Senin, November 08, 2010

PENGELOLAAN GEARING RATIO DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN RISIKO KORPORAT

Pendahuluan
Dalam menjalankan usaha penjaminan yang mengelola risiko usaha diperlukan kapasitas penjaminan yang dapat memastikan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya. Kapasitas penjaminan sangat menentukan jumlah nilai penjaminan yang akan diakseptasi dan kemampuan melakukan kewajibannya. Lembaga Penjaminan tidak boleh melakukan penjaminan melebihi kapasitas penjaminannya karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam penyelesaian klaim yang pada akhirnya akan merugikan penerima jaminan dan atau terjamin. Salah satu ukuran untuk mengukur kapasitas penjaminan adalah Gearing Ratio. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.: 222/PMK.010/2008 yang ditetapkan pada tanggal 16 Desember 2008 tentang Perusahaan Penjaminan kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit Bab XVI Ketentuan Gearing Ratio pasal 42 khususnya yang menerangkan tentang batasan gearing ratio tercantum pada ayat:

(3) Gearing ratio Penjaminan Usaha Produktif paling tinggi penjamin dan penjamin ulang ditetapkan sebesar 10 (sepuluh) kali.

(4) Gearing ratio penjaminan bukan Usaha Produktif Penjamin dan Penjamin Ulang paling tinggi ditetapkan 50 (lima puluh) kali.

Istilah gearing ratio pada awalnya diperkenalkan pada saat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) mulai dijalankan pada akhir tahun 2007 melalui Inpres No. 6/2007 dengan dukungan mekanisme penjaminan KUR. Pemerintah menggunakan indikator gearing ratio sebagai dasar pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Perusahaan Penjaminan dengan harapan nilai KUR yang disalurkan oleh perbankan pelaksana dapat lebih besar lagi dengan adanya skim penjaminan KUR.

Gearing ratio dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan Perusahaan Penjaminan Kredit (PPK) dalam mengakseptasi penjaminan KUR untuk mendukung program pemerintah seperti KUR Inpres No. 6/2007 dimana perbankan yang terlibat memperoleh dorongan dari pemerintah agar mendukung program KUR tersebut. Gearing ratio yang digunakan pada program ini juga dapat dijadikan dasar dalam pemberian modal kapasitas dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) secara proporsional kepada PPK sehingga usaha penjaminan lebih sehat, adil, dan dinamis.

Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi kepada PPK dalam menentukan target gearing ratio yang harus dicapai oleh PPK karena besaran Gearing Ratio tergantung pada dukungan perbankan dalam menyalurkan KUR.

Metode Penghitungan Gearing Ratio

Metode penghitungan Gearing Ratio seperti tercantum pada PMK No. 222/2008 pada pasal 42 ayat (1) dan (2), ada dua cara menurut usaha produktif dan bukan produktif yaitu:

(1) Gearing ratio penjaminan usaha produktif dihitung berdasarkan perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan Usaha Produktif yang dijamin dan modal sendiri bersih Penjamin atau perbandingan antara OUTSTANDING KREDIT DAN/ATAU Pembiayaan usaha produktif yang merupakan beban risiko Penjamin Ulang dan modal sendiri bersih Penjamin Ulang pada waktu tertentu

(2) Gearing ratio penjaminan bukan usaha produktif dihitung berdasarkan perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan bukan usaha produktif yang dijamin dan modal sendiri bersih Penjamin atau perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan bukan usaha produktif yang merupakan beban risiko Penjamin Ulang dan modal sendiri bersih Penjamin Ulang pada waktru tertentu.

Gearing Ratio merupakan suatu ukuran kapasitas portofolio penjaminan outstanding yang dilakukan perusahaan penjaminan dalam satu periode tertentu. Pengertian Gearing ratio yang harus dipahami adalah dalam penentuan gearing ratio dikaitkan dengan asumsi tingkat NPL kredit perbankan atau Non Performance Guarantee (NPG) dalam penjaminan pada suatu waktu tertentu. Dengan demikian, suatu modal sendiri bersih akan habis digunakan untuk membayar kewajiban pada realisasi tingkat NPL perbankan yang telah dijadikan sebagai dasar asumsi penghitungan gearing ratio tersebut.

Contoh penghitungan:
Ada modal sendiri bersih (Equity) sebesar Rp. 1 triliun, berdasarkan data empiris ternyata NPL kredit perbankan rata-rata sebesar 10 %. Agar Penjaminan memiliki kemampuan penyelesaian klaim dengan tingkat NPL 10 % maka ditetapkan gearing ratio sebanyak 10 kali yang artinya bahwa kemampuan/kapasitas penjaminan dengan ekuitas Rp. 1 triliun adalah bisa menutup penjaminan sebesar Rp. 10 triliun. Misal dengan nilai ekuitas Rp 1 triliun dan nilai penjaminan outstanding yang diakseptasi adalah Rp 10 triliun dengan asumsi gearing ratio 10 kali, maka apabila pada saat realisasi tingkat NPL sebesar 10 % maka nilai ekuitas sebesar Rp 1 triliun akan habis digunakan untuk membayar klaim dengan jumlah Rp 1 triliun ( 10 % X Rp 10 triliun).

Untuk menghitung gearing ratio dengan asumsi rata-rata NPL 5 % dan ekuitas Rp 1 triliun maka gearing ratio-nya adalah
= (100/5) X Rp. 1 triliun
= Rp. 20 triliun atau 20 kali dari ekuitas

Jika rata-rata asumsi NPL 4 % dan ekuitas Rp. 1 triliun, maka gearing ratio ditetapkan menjadi
= (100/4) X Rp. 1 triliun
= Rp. 25 triliun atau 25 kali dari ekuitas

Dengan demikian, apabila Penjamin telah menutup penjaminan melebihi gearing ratio maka kesehatan keuangannya terancam terganggu dan memiliki potensi menggerus ekuitas Perusahaan. Penggerusan ekuitas perusahaan akan terjadi bila nilai penjaminan telah melebihi gearing ratio dan realisasi tingkat NPL lebih besar dari asumsi rata-rata NPL yang digunakan dalam penetapan gearing ratio. Penggerusan ekuitas akan lebih besar lagi jika realisasi NPL lebih besar dari rate Imbal Jasa Penjaminan (IJP) yang diterima. Disamping itu, besaran NPL/NPG berpengaruh atas kemampuan PPK melakukan kewajiban penyelesaian klaim. Misal dalam penetapan/penghitungan gearing ratio mengasumsikan rata-rata NPL sebesar 5 %, namun realisasi ternyata NPL 10 % maka akan menggerus ekuitas dan mengganggu kesehatan keuangan. Demikian juga dengaan rate IJP, jika Rate IJP yang diterima hanya 1,5 % namun NPL di atas rate IJP (misal 2,3 %) maka dapat dipastikan ekuitas perusahaan akan tergerus. Berdasarkan hal ini, selain memperhatikan kapasitas penjaminan dengan indikator gearing ratio juga perlu diperhatikan deviasi rate IJP dengan rata-rata NPL/NPG. Ada beberapa cara untuk menyelamatkan ekuitas perusahaan dari nilai penjaminan yang melebihi batas gearing ratio adalah dengan menambah ekuitas perusahaan, meningkatkan penerimaan premi dan menaikkan rate IJP diatas realisasi nilai rata-rata NPL/NPG serta melakukan akseptasi penjaminan dengan lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Metode penghitungan gearing ratio sesuai dengan PMK No.: 222/2008 dan karakteristik produk PPK saat ini yang dipasarkan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar yaitu:

1. Produk Penjaminan KUR Usaha Produktif. Penjaminan KUR selama ini diarahkan pada usaha produktif sehingga batas gearing rationya adalah maksimal 10 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan KUR usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan KUR dengan modal bersih sendiri (ekuitas) pada suatu periode tertentu dimana ekuitas penjaminan KUR ini bersumber dari PMN dari pemerintah.

2. Produk Penjaminan Non KUR Usaha Produktif (termasuk Surtyship, Askredag, PKM dan PKK non konsumtif). Batasan gearing ratio untuk produk penjaminan non KUR usaha produktif adalah maksimal 10 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan non KUR usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan non KUR dengan modal bersih sendiri (ekuitas) diluar PMN untuk KUR pada periode tertentu dimana ekuitas yang digunakan diperuntukkan khusus penjaminan non KUR.

3. Produk Penjaminan Non KUR bukan Usaha Produktif (contoh KUM Pegadaian dan PKK konsumtif). Batasan gearing ratio untuk produk penjaminan non KUR bukan usaha produktif adalah maksimal 50 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan non KUR bukan usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan non KUR bukan usaha produktif dengan modal bersih sendiri (ekuitas) diluar PMN untuk KUR dan ekuitas penjaminan non KUR usaha produktif pada periode tertentu.

Konsekuensi logis dalam penghitungan gearing ratio dari ketiga kelompok produk tersebut adalah ada pemisahan yang jelas dan bersih atas ekuitas untuk masing-masing kelompok produk tersebut.

Pengelolaan Gearing Ratio
Pengelolaan risiko yang berkenaan dengan batasan gearing ratio saat ini selayaknya dibatasi pada pelaksanaan penjaminan KUR yang merupakan program pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Untuk mengukur kapasitas penjaminan dan kemampuan melakukan kewajiban penjaminan produk non KUR seperti produk Suretyship, Asuransi Kredit Perdagangan dan Reasuransi dapat menggunakan indikator Risk Based Capital (RBC) dengan telah memisahkan modal sendiri bersih (ekuitas) penjaminan KUR dan Non KUR terlebih dahulu. Kapasitas Penjaminan non KUR dapat diukur dengan indikator gearing ratio apabila ekuitas perusahaan telah dapat dipisahkan untuk masing-masing penjaminan non KUR dan penjaminan KUR serta sesuai dengan tuntutan regulasi yang berlaku.

Pada saat ini, apabila PPK masih dapat menggunakan indikator RBC untuk mengukur kemampuan melaksanakan kewajiban pada produk non KUR dan indikator gearing ratio untuk mengukur kapasitas penjaminan KUR selama regulasi belum secara tegas mengatur indikator tersebut bagi perusahaan Asuransi Kerugian yang menjalankan usaha penjaminan. Pengukuran kapasitas penjaminan harus disesuaikan dengan tuntutan regulasi dan peraturan terhadap perusahaan yang menjalankan bidang usaha Asuransi dan Penjaminan.

Pengelolaan gearing ratio berbasis manajemen risiko korporat didasarkan pada pelaksanaan proses manajemen risiko korporat itu sendiri yang pada saat ini sedang dalam proses penerapannya dengan menggunakan program aplikasi manajemen risiko berbasis Web. Dalam penerapan manajemen risiko korporat (MRK) peranan Risk Owner (RO) sangat penting dan menentukan keberhasilan penerapan tersebut. Salah satu success key penerapan MRK adalah RO memberikan laporan hasil identifikasi, pengukuran dan rencana mitigasi risiko untuk mengurangi tingkat risiko yang akan terjadi di masa depan. Risk appetite dan risk tolerance terhadap pengelolaan gearing ratio ini harus ditetapkan oleh Board of Director dan setelah itu dilakukan kegiatan control activities, monitoring serta membangun informasi dan komunikasi agar gearing ratio tetap dapat dijaga pada tingkat yang diterima oleh perusahaan. Unit kerja yang menjadi risk owner dalam pengelolaan gearing ratio ini adalah unit kerja Kebijakan yang menangani kegiatan operasional produk tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan gearing ratio yang bisa dipantau secara korporat memposisikan unit manajemen risiko agar dapat memberikan skenario dampak risiko gearing ratio dan rencana mitigasinya berdasarkan risk appetite dan risk toleransi yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai acuan dan petunjuk bagi RO dalam mengelola geraing ratio sesuai dengan PMK No. 222/2008 dan kelompok produk yang diusahakan suatu PPK. Dampak Risiko yang merupakan risk appetite dan tindakan Mitigasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Dampak Risiko Penjaminan KUR Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 10 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 5 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 4 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL < 4 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL < 3 %


Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan KUR Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP KUR
3. Melaporkan dan mengajukan penambahan PMN kepada pemerintah dan DPR
4 Tinggi 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP KUR
3. Melaporkan dan mengajukan penambahan PMN kepada Pemerintah dan DPR
4. Melakukan evaluasi TOR PKS agar tidak merugikan perusahaan
3 Menengah 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP
2 Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
3. Meningkatkan kualitas proses penagihan IJP
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
3. Menagih IJP KUR pada pemerintah



Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 10 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 5 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 3 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 3 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 2 %



Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Memberhentikan pelayanan produk
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan pembayaran klaim
3. Melakukan penyelesaian klaim dengan maksimal agar tidak merugikan perusahaan
4. Meningkatkan penagihan IJP/Premi dengan tingkat kolektibilitas optimal dalam menagih piutang usaha
4 Tinggi 1. Memperlambat produksi produk agar di bawah batasan gearing ratio yang telah ditetapkan
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan klaim
3. Meningkatkan kualitas proses penyelesaian klaim agar tidak merugikan perusahaan
4. Mengevaluasi TOR PKS agar tidak menimbulkan kerugian perusahaan
3 Menengah 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
2 Kecil 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan agar mencapai batasan minimal gearing ratio 5 kali
2. Menerapkan prinsip kehati-hatian



Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Bukan Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 50 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 15 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 50 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 10 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 7 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 7 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 7 %



Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Bukan Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Memberhentikan pelayanan produk
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan pembayaran klaim
3. Melakukan penyelesaian klaim dengan maksimal agar tidak merugikan perusahaan
4. Meningkatkan penagihan IJP/Premi dengan tingkat kolektibilitas optimal dalam menagih piutang usaha
4 Tinggi 1. Memperlambat produksi produk agar di bawah batasan gearing ratio yang telah ditetapkan
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan klaim
3. Meningkatkan kualitas proses penyelesaian klaim agar tidak merugikan perusahaan
4. Mengevaluasi TOR PKS agar tidak menimbulkan kerugian perusahaan
3 Menengah 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
2 Kecil 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
2. Menerapkan prinsip kehati-hatian dengan optimal