakteristik usaha penjaminan kredit UMKM yang merugi ini menjadi tantangan tersendiri bagi stakeholder teratutama DPRD yang menyangkut penggunaan APBD.
2. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang penjaminan kredit UMKM
3. Kurangnya bantuan technical assisstance bagi UMKM dalam mendukung kinerja UMKM baik sebelum maupun sesudah menerima kredit UMKM seperti pada pemasaran produk UMKM maupun kemampuan manajemen lainnya.
4. Belum adanya suatu skema risk spreading dalam usaha penjaminan kredit UMKM sebagai salah satu mitigasi risiko untuk mereduksi risiko PPKD
5. Kurangnya dukungan modal PPKD bagi provinsi/Daerah tingkat II yang miskin yaitu sebesar Rp. 50 milyar.
Agar strategi aliansi LPK dapat berjalan dengan baik, ada beberapa solusi yang dapat mengatasi permasalahan di atas yaitu:
1. PPKD dapat memperoleh keuntungan dengan jalan melakukan diversifikasi produk yang profit oriented seperti penjaminan kredit konsumtif bagi pegawai DPRD atau Pemda atau Instansi Pemeirntah lainnya yang berada di wilayah tersebut serta penjaminan produktif yang selektif dan menguntungkan lainnya.
2. Tenaga ahli dapat diperoleh dari SDM Lembaga Penjaminan yang sudah ada dan kredibil seperti SDM LPK atau dengan melakukan technical assisstant.
3. Untuk membantu PPKD meng-eliminasi risiko kredit yang relatif besar maka perlu suatu re-guarantee atau co-guarantee dari re-guarantor atau co-guarantor. LPK yang memiliki pengalaman dan kapasitas penjaminan yang relatif besar dimungkinkan menjadi re-guarantor/co-guarantor. Posisi LPK sebagai re-guarantor/co-guarantor akan lebih sustain dan optimal jika diberikan bantuan keuangan dari Pemeirntah Pusat untuk mengantisipasi klaim yang relatif besar dan dapat mengurangi modal LPK.
4. Permasalahan permodalan PPKD yang dialami oleh Pemda dapat diatasi dengan cara:
4.a. Melalui fund sharing dari Pemda Kabupaten/Kota yang berada di bawah provinsi yang terkait.
4.b. Melibatkan penyertaan modal Lembaga Penjaminan yang sudah eksis seperti LPK.
4.c. Memanfaatkan dana CSR/PKBL perusahaan BUMN dengan porsi yang effektif misal 30 % dana CSR/PKBL perusahaan BUMN digunakan sebagai kredit KUR yang disalurkan oleh perbankan nasional atau daerah. Pengelolaan dana CSR/PKBL 30 % tersebut dilakukan oleh Kementerian BUMN yang berkoordinasi dengan perbankan.
5. Technical Assisstance yang diperuntukan bagi UMKM baik di bidang pemasaran produk dan lainnya dapat digunakan peranan PPL/KKMB atau lembaga swadaya yang memiliki perhatian tinggi terhadap ekonomi kerakyatan di daerah.
Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, UMKM telah menunjukkan peran yang sangat penting dalam menggerakkan ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Sejalan dengan itu, perhatian pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap sektor UKM pun dari waktu ke waktu semakin besar. Peranan UKM terhadap perekonomian pada saat krisis telah terbukti memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan entitas ekonomi lainnya dan tetap eksis memberikan kontribusi yang relative besar dalam pemulihan ekonomi. Pada saat ekonomi stabil pun, peranan UKM tetap dominan sebagai penopang ekonomi yang kokoh seperti yang dilansir dalam berbagai data resmi pemerintah.
Selain memiliki daya tahan ekonomi relatif cukup baik pada saat krisis ekonomi, kontribusi ekonomi UKM terhadap ekonomi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Begitu pentingnya kinerja sektor riil yang dimotori UKM untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah telah berupaya menggunakan seluruh kebijakan ekonomi untuk mendukung pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM). Salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendukung pengembangan UMKM yaitu dengan menggunakan mekanisme penjaminan kredit UMKM yang dapat mempermudah akses keuangan UMKM dari perbankan. Kebijakan strategis pemerintah ini memperoleh respon positif dari perbankan dan Lembaga Penjaminan di Indonesia.
Perkembangan usaha penjaminan menunjukkan perkembangan yang dinamis yang diindikasikan dengan dukungan Pemerintah sebagai regulator dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi pemerintah ini telah memberikan peluang usaha penjaminan yang lebih besar lagi dalam upaya pengembangan UMKM melalui Aliansi dengan Pemerintah Daerah dalam bentuk Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD)/Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). LPKD dibentuk dengan pola kerjasama/mitra antara Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) yang sudah eksis dengan Pemerintah Daerah dan tak menutup kemungkinan diperluas dengan melibatkan pihak swasta di daerah.
Pembentukan LPKD harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dasar hukum pendirian LPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi Perusahaan sebagai dampak positif dari perubahan eksternal, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”
Dari bunyi ketentuan tersebut, terdapat dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, bahwa perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan.
II. MULTIPLE STAR LPKD
Peluang usaha penjaminan dalam mendukung pengembangan UMKM yang relatif besar dan memperoleh respon positif dari perbankan, perlu ditangkap oleh LPK dengan mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak eksternal terutama Pemerintah Daerah dan Perbankan.
Strategi Aliansi LPK yang akan ditetapkan bertujuan untuk memperluas dan memperkuat (enlargement and empowered) kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Perbankan serta dimungkina dengan pihak Swasta melalui optimalisasi usaha penjaminan kredit dalam rangka mengembangkan UMKM di seluruh wilayah potensi UMKM di Indonesia. Strategi aliansi juga akan mengeksplorasi potensi bisnis penjaminan kredit daerah yang relatif besar sehingga menjadi icon bisnis penjaminan kredit LPK.
Strategi Aliansi dalam usaha penjaminan kredit diutamakan pada pengembangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) yang mengoptimalkan peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Perbankan. Dalam implementasi usaha PPKD dituntut komitmen dan strategi yang baik berdasarkan potensi ekonomi, pasar dan aturan regulasi yang berlaku. Optimalisasi implementasi strategi aliansi dilakukan melalui suatu program Multiple Tri Star PKD (MTS PKD) yang melibatkan LPK, Pemda, dan Perbankan dalam penjaminan kredit daerah.
Strategi Aliansi LPK yang dimiliki Pemerintah dijalankan dengan mempertimbangkan kapasitas penjaminan LPK maupun Pemda dan perbankan agar dapat memenuhi tuntutan regulasi yang ada. Rencana strategi aliansi ini dapat memberikan berbagai alternatif posisi LPK dalam pengembangan PPKD yaitu:
1. Sebagai perusahaan Holding yang memiliki penyertaan MODAL Lembaga Penjaminan Kredit Daerah yang tersebar di seluruh provinsi.
2. Sebagai Re-Guarantor atau Co-Guarantor yaitu sebuah perusahaan yang memperoleh dukungan finansial dari pemerintah dalam melakukan kegiatan penjaminan kembali PKD
3. Sebagai perusahaan Lembaga Penjaminan Kredit Induk yang memiliki unit kerja di daerah yang berperan sebagai joint bussiness dengan Pemda dan Perbankan seperti posisi PT. LPK menjalankan PPKD saat ini (As it is).
4. Sebagai LPK yang berfungsi sebagai mitra business yang mendampingi LPKD dalam bentk technical assisstants.
Tujuan pembentukan PPKD ini memberikan manfaat kepada Pihak Tri Star (Pemda, LPK, dan Bank) adalah sebagai berikut:
MANFAAT UNTUK PIHAK PEMDA
(a) OPTIMALISASI PEMANFAATAN DANA APBD
(b) PENGEMBANGAN UMKM
(c) PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN DI DAERAH
(d) PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
(e) PENYEDIAAN LAPANGAN PEKERJAAN
(f) MENGURANGI COST OF DEVELOPMENT PEMDA
MANFAAT UNTUK BANK
(a) MEMBANTU PENYALURAN KREDIT
(b) PENGENDALIAN RISIKO KREDIT
(c) PENDAPATAN MENINGKAT
MANFAAT UNTUK LPK
(a) MENDUKUNG PENGEMBANGAN UMKM DI DAERAH
(b) RISIKO KERUGIAN DITANGGUNG BERSAMA
(c) MEMBANTU PEMDA DALAM MEMBENTUK LEMBAGA PENJAMINAN
III. BENTUK ALIANSI TRI STAR
Untuk merealisasikan strategi aliansi tersebut perlu suatu skema usaha penjaminan yang mengakomodir seluruh kepentingan komponen Tri Star (LPK, Pemda, dan Perbankan) dalam bisnis penjaminan kredit UMKM . Skema usaha penjaminan dimana LPK sebagai titik sentral dari pengembangan PPKD harus berdasarkan pada kepentingan bisnis perusahaan dan kepentingan pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Bentuk Strategi aliansi yang dapat diterapkan ada beberapa bentuk seperti pada model di bawah sebagai berikut:
3.1. LPK sebagai Holding PPKD
3.2. LPK sebagai Co-Guarantor
Untuk membantu PPKD memperbesar kapasitas penjaminan dan melakukan risk spreading dibutuhkan suatu Co-Guarantor atau Re-Guarantor dengan coverage re-guarantee atau co- guarantee berkisar 60 % - 70 % ditanggung oleh LPK. Dengan besaran coverage ini, LPK membutuhkan bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat bisa dalam bentuk PSO atau PMN.
3.3. LPK BUMN.
Bentuk aliansi dengan tetap mempertahankan posisi LPK seperti saat ini (As it is) dapat dilakukan selama regulasi memperbolehkan LPK yang saat ini sebagai perusahaan Asuransi dan penjaminan miliki pemerintah dapat menjalankan usaha penjaminan kredit. Bentuk strategi aliansi ini dapat juga memberikan suatu technical assisstant kepada PPKD yang baru dibentuk.
IV. PELAKSANAAN DI LAPANGAN
Pelaksanaan Strategi Aliansi LPK terutama dalam mengembangkan peran aktif Pemda, perbankan dan pihak swasta dalam pembentukan LPKD harus melibatkan stakeholder lainnya seperti DPRD. LPKD yang dibentuk dengan penyertaan modal daerah (PMD) dari APBD harus memperoleh persetujuan DPRD dengan memperhitungkan akuntabilitas dan azas manfaat baik bagi rakyat khususnya UMKM maupun peningkatan pendapatan/fiskal daerah. LPKD yang dibentuk dengan PMD dapat berbentuk Perum, Perseroan Terbatas maupun Perusahaan Daerah (BUMD) diharuskan berorientasi keuntungan agar ada kontribusi ekonomi pada pendapatan daerah atau peningkatan fiskal daerah. Disamping itu, LPKD juga harus dapat berperan untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui sektor riil berupa kontribusi ekonomi UMKM.
LPKD yang dibentuk tidak menutup kemungkinan dapat berafiliasi dengan pihak swasta yang memiliki visi dan misi menggerakan perekonomian daerah melalui kontirbusi ekonomi UMKM.
Permasalahan LPKD yang hanya menjalankan usaha penjaminan kredit UMK yang cenderung merugi ini dapat diselesaikan dengan cara menjalankan usaha diversifikasi produk non penjaminan kredit UMKM yang bersifat profit oriented seperti penjaminan konsumtif (penjaminan kredit pegawai Pemda, BI, atau DPRD) dan penjaminan produktif yang selektif. Keberhasilan LPKD atau PPKD dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM dan non penjaminan kredit UMKM ditentukan pada manajemen portofolio yang seimbang dan tepat dari kedua usaha tersebut.
LPK sebagai Lembaga Penjaminan Kredit dapat menjadi fasilitator dan berperan aktif baik secara teknikal dan modal dalam pelaksanaan usaha LPKD dengan tetap memperhatikan tuntutan stakeholder LPKD.
V. PERMASALAHAN DAN SOLUSI
Dalam mengimplementasikan strategi aliansi LPK terutama melalui pengembangan PPKD di daerah akan dijumpai berbagai permasalahan yaitu antara lain:
1. Bentuk perusahaan PPKD yang bekerjasama dengan Pemda jika dalam bentuk BUMD dituntut untuk profit oriented, sedangkan usaha penjaminan kredit UMKM berdasarkan pengalaman negara lain (termasuk Indonesia) termasuk usaha yang cenderung merugi. Karakteristik usaha penjaminan kredit UMKM yang merugi ini menjadi tantangan tersendiri bagi stakeholder teratutama DPRD yang menyangkut penggunaan APBD.
2. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang penjaminan kredit UMKM
3. Kurangnya bantuan technical assisstance bagi UMKM dalam mendukung kinerja UMKM baik sebelum maupun sesudah menerima kredit UMKM seperti pada pemasaran produk UMKM maupun kemampuan manajemen lainnya.
4. Belum adanya suatu skema risk spreading dalam usaha penjaminan kredit UMKM sebagai salah satu mitigasi risiko untuk mereduksi risiko PPKD
5. Kurangnya dukungan modal PPKD bagi provinsi/Daerah tingkat II yang miskin yaitu sebesar Rp. 50 milyar.
Agar strategi aliansi LPK dapat berjalan dengan baik, ada beberapa solusi yang dapat mengatasi permasalahan di atas yaitu:
1. PPKD dapat memperoleh keuntungan dengan jalan melakukan diversifikasi produk yang profit oriented seperti penjaminan kredit konsumtif bagi pegawai DPRD atau Pemda atau Instansi Pemeirntah lainnya yang berada di wilayah tersebut serta penjaminan produktif yang selektif dan menguntungkan lainnya.
2. Tenaga ahli dapat diperoleh dari SDM Lembaga Penjaminan yang sudah ada dan kredibil seperti SDM LPK atau dengan melakukan technical assisstant.
3. Untuk membantu PPKD meng-eliminasi risiko kredit yang relatif besar maka perlu suatu re-guarantee atau co-guarantee dari re-guarantor atau co-guarantor. LPK yang memiliki pengalaman dan kapasitas penjaminan yang relatif besar dimungkinkan menjadi re-guarantor/co-guarantor. Posisi LPK sebagai re-guarantor/co-guarantor akan lebih sustain dan optimal jika diberikan bantuan keuangan dari Pemeirntah Pusat untuk mengantisipasi klaim yang relatif besar dan dapat mengurangi modal LPK.
4. Permasalahan permodalan PPKD yang dialami oleh Pemda dapat diatasi dengan cara:
4.a. Melalui fund sharing dari Pemda Kabupaten/Kota yang berada di bawah provinsi yang terkait.
4.b. Melibatkan penyertaan modal Lembaga Penjaminan yang sudah eksis seperti LPK.
4.c. Memanfaatkan dana CSR/PKBL perusahaan BUMN dengan porsi yang effektif misal 30 % dana CSR/PKBL perusahaan BUMN digunakan sebagai kredit KUR yang disalurkan oleh perbankan nasional atau daerah. Pengelolaan dana CSR/PKBL 30 % tersebut dilakukan oleh Kementerian BUMN yang berkoordinasi dengan perbankan.
5. Technical Assisstance yang diperuntukan bagi UMKM baik di bidang pemasaran produk dan lainnya dapat digunakan peranan PPL/KKMB atau lembaga swadaya yang memiliki perhatian tinggi terhadap ekonomi kerakyatan di daerah.
Langganan:
Postingan (Atom)