Senin, November 08, 2010

PENGELOLAAN GEARING RATIO DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN RISIKO KORPORAT

Pendahuluan
Dalam menjalankan usaha penjaminan yang mengelola risiko usaha diperlukan kapasitas penjaminan yang dapat memastikan kemampuan perusahaan dalam membayar kewajibannya. Kapasitas penjaminan sangat menentukan jumlah nilai penjaminan yang akan diakseptasi dan kemampuan melakukan kewajibannya. Lembaga Penjaminan tidak boleh melakukan penjaminan melebihi kapasitas penjaminannya karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan dalam penyelesaian klaim yang pada akhirnya akan merugikan penerima jaminan dan atau terjamin. Salah satu ukuran untuk mengukur kapasitas penjaminan adalah Gearing Ratio. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.: 222/PMK.010/2008 yang ditetapkan pada tanggal 16 Desember 2008 tentang Perusahaan Penjaminan kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit Bab XVI Ketentuan Gearing Ratio pasal 42 khususnya yang menerangkan tentang batasan gearing ratio tercantum pada ayat:

(3) Gearing ratio Penjaminan Usaha Produktif paling tinggi penjamin dan penjamin ulang ditetapkan sebesar 10 (sepuluh) kali.

(4) Gearing ratio penjaminan bukan Usaha Produktif Penjamin dan Penjamin Ulang paling tinggi ditetapkan 50 (lima puluh) kali.

Istilah gearing ratio pada awalnya diperkenalkan pada saat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) mulai dijalankan pada akhir tahun 2007 melalui Inpres No. 6/2007 dengan dukungan mekanisme penjaminan KUR. Pemerintah menggunakan indikator gearing ratio sebagai dasar pemberian Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Perusahaan Penjaminan dengan harapan nilai KUR yang disalurkan oleh perbankan pelaksana dapat lebih besar lagi dengan adanya skim penjaminan KUR.

Gearing ratio dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan Perusahaan Penjaminan Kredit (PPK) dalam mengakseptasi penjaminan KUR untuk mendukung program pemerintah seperti KUR Inpres No. 6/2007 dimana perbankan yang terlibat memperoleh dorongan dari pemerintah agar mendukung program KUR tersebut. Gearing ratio yang digunakan pada program ini juga dapat dijadikan dasar dalam pemberian modal kapasitas dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) secara proporsional kepada PPK sehingga usaha penjaminan lebih sehat, adil, dan dinamis.

Pemerintah tidak bisa melakukan intervensi kepada PPK dalam menentukan target gearing ratio yang harus dicapai oleh PPK karena besaran Gearing Ratio tergantung pada dukungan perbankan dalam menyalurkan KUR.

Metode Penghitungan Gearing Ratio

Metode penghitungan Gearing Ratio seperti tercantum pada PMK No. 222/2008 pada pasal 42 ayat (1) dan (2), ada dua cara menurut usaha produktif dan bukan produktif yaitu:

(1) Gearing ratio penjaminan usaha produktif dihitung berdasarkan perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan Usaha Produktif yang dijamin dan modal sendiri bersih Penjamin atau perbandingan antara OUTSTANDING KREDIT DAN/ATAU Pembiayaan usaha produktif yang merupakan beban risiko Penjamin Ulang dan modal sendiri bersih Penjamin Ulang pada waktu tertentu

(2) Gearing ratio penjaminan bukan usaha produktif dihitung berdasarkan perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan bukan usaha produktif yang dijamin dan modal sendiri bersih Penjamin atau perbandingan antara outstanding kredit dan/atau Pembiayaan bukan usaha produktif yang merupakan beban risiko Penjamin Ulang dan modal sendiri bersih Penjamin Ulang pada waktru tertentu.

Gearing Ratio merupakan suatu ukuran kapasitas portofolio penjaminan outstanding yang dilakukan perusahaan penjaminan dalam satu periode tertentu. Pengertian Gearing ratio yang harus dipahami adalah dalam penentuan gearing ratio dikaitkan dengan asumsi tingkat NPL kredit perbankan atau Non Performance Guarantee (NPG) dalam penjaminan pada suatu waktu tertentu. Dengan demikian, suatu modal sendiri bersih akan habis digunakan untuk membayar kewajiban pada realisasi tingkat NPL perbankan yang telah dijadikan sebagai dasar asumsi penghitungan gearing ratio tersebut.

Contoh penghitungan:
Ada modal sendiri bersih (Equity) sebesar Rp. 1 triliun, berdasarkan data empiris ternyata NPL kredit perbankan rata-rata sebesar 10 %. Agar Penjaminan memiliki kemampuan penyelesaian klaim dengan tingkat NPL 10 % maka ditetapkan gearing ratio sebanyak 10 kali yang artinya bahwa kemampuan/kapasitas penjaminan dengan ekuitas Rp. 1 triliun adalah bisa menutup penjaminan sebesar Rp. 10 triliun. Misal dengan nilai ekuitas Rp 1 triliun dan nilai penjaminan outstanding yang diakseptasi adalah Rp 10 triliun dengan asumsi gearing ratio 10 kali, maka apabila pada saat realisasi tingkat NPL sebesar 10 % maka nilai ekuitas sebesar Rp 1 triliun akan habis digunakan untuk membayar klaim dengan jumlah Rp 1 triliun ( 10 % X Rp 10 triliun).

Untuk menghitung gearing ratio dengan asumsi rata-rata NPL 5 % dan ekuitas Rp 1 triliun maka gearing ratio-nya adalah
= (100/5) X Rp. 1 triliun
= Rp. 20 triliun atau 20 kali dari ekuitas

Jika rata-rata asumsi NPL 4 % dan ekuitas Rp. 1 triliun, maka gearing ratio ditetapkan menjadi
= (100/4) X Rp. 1 triliun
= Rp. 25 triliun atau 25 kali dari ekuitas

Dengan demikian, apabila Penjamin telah menutup penjaminan melebihi gearing ratio maka kesehatan keuangannya terancam terganggu dan memiliki potensi menggerus ekuitas Perusahaan. Penggerusan ekuitas perusahaan akan terjadi bila nilai penjaminan telah melebihi gearing ratio dan realisasi tingkat NPL lebih besar dari asumsi rata-rata NPL yang digunakan dalam penetapan gearing ratio. Penggerusan ekuitas akan lebih besar lagi jika realisasi NPL lebih besar dari rate Imbal Jasa Penjaminan (IJP) yang diterima. Disamping itu, besaran NPL/NPG berpengaruh atas kemampuan PPK melakukan kewajiban penyelesaian klaim. Misal dalam penetapan/penghitungan gearing ratio mengasumsikan rata-rata NPL sebesar 5 %, namun realisasi ternyata NPL 10 % maka akan menggerus ekuitas dan mengganggu kesehatan keuangan. Demikian juga dengaan rate IJP, jika Rate IJP yang diterima hanya 1,5 % namun NPL di atas rate IJP (misal 2,3 %) maka dapat dipastikan ekuitas perusahaan akan tergerus. Berdasarkan hal ini, selain memperhatikan kapasitas penjaminan dengan indikator gearing ratio juga perlu diperhatikan deviasi rate IJP dengan rata-rata NPL/NPG. Ada beberapa cara untuk menyelamatkan ekuitas perusahaan dari nilai penjaminan yang melebihi batas gearing ratio adalah dengan menambah ekuitas perusahaan, meningkatkan penerimaan premi dan menaikkan rate IJP diatas realisasi nilai rata-rata NPL/NPG serta melakukan akseptasi penjaminan dengan lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian.

Metode penghitungan gearing ratio sesuai dengan PMK No.: 222/2008 dan karakteristik produk PPK saat ini yang dipasarkan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok besar yaitu:

1. Produk Penjaminan KUR Usaha Produktif. Penjaminan KUR selama ini diarahkan pada usaha produktif sehingga batas gearing rationya adalah maksimal 10 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan KUR usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan KUR dengan modal bersih sendiri (ekuitas) pada suatu periode tertentu dimana ekuitas penjaminan KUR ini bersumber dari PMN dari pemerintah.

2. Produk Penjaminan Non KUR Usaha Produktif (termasuk Surtyship, Askredag, PKM dan PKK non konsumtif). Batasan gearing ratio untuk produk penjaminan non KUR usaha produktif adalah maksimal 10 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan non KUR usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan non KUR dengan modal bersih sendiri (ekuitas) diluar PMN untuk KUR pada periode tertentu dimana ekuitas yang digunakan diperuntukkan khusus penjaminan non KUR.

3. Produk Penjaminan Non KUR bukan Usaha Produktif (contoh KUM Pegadaian dan PKK konsumtif). Batasan gearing ratio untuk produk penjaminan non KUR bukan usaha produktif adalah maksimal 50 kali. Untuk menghitung gearing ratio penjaminan non KUR bukan usaha produktif ini adalah perbandingan antara outstanding nilai penjaminan non KUR bukan usaha produktif dengan modal bersih sendiri (ekuitas) diluar PMN untuk KUR dan ekuitas penjaminan non KUR usaha produktif pada periode tertentu.

Konsekuensi logis dalam penghitungan gearing ratio dari ketiga kelompok produk tersebut adalah ada pemisahan yang jelas dan bersih atas ekuitas untuk masing-masing kelompok produk tersebut.

Pengelolaan Gearing Ratio
Pengelolaan risiko yang berkenaan dengan batasan gearing ratio saat ini selayaknya dibatasi pada pelaksanaan penjaminan KUR yang merupakan program pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Untuk mengukur kapasitas penjaminan dan kemampuan melakukan kewajiban penjaminan produk non KUR seperti produk Suretyship, Asuransi Kredit Perdagangan dan Reasuransi dapat menggunakan indikator Risk Based Capital (RBC) dengan telah memisahkan modal sendiri bersih (ekuitas) penjaminan KUR dan Non KUR terlebih dahulu. Kapasitas Penjaminan non KUR dapat diukur dengan indikator gearing ratio apabila ekuitas perusahaan telah dapat dipisahkan untuk masing-masing penjaminan non KUR dan penjaminan KUR serta sesuai dengan tuntutan regulasi yang berlaku.

Pada saat ini, apabila PPK masih dapat menggunakan indikator RBC untuk mengukur kemampuan melaksanakan kewajiban pada produk non KUR dan indikator gearing ratio untuk mengukur kapasitas penjaminan KUR selama regulasi belum secara tegas mengatur indikator tersebut bagi perusahaan Asuransi Kerugian yang menjalankan usaha penjaminan. Pengukuran kapasitas penjaminan harus disesuaikan dengan tuntutan regulasi dan peraturan terhadap perusahaan yang menjalankan bidang usaha Asuransi dan Penjaminan.

Pengelolaan gearing ratio berbasis manajemen risiko korporat didasarkan pada pelaksanaan proses manajemen risiko korporat itu sendiri yang pada saat ini sedang dalam proses penerapannya dengan menggunakan program aplikasi manajemen risiko berbasis Web. Dalam penerapan manajemen risiko korporat (MRK) peranan Risk Owner (RO) sangat penting dan menentukan keberhasilan penerapan tersebut. Salah satu success key penerapan MRK adalah RO memberikan laporan hasil identifikasi, pengukuran dan rencana mitigasi risiko untuk mengurangi tingkat risiko yang akan terjadi di masa depan. Risk appetite dan risk tolerance terhadap pengelolaan gearing ratio ini harus ditetapkan oleh Board of Director dan setelah itu dilakukan kegiatan control activities, monitoring serta membangun informasi dan komunikasi agar gearing ratio tetap dapat dijaga pada tingkat yang diterima oleh perusahaan. Unit kerja yang menjadi risk owner dalam pengelolaan gearing ratio ini adalah unit kerja Kebijakan yang menangani kegiatan operasional produk tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, pengelolaan gearing ratio yang bisa dipantau secara korporat memposisikan unit manajemen risiko agar dapat memberikan skenario dampak risiko gearing ratio dan rencana mitigasinya berdasarkan risk appetite dan risk toleransi yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai acuan dan petunjuk bagi RO dalam mengelola geraing ratio sesuai dengan PMK No. 222/2008 dan kelompok produk yang diusahakan suatu PPK. Dampak Risiko yang merupakan risk appetite dan tindakan Mitigasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Dampak Risiko Penjaminan KUR Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 10 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 5 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL ≥ 4 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL < 4 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL < 3 %


Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan KUR Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP KUR
3. Melaporkan dan mengajukan penambahan PMN kepada pemerintah dan DPR
4 Tinggi 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP KUR
3. Melaporkan dan mengajukan penambahan PMN kepada Pemerintah dan DPR
4. Melakukan evaluasi TOR PKS agar tidak merugikan perusahaan
3 Menengah 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan peranan TI dan unit kerja terkait dalam proses penagihan IJP
2 Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
3. Meningkatkan kualitas proses penagihan IJP
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan penyelesaian klaim
2. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
3. Menagih IJP KUR pada pemerintah



Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 10 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 10 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 5 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 3 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 3 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 7 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 2 %



Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Memberhentikan pelayanan produk
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan pembayaran klaim
3. Melakukan penyelesaian klaim dengan maksimal agar tidak merugikan perusahaan
4. Meningkatkan penagihan IJP/Premi dengan tingkat kolektibilitas optimal dalam menagih piutang usaha
4 Tinggi 1. Memperlambat produksi produk agar di bawah batasan gearing ratio yang telah ditetapkan
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan klaim
3. Meningkatkan kualitas proses penyelesaian klaim agar tidak merugikan perusahaan
4. Mengevaluasi TOR PKS agar tidak menimbulkan kerugian perusahaan
3 Menengah 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
2 Kecil 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan agar mencapai batasan minimal gearing ratio 5 kali
2. Menerapkan prinsip kehati-hatian



Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Bukan Usaha Produktif
Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Aspek
5 Sangat Tinggi Realisasi gearing ratio ≥ 50 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 15 %
4 Tinggi Realisasi Gearing ratio ≥ 50 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 10 %
3 Menengah Realisasi Gearing ratio ≥ 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG ≥ 7 %
2 Kecil Realisasi Gearing ratio ≥ 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 7 %
1 Sangat Kecil Realisasi Gearing ratio < 25 kali dengan rata-rata realisasi NPL/NPG < 7 %



Mitigasi Risiko Dalam Mengendalikan Dampak Risiko Penjaminan Non KUR Bukan Usaha Produktif Berdasarkan Batasan Gearing Ratio

Level Keterangan Mitigasi Risiko
5 Sangat Tinggi 1. Memberhentikan pelayanan produk
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan pembayaran klaim
3. Melakukan penyelesaian klaim dengan maksimal agar tidak merugikan perusahaan
4. Meningkatkan penagihan IJP/Premi dengan tingkat kolektibilitas optimal dalam menagih piutang usaha
4 Tinggi 1. Memperlambat produksi produk agar di bawah batasan gearing ratio yang telah ditetapkan
2. Penerapan prinsip kehati-hatian lebih maksimal agar dapat menurunkan klaim
3. Meningkatkan kualitas proses penyelesaian klaim agar tidak merugikan perusahaan
4. Mengevaluasi TOR PKS agar tidak menimbulkan kerugian perusahaan
3 Menengah 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
2 Kecil 1. Menerapkan prinsip kehati-hatian agar klaim menurun
2. Melakukan selektifitas akseptasi penjaminan yang kurang berisiko
1 Sangat Kecil 1. Mengoptimalkan pelayanan akseptasi penjaminan
2. Menerapkan prinsip kehati-hatian dengan optimal

Kamis, Oktober 07, 2010

OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH PUSAT DALAM PENGEMBANGAN PPKD MELALUI PENYERTAAN MODAL PEMERINTAH

Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi nasional selama ini selain didukung oleh sektor fiskal dan moneter juga didukung oleh sektor riil yang kontribusi ekonominya dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan meskipun berfluktuatif. Begitu pentingnya peranan sektor riil didalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah terus berupaya membuat kebijakan ekonomi dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pemberdayaan UMKM juga diarahkan pada peningkatan kinerja ekspor yang dapat memberikan sumbangan devisa negara.

Salah satu dukungan pemerintah untuk mendukung pengembangan UMKM yang berorientasi ekspor adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang sebagai dasar pembentukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada tahun 2010. Selain usaha pembiayaan, LPEI ini juga bergerak dalam usaha penjaminan kredit UMKM yang dapat mempermudah UMKM melakukan kegiatan ekspor yang notebene merupakan bagian muara dari distribusi channel komoditas yang diusahakan oleh UMKM. Sementara itu, pengembangan UMKM yang berorientasi domestik atau yang dipersiapkan melakukan kegiatan ekspor belum memperoleh dukungan nyata pemerintah seperti halnya dalam bentuk LPEI. Pada saat ini, pengembangan UMKM yang berorientasi pada produksi domestik didukung oleh dua perusahaan BUMN yaitu PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo untuk menjamim kredit UMKM sesuai dengan program kredit Usaha Rakyat (KUR) Inpres No. 6/2007.

Program KUR inpres No. 6/2007 diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam memperoleh akses pembiayaan dari perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit. Dengan demikian, UMKM dapat memperoleh tambahan modal usaha dari perbankan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan investasi serta memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Hal ini timbul karena pada umumnya UMKMK tidak mampu menyediakan agunan sebagai salah satu syarat dalam memperoleh pinjaman dari perbankan.

Untuk menjangkau keberadaan UMKM yang tersebar diseluruh provinsi, perlu perpanjangan dan perluasan jaringan agar UMKM yang memperoleh penjaminan kredit dapat semakin besar dan luas. Penyebaran UMKM di berbagai daerah telah menjadi perhatian pemerintah sebagai regulator dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi pemerintah ini telah memberikan peluang usaha penjaminan yang lebih besar lagi dalam upaya pengembangan UMKM melalui Aliansi dengan Pemerintah Daerah dalam bentuk Perusahaaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Pemerintah daerah memiliki kepentingan dalam meningkatkan kinerja perekonomian daerah melalui pengembangan UMKM, namun disisi lain ada keterbatasan keuangan pemda dalam pembiayaan UMKM. Mekanisme penjaminan kredit UMKM yang melibatkan Pemda merupakan solusi yang terbaik dan relatif murah dan dapat mengurangi cost of development. PPKD dibentuk dengan pola kerjasama/mitra antara Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) yang sudah eksis dengan Pemerintah Daerah dan tak menutup kemungkinan diperluas dengan melibatkan pihak swasta di daerah.

Pembentukan PPKD harus sesuai dengan regulasi dan peraturan yang berlaku. Dasar hukum pendirian PPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.

Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi Perusahaan Penjaminan sebagai dampak positif dari perubahan eksternal, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”

Dari bunyi ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan. Fenomena terakhir yang lebih menunjukkan eksistensi Perusahaan di bidang penjaminan adalah pada tahun 2007 Pemerintah telah memberikan Penambahan Modal Negara (PMN) sebagai tambahan dana dalam rangka menunjang pelaksanaan program penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) oleh perbankan, khususnya dalam memberikan penjaminan atas kemacetan KUR tersebut dan meningkatkan kapasitas penjaminan. Optimalisasi penambahan PMN oleh pemerintah perlu terus dilakukan agar program pemerintah dalam mengembangkan UMKM dapat berhasil.

Berdasarkan kondisi usaha penjaminan tersebut diatas dengan adanya dukungan pemerintah, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar PMN yang telah dikeluarkan dapat optimal mengembangkan PPKD antara lain yaitu:

1. PMN disalurkan kepada Lembaga Penjaminan Kredit Mikro (LPKM) yang berfungsi sebagai Lembaga Penjaminan, re-guarantor/co-gurantor. Kebutuhan dan kehadiran LPKM saat ini dirasakan semakin kuat dan perlu didukung dengan menerbitkan Undang-Undang LPKM seperti halnya pembentukan LPEI.

2. PMN disalurkan kepada Perusahaan BUMN yang bergerak di bidang usaha Penjaminan seperti PT. Askrindo dan Perum Jamkrindo dimana dalam pemberian PMN tersebut berdasarkan kinerja penjaminan yang diindikasikan dengan indikator Gearing Ratio.

Pemberian PMN secara langsung kepada PPKD dalam jangka pendek diperkirakan tidak optimal dalam mengembangkan PPKD maupun UMKM yang disebabkan karena PPKD merupakan bentuk usaha perusahaan penjaminan kredit daerah yang relatif baru dan belum populer saat ini sehingga masih ada keterbatasan tenaga ahli dan pengalaman bisnis dalam usaha penjaminan kredit UMKM dan pengelolaan PMN sehingga diperkirakan mengalami kesulitan dalam optimalisasi penggunaan PMN untuk mengembangkan PPKD. Dalam jangka panjang seiring dengan kematangan organisasi PPKD di seluruh daerah, pengelolaan PMN secara langsung oleh PPKD dimungkinkan dapat berhasil dengan baik.
Berdasarkan pertimbangan diatas, dalam jangka pendek dan mungkin jangka panjang diperlukan suatu Lembaga Penjaminan Kredit Mikro (LPKM) yang memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang usaha penjaminan kredit sekaligus dapat memberikan technical assisstances kepada PPKD yang baru dibentuk.

Strategi Pembentukan LPKM
Peluang usaha penjaminan dalam mendukung pengembangan UMKM yang relatif besar dan memperoleh respon positif dari perbankan dan dukungan pemerintah, perlu direspon oleh LPKM dengan mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak eksternal terutama Pemerintah Daerah dan Perbankan.
Pembentukan LPKM dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

1.Mengoptimalkan perusahaan penjaminan yang sudah eksis dan berpengalaman seperti PT Askrindo dan Perum Jamkrindo dengan cara merubah bentuk usahanya menjadi LPKM. PKM ini bisa berfungsi juga sebagai re-guarantor. Transformasi bentuk badan usaha Askrindo menjadi LPKM suatu usaha tapat dan sejalan dengan visi dan misi Askrindo untuk mengembangkan UMKM dan Askrindo telah memiliki pengalaman di bidang usaha penjaminan sejak tahun 1971 serta telah membantu penjaminan kredit UMKM dari lebih 6 juta unit UMKM.

2.Membentuk LPKM baru sedangkan perusahaan penjaminan yang sudah eksis sebagai mitra usaha penjaminan. Posisi LPKM seperti ini dapat berupa Lembaga Penjaminan Kredit atau sebagai re-guarantor/co-guarantor. SDM LPKM baru dapat diperoleh dari SDM yang memiliki komptensi dan pengalaman di bidang penjaminan dari perusahaan penjaminan BUMN yang ada maupun dari praktisi lainnya.

Optimalisasi peranan LPKM untuk mengembangkan UMKM dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi aliansi dengan Pemda dalam bentuk PPKD sehingga dapat memperluas jaringan kerja sampai ke daerah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Pemda saat ini secara umum tidak dapat membentuk dan menjalankan PPKD sendiri dan perlu bantuan dari LPKM adalah:


1. Kondisi keuangan Pemda yang relatif terbatas untuk memberikan pembiayaan kepada UMKM dan penjaminan kredit UMKM.
2. Kurang memiliki kompetensi dan pengalaman di bidang penjaminan kredit.

Dengan kondisi Pemda seperti demikian diatas, strategi aliansi LPKM dengan Pemda merupakan langkah strategis dan diperkirakan dapat diterima semua pihak dalam pengembangan UMKM.

Strategi Aliansi LPKM yang akan ditetapkan bertujuan untuk memperluas dan memperkuat (enlargement and empowered) kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Perbankan serta dimungkinkan dengan pihak Swasta melalui optimalisasi usaha penjaminan kredit dalam rangka mengembangkan UMKM di seluruh wilayah potensi UMKM di Indonesia. Strategi aliansi juga akan mengeksplorasi potensi bisnis penjaminan kredit daerah yang relatif besar sehingga menjadi icon bisnis penjaminan LPKM.

Strategi Aliansi dalam usaha penjaminan kredit diutamakan pada pengembangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) yang mengoptimalkan peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Perbankan. Dalam implementasi usaha PPKD dituntut komitmen dan strategi yang baik berdasarkan potensi ekonomi, pasar dan aturan regulasi yang berlaku. Strategi Aliansi LPKM dijalankan dengan mempertimbangkan kapasitas penjaminan LPKM maupun Pemda dan perbankan agar dapat memenuhi tuntutan regulasi yang ada. Rencana strategi aliansi ini dapat memberikan berbagai alternatif posisi LKPM dalam pengembangan PPKD yaitu:

1. Sebagai perusahaan Holding yang memiliki penyertaan MODAL dalam Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) yang tersebar di seluruh provinsi.
2. Sebagai Re-Guarantor atau Co-Guarantor yaitu sebuah perusahaan yang memperoleh dukungan finansial dari pemerintah dalam melakukan kegiatan penjaminan kembali PPKD baik sebagai subsidi premi maupun untuk pembayaran klaim.
3. Sebagai LPKM yang memiliki unit kerja di daerah yang berperan sebagai joint bussiness dengan Pemda dan Perbankan seperti posisi PPKD.
4. Sebagai LPKM yang berfungsi sebagai mitra business yang mendampingi PPKD dalam bentuk technical assisstants.

Tujuan pembentukan LPKM untuk membantu pembentukan PPKD memberikan manfaat kepada Pihak Pemda, LPKM/PPKD dan Bank adalah sebagai berikut:


MANFAAT untuk Pemda, bank dan LPKM:

PEMDA
(a) Optimalisasi pemanfaatan dana apbd
(b) Pengembangan umkm
(c) Pertumbuhan perekonomian di daerah
(d) Peningkatan pendapatan daerah
(e) Penyediaan lapangan pekerjaan
(f) Mengurangi cost of development pemda
BANK (a) Membantu penyaluran kredit
(b) Pengendalian risiko kredit
(c) Pendapatan meningkat
LPKM (a) Mendukung pengembangan umkm di daerah
(b) Risiko kerugian ditanggung bersama
(c) Membantu pemda dalam membentuk lembaga penjaminan


Profil Singkat LPKM
1. Tujuan
Menunjang kebijakan Pemerintah mengembangkan UMKM yang berorientasi pemasaran dalam negeri (domestik)

2. Fungsi
Mendukung program pengembangan UMKM melalui mekanisme penjaminan

3. Tugas
Menyediakan penjaminan kredit mikro kepada UMKM yang mempunyai prospek (non-bankable but feasible) untuk mengembangkan UMKM dan mendorong peningkatan kontribusi ekonomi UMKM terhadap ekonomi nasional

4. Wewenang
a. menetapkan skema Penjaminan Mikro;
b. melakukan re-guarantee/co-guarantor terhadap penjaminan yang dilaksanakan

5.Bentuk Bantuan Keuangan Pemerintah
a. Dalam bentuk PMN untuk memperkuat kapasitas penjaminan
b. Subsidi premi dan pembayaran klaim



Peranan PMN/PMD Bagi LPKM dan PPKD

Dalam Pelaksanaan Strategi Aliansi LPKM dengan PPKD terutama dalam mengembangkan UMKM dengan pihak Pemda, perbankan dan pihak swasta harus melibatkan stakeholder lainnya seperti DPRD. PPKD yang dibentuk dengan penyertaan modal daerah (PMD) dari APBD harus memperoleh persetujuan DPRD dengan memperhitungkan akuntabilitas dan azas manfaat baik bagi rakyat khususnya UMKM maupun peningkatan pendapatan/fiskal daerah. PPKD yang dibentuk dengan PMD dapat berbentuk Perum, Perseroan Terbatas maupun Perusahaan Daerah (BUMD) diharuskan berorientasi keuntungan agar ada kontribusi ekonomi pada pendapatan daerah atau peningkatan fiskal daerah. Disamping itu, PPKD juga harus dapat berperan untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui sektor riil berupa kontribusi ekonomi UMKM.

PPKD yang dibentuk tidak menutup kemungkinan dapat berafiliasi dengan pihak swasta yang memiliki visi dan misi menggerakan perekonomian daerah melalui peningkatan kontribusi ekonomi UMKM.

Permasalahan PPKD yang hanya menjalankan usaha penjaminan kredit UMK yang cenderung merugi ini dapat diselesaikan dengan cara menjalankan usaha diversifikasi produk non penjaminan kredit UMKM yang bersifat profit oriented seperti penjaminan konsumtif (penjaminan kredit pegawai Pemda, BI, atau DPRD) dan penjaminan produktif yang selektif. Keberhasilan PPKD dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM dan non penjaminan kredit UMKM ditentukan pada manajemen portofolio yang seimbang dan tepat dari kedua usaha tersebut. Usaha penjaminan kredit UMKM oleh LPKM dan PPKD harus menitikan beratkan pada penerapan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan usaha ekonomi yang unggul dan spesifik sehingga sustainbilitas PPKD dapat terjaga sesuai dengan harapan stakeholder.
Sementara itu, LPKM sebagai Lembaga Penjaminan Kredit yang memiliki ruang lingkup usaha nasional dan menjadi perpanjangan Pemerintah Pusat dalam mengembangkan UMKM, selayaknya memperoleh dukungan keuangan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk PMN yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan kapasitas penjaminan, subsidi premi, maupun untuk pembayaran klaim. Manfaat lain dari PMN yang diberikan pemerintah kepada LKPM adalah dapat memperkuat kapasitas penjaminan PPKD dan modal PMN tersebut ditempatkan sebagai Penyertaan Modal Daerah (PMD).

Permasalahan Dan Solusi
Dalam usaha pengembangan PPKD akan dijumpai berbagai permasalahan yaitu antara lain:

1. Bentuk perusahaan PPKD yang bekerjasama dengan Pemda jika dalam bentuk BUMD dituntut untuk profit oriented, sedangkan usaha penjaminan kredit UMKM berdasarkan pengalaman negara lain (termasuk Indonesia) termasuk usaha yang cenderung merugi. Karakteristik usaha penjaminan kredit UMKM yang merugi ini menjadi tantangan tersendiri bagi stakeholder teratutama DPRD yang menyangkut penggunaan APBD.
2. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang penjaminan kredit UMKM
3. Kurangnya bantuan technical assisstance bagi UMKM dalam mendukung kinerja UMKM baik sebelum maupun sesudah menerima kredit UMKM seperti pada pemasaran produk UMKM maupun kemampuan manajemen lainnya.
4. Belum adanya suatu skema risk spreading dalam usaha penjaminan kredit UMKM sebagai salah satu mitigasi risiko untuk mereduksi risiko PPKD
5. Kurangnya dukungan modal PPKD bagi provinsi/Daerah tingkat II yang miskin yaitu sebesar Rp. 50 milyar.
6. Masih ada perbedaan persepsi dari Pemda tentang regulasi dan peraturan perizinan pembentukan PPKD.
7. Tingkat kepercayaan perbankan terhadap usaha penjaminan PPKD masih relatif rendah.

Agar strategi aliansi LPKM dan PPKD dapat berjalan dengan baik sehingga dapat mengoptimalkan peranan pemerintah pusat, ada beberapa solusi yang dapat mengatasi permasalahan di atas yaitu:
1. PPKD dapat memperoleh keuntungan dengan jalan melakukan diversifikasi produk yang profit oriented seperti penjaminan kredit konsumtif bagi pegawai DPRD atau Pemda atau Instansi Pemerintah lainnya yang berada di wilayah tersebut serta penjaminan produktif yang selektif dan menguntungkan lainnya.

2. LPKM atau PPKD menjalankan usaha penjaminan kredit dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dengan cara antara lain menjamin kredit UMKM yang memiliki produk unggulan, spesifik dan memiliki prospektif agar sustainbilitas LPKM dan PPKD terjaga dan sesuai dengan harapan stakeholder.

3. Melakukan sosialisasi dan kegiatan pemasaran atas produk-produk penjaminan kepada perbankan dan pengguna jasa penjaminan lainnya.

4. Tenaga ahli dapat diperoleh dari SDM LPKM yang sudah ada dan kredibil dengan melakukan technical assisstant.

5. Untuk membantu PPKD meng-eliminasi risiko kredit yang relatif besar maka perlu suatu skim re-guarantee atau co-guarantee dari re-guarantor atau co-guarantor. LPKM yang memiliki pengalaman dan kapasitas penjaminan yang relatif besar dimungkinkan menjadi re-guarantor/co-guarantor. Posisi LPKM sebagai re-guarantor/co-guarantor akan lebih sustain dan optimal jika diberikan bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat berupa PMN atau Public Service Obligation (PSO) untuk mengantisipasi klaim yang relatif besar dan dapat mengurangi modal/ekuitas LPKM.

6. Permasalahan permodalan PPKD yang dialami oleh Pemda dapat diatasi dengan cara:

4.a. Melalui fund sharing atau cost sharing dari Pemda Kabupaten/Kota yang berada di bawah provinsi yang terkait. Atau cost sharing antara pemerintah daerah tingkat provinsi.
4.b. Melibatkan penyertaan modal LPKM.
4.c. Memanfaatkan dana CSR/PKBL perusahaan BUMN dengan porsi yang efektif misal 30 % dana CSR/PKBL perusahaan BUMN digunakan sebagai kredit KUR yang disalurkan oleh perbankan nasional atau daerah. Pengelolaan dana CSR/PKBL 30 % tersebut dilakukan oleh Kementerian BUMN yang berkoordinasi dengan perbankan.

7. Technical Assisstance yang diperuntukan bagi UMKM baik di bidang pemasaran produk dan lainnya dapat digunakan peranan PPL/KKMB atau lembaga swadaya yang memiliki perhatian tinggi terhadap ekonomi kerakyatan di daerah.

*) Mulyono,SE,MM

Kamis, Agustus 26, 2010

SEKILAS STRATEGI USAHA LEMBAGA PENJAMINAN KREDIT (LPK) DI NEGARA-NEGARA ASIA

LPK DI NEGARA ASIA:
1. Indonesia (PT ASKRINDO dan Perum JAMKRIDO)
2. India (Credit Guarantee Fund Trust Small and Medium Enterprise (CGTSME)) .
3. Korea (Korea Federation of Credit Guarantee Foundation (KOREG) dan Korea Credit Guarantee Fund (KODIT)) .
4. Thailand (Small Business Credit Guarantee Corporation (SBCGC)) .
5. Philipina (Small Business Guarantee & Finance Corporation (SBGFC).
6. Taiwan (Small & Medium Enterprise Credit Guarantee Fund of Taiwan).
7. Malaysia (Credit Guarantee Corporation Malaysia Berhad (CGCMB)).
8. Sri Lanka (Central Bank of Sri Lanka (CSBSL)) .
9. Nepal (Deposit & Credit Guarantee Corporation).
10. Jepang (Japan Finance Corporation (JFC) dan NFCGC).

LPK di Asia ini tergabung dalam ACSIC (Assosiation Credit Supplementation Institution Confederation) yang setiap tahunnya diadakan ACSIC Training Program (ATP) dan ACSIC Conference. Berikut artikel ini adalah buah oleh-oleh kunjungan dari ATP ke 20 di Mumbai, India tanggal 1-6 Agustus 2010.

I. Potret Singkat Usaha Penjaminan Kredit di Negara-Negara Asia

Usaha penjaminan kredit yang dilakukan oleh Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC telah memberikan kontribusi yang nyata dalam mengembangkan UMKM dan mampu menggerakan ekonomi sektor riil. Program penjaminan kredit UMKM didukung sepenuhnya oleh pemerintah dalam bentuk bantuan keuangan. Dalam menjalankan usaha penjaminan kredit, LPK meng-asuransikan kembali penjaminan kredit kepada Re-guarantor/perusahaan Reasuransi seperti halnya yang dilakukan oleh JFC di Jepang. Dengan adanya risk sharing ini kerugian LPK dapat dikurangi pada batas yang diterima oleh LPK.
Secara umum perusahaan LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC memiliki karakteristik yang sama yaitu sebagai berikut :

1. Shareholder LPK dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah memberikan dukungan keuangan kepada LPK dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM

2. Usaha penjaminan kredit UMKM cenderung merugi karena usahanya sebagian besar menjamin kredit.

3. Di negara Jepang, Korea, Taiwan dan India telah mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam meningkatkan pelayanan baik dalam proses akseptasi maupun pada saat pembayaran klaim.

4. Ada dukungan dari perbankan dalam mengucurkan kredit UMKM dan menjaminkan kredit UMKM kepada LPK miliki pemerintah.


II. Sekilas Strategi bisnis LPK Asia
Materi presentasi yang disajikan oleh peserta ATP memberikan business knowlegde sharing kepada seluruh peserta ATP tentang teknik dan proses akseptasi serta bentuk dukungan pemerintah dalam usaha penjaminan kredit UMKM. Materi tersebut dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan masukan yang bermanfaat bagi perusahaan dan pemerintah agar dapat mendorong pencapaian target dalam mengembangkan UMKM melalui mekanisme penjaminan kredit UMKM. Praktek usaha penjaminan di negara-negara
Asia terutama Jepang, Korea, Taiwan dan India telah menempatkan Teknologi Informasi sebagai pendukung utama yang mengarah pada IT-Driven dalam memberikan pelayanan penjaminan kredit kepada penerima jaminan dan terjamin. IT-driven pada usaha penjaminan kredit sudah menjadi kebutuhan dan keharusan yang dapat disejajarkan dengan IT driven pada usaha perbankan. Di masa depan, IT driven sangat menentukan perkembangan usaha penjaminan kredit dan kualitas penjaminan kredit yang dituntut lebih prudent dan tepat sasaran.

1. Dalam proses akseptasi dan penyelesaian klaim menggunakan sistem informasi dengan Web –based B2B E-Business Model yang dapat mengkoneksikan Core Banking System dengan sistem informasi Askrindo. Proses Web-based B2B E-Business ini dapat melahirkan suatu Pertukaran data real time (real time data exchange) yang didukung dengan MIS dan decision support system yang sudah berjalan dengan baik. Proses akseptasi dan penyelesaian klaim Web-based B2B e-business telah dilakukan oleh CGTSME-India pada proses akseptasi automatic cover dengan karakteristik penjaminan kredit kecil atau memiliki nilai plafond kredit yang tidak besar. Pembayaran premi atau klaim dapat dilakukan secara on-line melalui sistem ini. Pada sistem ini diperlukan kerjasama yang kuat dengan perbankan dalam hal pertukaran data. Proses akseptasi dengan sistem ini diperkirakan dapat mengakselerasikan kenaikan kinerja penjaminan kredit terutama penjaminan kredit kecil atau Kredit usaha rakyat (KUR) seperti yang saat ini dilakukan oleh LPK milik pemerintah. Pembangunan sistem B2B e-business ini memerlukan kesiapan perangkat lunak dan keras teknologi informasi dan kemampuan SDM TI.

2. Kunci sukses dalam melakukan menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM tergantung pada 3 (tiga) aspek yaitu leadership & organization, Sumber daya manusia (Human Resources) dan Evaluasi model & perangkat penilaian yang digunakan. Hal ini telah berhasil dilakukan oleh LPK Korea Selatan” Korea Technology Finance Corporation” (KOTEC) dengan Tri Polar System sehingga kinerja penjaminan kredit dapat meningkat dengan tingkat kegagalan yang relatif rendah atau bisa diterima oleh perusahaan. Kunci utama keberhasilan dalam proses penilaian tersebut ada pada kualitas SDM yang digunakan. Beberapa langkah yang dapat menghasilkan kualitas SDM yaitu sebagai berikut:
a. Program pengembangan SDM yang dilakukan secara berkesinambungan dan tepat guna
b. Pengalaman dan kemampuan dijadikan dasar utama penilaian
c. Untuk memelihara kelangsungannya perlu ada komitmen yang kuat terhadap SDM dengan memberikan reward dan promotion opportunities

3. Pada penjaminan kredit UMKM atau KUR dapat menetapkan tingkat NPL pada suatu periode tertentu bekerjasama dengan mitra bank untuk memperoleh komitmen yang kuat dan penekanan pada prinsip kehatian-hatian. Penetapan NPL kredit UMKM ini ditetapkan untuk memperoleh besaran bantuan pemerintah terhadap kredit UMKM yang menyebabkan klaim seperti yang dilakukan oleh LPK SBCG Thailand. SBCG telah menetapkan tingkat NPL sebesar 15,5 % secara akumulatif dengan Portfolio Guarantee Scheme (PGS) untuk masa penjaminan (term of guarantee) 5 tahun. Pada PGS tersebut, IJP yang dikenakan adalah 1,75 % sehingga selama 5 tahun total IJPnya menjadi 8,75 %. Selisih IJP dengan tingkat NPL 15,5 % yaitu sebesar 6,75 % akan disubsidi oleh
Pemerintah. Pola PGS ini dapat diterapkan di Indonesia dengan komitmen perbankan mitra KUR yang kuat sehingga akan menciptakan usaha bersama dalam menerapkan prinsip kehati-hatian pada saat penyaluran KUR. Pada tahun 2009, NPL KUR di Indonesia telah mencapai 5,83 % dan tingkat NPL ini tidak ada usaha untuk membuat suatu batasan angka NPL tertentu dan dibiarkan bergerak liar sehingga tingkat NPL dapat meningkat tajam. Penetapan NPL KUR secara bersama-sama dengan perbankan mitra akan lebih efektif dan menghemat bantuan keuangan pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Askrindo dan mitranya Jamkrindo dalam mengembangkan amanat program penjaminan KUR dapat men-push pemerintah atau mengusulkan sistem PGS tersebut dengan melibatkan perbankan mitra.

4. LPK dapat membuat suatu program yang dapat membantu UMKM untuk memecahkan masalah manajemen dan permodalan. Seperti halnya yang dilakukan oleh SBCG Thailand yang telah membentuk SMEs Clinic yang memberikan bantuan kepada UMKM berupa informasi dan konsultansi keuangan dan manajemen untuk meningkatkan kinerja UMKM. SMEs Clinic ini juga bekerjasama dengan perbankan mitra yang menyalurkan kredit UMKM agar UMKM yang sehat dapat memperoleh pinjaman/kredit UMKM berdasarkan analisis dan konsultasi SMEs Clinic.
Program ini sebenarnya juga dapat dilakukan juga di Indonesia agar UMKM yang feasible dan unbankable dapat dengan cepat dan efektif menggunakan KUR untuk meningkatkan usahanya. Perbankan mitra diyakini akan tertarik dengan program ini karena dapat menurunkan tingkat NPL KUR secara keseluruhan.

5. LPK dapat mempertimbangkan untuk melakukan penjaminan kredit personal/individu (personal credit guarantee program) bekerjasama dengan perbankan mitra dengan skim yaitu:

Dalam menjalankan usaha penjaminan kredit personal ini harus didukung dengan sistem informasi yang relatif cukup baik antara sistem LPK dengan bank mitra. Skim penjaminan kredit personal ini telah dilakukan oleh LPK Korea yaitu Koreg dengan tingkat NPG-nya sekitar 2,96 %. Selain itu, Koreg juga menerapkan suatu sistem anti fraud dari kredit individu yang dikenal dengan Anti-Fraud Detect Service (AFDS) sehingga NPG program ini dapat diminimalisasi pada tingkat yang diterima oleh perusahaan. Ada beberapa informasi yang dapat dieksplorasi dari AFDS yaitu rekaman data historis keuangan pegawai sebagai peminjam/borrower yang pernah mengalami default atau dikategorikan black list dan black list dari orang-orang yang tergabung dalam mafia kejahatan/orang-orang yang pernah punya itikad tidak baik. Dari AFDS ini juga dapat menentukan limit penjaminan kredit personal. Berdasarkan data empiris NPG penjaminan kredit personal ini, tingkat IJP yang harus dibayar minimal sama dengan NPG empiris.
Pertukaran data sistem perbankan dan sistem LPK ini menjadi bagian yang kritis dan penting dalam menerapkan prinsip ke-hati-hatian dan mencegah kerugian yang lebih besar lagi. Disamping itu, langkah yang dilakukan untuk menurunkan risiko kerugian antara lain melakukan prosedur verifikasi pendapatan/gaji pegawai debitur yang relatif ketat.

6. Untuk mengurangi risiko penjaminan sekaligus meminimalisasi tingkat NPG, di Jepang dilakukan pre claim treatment berupa postpone repayment. Selain itu, untuk mencegah adanya kelompok debitur yang tidak memiliki itikad baik dalam proses penyaluran kredit UMKM melalui mekanisme penjaminan kredit maka LPK bekerjasama dengan pihak kepolisian. Kerjasama dengan pihak Kepolisian ini juga memiliki fungsi untuk meningkatkan penerimaan recovery dari debitur/UMKM yang mengalami gagal bayar kredit. Pertukaran data antara sistem LPK di Jepang (Credit Guarantee Corporate (CGC)) dengan pihak Kepolisian tentang debitur/UMKM yang tidak memiliki itikad baik sangat mempengaruhi keberhasilan kerjasama tersebut. Sistem minimalisasi risiko penjaminan kredit ini dapat dilakukan juga oleh LPK di Indonesia bekerjasama dengan Kepolisian dengan menerbitkan suatu MOU kerjasama jangka panjang atau jangka pendek. Kerjasama ini juga akan memberikan suatu shock terapy bagi debitur/UMKM yang tidak memiliki itikad baik agar tetap menaati perjanjian kerjasama penerimaan kredit dari perbankan dan penjaminan dari LPK.

7. Peranan teknologi informasi dalam usaha penjaminan kredit telah merubah strategi peningkatan pelayanan nasabah dari manual menuju sistem on-line berbasis Web. LPK di beberapa negara Asia seperti Jepang, Taiwan, Korea dan India telah melakukan pelayanan penjaminan pada proses akseptasi/ penutupan yang cepat dengan menggunakan web-based / on line system yang dilengkapi dengan on line interactive training modul. Proses akseptasi melalui on-line system berbasis Web ini diperuntukan pada penjaminan kredit skala kecil dan risiko kreditnya telah dianalisis secara maksimal oleh perbankan. Pada proses on-line ini LPK sebagai follower of bank. Sebagian LPK di negara Asia juga telah melakukan pembaharuan dari manual claim settlement ke on line claim settlement.

8. Penjaminan kredit UMKM merupakan program yang diarahkan untuk mendukung program pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Jumlah LPK di Indonesia yang dimiliki oleh pemerintah hanya 2 (dua) LPK yaitu Askrindo dan Jamkrindo kurang optimal dalam menjamin kredit UMKM karena usaha tersebut tidak dapat menjangkau UMKM di seluruh Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi. Usaha penjaminan kredit UMKM perlu perpanjangan tangan atau ekspansi bisnis dengan melibatkan Pemerintah Daerah dalam bentuk Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) seperti yang dilakukan oleh negara Jepang dan Korea. Untuk menekan kerugian penjaminan kredit daerah diperlukan mekanisme penjaminan ulang (re-guarantee) dari LPK milik Pemerintah seperti Askrindo sebagai re-guarantor. Peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam usaha penjaminan kredit yang melibatkan re-guarantor dan LPKD ini adalah:

1. Memberikan dukungan regulasi yang dapat memperluas gerak usaha penjaminan daerah dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak swasta.
2. Memberikan dukungan bantuan keuangan kepada LPK dan re-guarantor berupa subsidi premi dan pembayaran klaim atas penjaminan dan re-guarantee yang gagal, serta Pemerintah Daerah dapat memberikan subsidi premi dan klaim bagi LPKD berdasarkan coverage penjaminan dan penjaminan ulang (re-guarantee) yang telah disepakati.

PROGRAM MULTIPLE TRI STAR LPKD MEMPERKUAT DUKUNGAN PENGEMBANGAN UMKM DI DAERAH

I. PENDAHULUAN

Sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998, UMKM telah menunjukkan peran yang sangat penting dalam menggerakkan ekonomi baik dalam lingkup nasional maupun daerah. Sejalan dengan itu, perhatian pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah terhadap sektor UKM pun dari waktu ke waktu semakin besar. Peranan UKM terhadap perekonomian pada saat krisis telah terbukti memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan entitas ekonomi lainnya dan tetap eksis memberikan kontribusi yang relative besar dalam pemulihan ekonomi. Pada saat ekonomi stabil pun, peranan UKM tetap dominan sebagai penopang ekonomi yang kokoh seperti yang dilansir dalam berbagai data resmi pemerintah.

Selain memiliki daya tahan ekonomi relatif cukup baik pada saat krisis ekonomi, kontribusi ekonomi UKM terhadap ekonomi nasional dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Begitu pentingnya kinerja sektor riil yang dimotori UKM untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah telah berupaya menggunakan seluruh kebijakan ekonomi untuk mendukung pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKM). Salah satu kebijakan Pemerintah dalam mendukung pengembangan UMKM yaitu dengan menggunakan mekanisme penjaminan kredit UMKM yang dapat mempermudah akses keuangan UMKM dari perbankan. Kebijakan strategis pemerintah ini memperoleh respon positif dari perbankan dan Lembaga Penjaminan di Indonesia.

Perkembangan usaha penjaminan menunjukkan perkembangan yang dinamis yang diindikasikan dengan dukungan Pemerintah sebagai regulator dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi pemerintah ini telah memberikan peluang usaha penjaminan yang lebih besar lagi dalam upaya pengembangan UMKM melalui Aliansi dengan Pemerintah Daerah dalam bentuk Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD)/Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). LPKD dibentuk dengan pola kerjasama/mitra antara Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) yang sudah eksis dengan Pemerintah Daerah dan tak menutup kemungkinan diperluas dengan melibatkan pihak swasta di daerah.

Pembentukan LPKD harus sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dasar hukum pendirian LPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.

Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi Perusahaan sebagai dampak positif dari perubahan eksternal, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:

”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”

Dari bunyi ketentuan tersebut, terdapat dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, bahwa perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan.

II. MULTIPLE STAR LPKD

Peluang usaha penjaminan dalam mendukung pengembangan UMKM yang relatif besar dan memperoleh respon positif dari perbankan, perlu ditangkap oleh LPK dengan mengeluarkan kebijakan strategis yang dapat mengoptimalkan kerjasama dengan pihak eksternal terutama Pemerintah Daerah dan Perbankan.

Strategi Aliansi LPK yang akan ditetapkan bertujuan untuk memperluas dan memperkuat (enlargement and empowered) kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Perbankan serta dimungkina dengan pihak Swasta melalui optimalisasi usaha penjaminan kredit dalam rangka mengembangkan UMKM di seluruh wilayah potensi UMKM di Indonesia. Strategi aliansi juga akan mengeksplorasi potensi bisnis penjaminan kredit daerah yang relatif besar sehingga menjadi icon bisnis penjaminan kredit LPK.

Strategi Aliansi dalam usaha penjaminan kredit diutamakan pada pengembangan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) yang mengoptimalkan peranan Pemerintah Daerah (Pemda) dan Perbankan. Dalam implementasi usaha PPKD dituntut komitmen dan strategi yang baik berdasarkan potensi ekonomi, pasar dan aturan regulasi yang berlaku. Optimalisasi implementasi strategi aliansi dilakukan melalui suatu program Multiple Tri Star PKD (MTS PKD) yang melibatkan LPK, Pemda, dan Perbankan dalam penjaminan kredit daerah.

Strategi Aliansi LPK yang dimiliki Pemerintah dijalankan dengan mempertimbangkan kapasitas penjaminan LPK maupun Pemda dan perbankan agar dapat memenuhi tuntutan regulasi yang ada. Rencana strategi aliansi ini dapat memberikan berbagai alternatif posisi LPK dalam pengembangan PPKD yaitu:

1. Sebagai perusahaan Holding yang memiliki penyertaan MODAL Lembaga Penjaminan Kredit Daerah yang tersebar di seluruh provinsi.
2. Sebagai Re-Guarantor atau Co-Guarantor yaitu sebuah perusahaan yang memperoleh dukungan finansial dari pemerintah dalam melakukan kegiatan penjaminan kembali PKD
3. Sebagai perusahaan Lembaga Penjaminan Kredit Induk yang memiliki unit kerja di daerah yang berperan sebagai joint bussiness dengan Pemda dan Perbankan seperti posisi PT. LPK menjalankan PPKD saat ini (As it is).
4. Sebagai LPK yang berfungsi sebagai mitra business yang mendampingi LPKD dalam bentk technical assisstants.

Tujuan pembentukan PPKD ini memberikan manfaat kepada Pihak Tri Star (Pemda, LPK, dan Bank) adalah sebagai berikut:

MANFAAT UNTUK PIHAK PEMDA
(a) OPTIMALISASI PEMANFAATAN DANA APBD
(b) PENGEMBANGAN UMKM
(c) PERTUMBUHAN PEREKONOMIAN DI DAERAH
(d) PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
(e) PENYEDIAAN LAPANGAN PEKERJAAN
(f) MENGURANGI COST OF DEVELOPMENT PEMDA

MANFAAT UNTUK BANK
(a) MEMBANTU PENYALURAN KREDIT
(b) PENGENDALIAN RISIKO KREDIT
(c) PENDAPATAN MENINGKAT

MANFAAT UNTUK LPK
(a) MENDUKUNG PENGEMBANGAN UMKM DI DAERAH
(b) RISIKO KERUGIAN DITANGGUNG BERSAMA
(c) MEMBANTU PEMDA DALAM MEMBENTUK LEMBAGA PENJAMINAN


III. BENTUK ALIANSI TRI STAR

Untuk merealisasikan strategi aliansi tersebut perlu suatu skema usaha penjaminan yang mengakomodir seluruh kepentingan komponen Tri Star (LPK, Pemda, dan Perbankan) dalam bisnis penjaminan kredit UMKM . Skema usaha penjaminan dimana LPK sebagai titik sentral dari pengembangan PPKD harus berdasarkan pada kepentingan bisnis perusahaan dan kepentingan pemerintah dalam mengembangkan UMKM. Bentuk Strategi aliansi yang dapat diterapkan ada beberapa bentuk seperti pada model di bawah sebagai berikut:

3.1. LPK sebagai Holding PPKD

3.2. LPK sebagai Co-Guarantor

Untuk membantu PPKD memperbesar kapasitas penjaminan dan melakukan risk spreading dibutuhkan suatu Co-Guarantor atau Re-Guarantor dengan coverage re-guarantee atau co- guarantee berkisar 60 % - 70 % ditanggung oleh LPK. Dengan besaran coverage ini, LPK membutuhkan bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat bisa dalam bentuk PSO atau PMN.

3.3. LPK BUMN.
Bentuk aliansi dengan tetap mempertahankan posisi LPK seperti saat ini (As it is) dapat dilakukan selama regulasi memperbolehkan LPK yang saat ini sebagai perusahaan Asuransi dan penjaminan miliki pemerintah dapat menjalankan usaha penjaminan kredit. Bentuk strategi aliansi ini dapat juga memberikan suatu technical assisstant kepada PPKD yang baru dibentuk.

IV. PELAKSANAAN DI LAPANGAN

Pelaksanaan Strategi Aliansi LPK terutama dalam mengembangkan peran aktif Pemda, perbankan dan pihak swasta dalam pembentukan LPKD harus melibatkan stakeholder lainnya seperti DPRD. LPKD yang dibentuk dengan penyertaan modal daerah (PMD) dari APBD harus memperoleh persetujuan DPRD dengan memperhitungkan akuntabilitas dan azas manfaat baik bagi rakyat khususnya UMKM maupun peningkatan pendapatan/fiskal daerah. LPKD yang dibentuk dengan PMD dapat berbentuk Perum, Perseroan Terbatas maupun Perusahaan Daerah (BUMD) diharuskan berorientasi keuntungan agar ada kontribusi ekonomi pada pendapatan daerah atau peningkatan fiskal daerah. Disamping itu, LPKD juga harus dapat berperan untuk meningkatkan perekonomian daerah melalui sektor riil berupa kontribusi ekonomi UMKM.

LPKD yang dibentuk tidak menutup kemungkinan dapat berafiliasi dengan pihak swasta yang memiliki visi dan misi menggerakan perekonomian daerah melalui kontirbusi ekonomi UMKM.

Permasalahan LPKD yang hanya menjalankan usaha penjaminan kredit UMK yang cenderung merugi ini dapat diselesaikan dengan cara menjalankan usaha diversifikasi produk non penjaminan kredit UMKM yang bersifat profit oriented seperti penjaminan konsumtif (penjaminan kredit pegawai Pemda, BI, atau DPRD) dan penjaminan produktif yang selektif. Keberhasilan LPKD atau PPKD dalam menjalankan usaha penjaminan kredit UMKM dan non penjaminan kredit UMKM ditentukan pada manajemen portofolio yang seimbang dan tepat dari kedua usaha tersebut.
LPK sebagai Lembaga Penjaminan Kredit dapat menjadi fasilitator dan berperan aktif baik secara teknikal dan modal dalam pelaksanaan usaha LPKD dengan tetap memperhatikan tuntutan stakeholder LPKD.

V. PERMASALAHAN DAN SOLUSI
Dalam mengimplementasikan strategi aliansi LPK terutama melalui pengembangan PPKD di daerah akan dijumpai berbagai permasalahan yaitu antara lain:
1. Bentuk perusahaan PPKD yang bekerjasama dengan Pemda jika dalam bentuk BUMD dituntut untuk profit oriented, sedangkan usaha penjaminan kredit UMKM berdasarkan pengalaman negara lain (termasuk Indonesia) termasuk usaha yang cenderung merugi. Karakteristik usaha penjaminan kredit UMKM yang merugi ini menjadi tantangan tersendiri bagi stakeholder teratutama DPRD yang menyangkut penggunaan APBD.
2. Kurangnya tenaga ahli dalam bidang penjaminan kredit UMKM
3. Kurangnya bantuan technical assisstance bagi UMKM dalam mendukung kinerja UMKM baik sebelum maupun sesudah menerima kredit UMKM seperti pada pemasaran produk UMKM maupun kemampuan manajemen lainnya.
4. Belum adanya suatu skema risk spreading dalam usaha penjaminan kredit UMKM sebagai salah satu mitigasi risiko untuk mereduksi risiko PPKD
5. Kurangnya dukungan modal PPKD bagi provinsi/Daerah tingkat II yang miskin yaitu sebesar Rp. 50 milyar.

Agar strategi aliansi LPK dapat berjalan dengan baik, ada beberapa solusi yang dapat mengatasi permasalahan di atas yaitu:
1. PPKD dapat memperoleh keuntungan dengan jalan melakukan diversifikasi produk yang profit oriented seperti penjaminan kredit konsumtif bagi pegawai DPRD atau Pemda atau Instansi Pemeirntah lainnya yang berada di wilayah tersebut serta penjaminan produktif yang selektif dan menguntungkan lainnya.
2. Tenaga ahli dapat diperoleh dari SDM Lembaga Penjaminan yang sudah ada dan kredibil seperti SDM LPK atau dengan melakukan technical assisstant.
3. Untuk membantu PPKD meng-eliminasi risiko kredit yang relatif besar maka perlu suatu re-guarantee atau co-guarantee dari re-guarantor atau co-guarantor. LPK yang memiliki pengalaman dan kapasitas penjaminan yang relatif besar dimungkinkan menjadi re-guarantor/co-guarantor. Posisi LPK sebagai re-guarantor/co-guarantor akan lebih sustain dan optimal jika diberikan bantuan keuangan dari Pemeirntah Pusat untuk mengantisipasi klaim yang relatif besar dan dapat mengurangi modal LPK.


4. Permasalahan permodalan PPKD yang dialami oleh Pemda dapat diatasi dengan cara:

4.a. Melalui fund sharing dari Pemda Kabupaten/Kota yang berada di bawah provinsi yang terkait.
4.b. Melibatkan penyertaan modal Lembaga Penjaminan yang sudah eksis seperti LPK.
4.c. Memanfaatkan dana CSR/PKBL perusahaan BUMN dengan porsi yang effektif misal 30 % dana CSR/PKBL perusahaan BUMN digunakan sebagai kredit KUR yang disalurkan oleh perbankan nasional atau daerah. Pengelolaan dana CSR/PKBL 30 % tersebut dilakukan oleh Kementerian BUMN yang berkoordinasi dengan perbankan.

5. Technical Assisstance yang diperuntukan bagi UMKM baik di bidang pemasaran produk dan lainnya dapat digunakan peranan PPL/KKMB atau lembaga swadaya yang memiliki perhatian tinggi terhadap ekonomi kerakyatan di daerah.

Rabu, Juni 30, 2010

Implementation of Enterprise Risk Management in Guarantee Business

INTRODUCTION

Guarantee Business as well as the Insurance services are categorized as risky business because its main product is to ensure the risk of failure to pay its customers (Guaranteed) which utilize banking services or projects from other parties. Business risk guarantee is estimated larger than the banking business because of the effort involves three parties namely the guarantee of the Guarantors, Accepting Warranty and Guaranteed while the banking business at its main products involve only two parties ie. creditors and debtors.

Assurance agencies in Indonesia and in Asia that run credit guarantee programs for supporting government in UMKM ( SME’s ) development based on experience and empirical data mostly losers. On the other hand, the guarantee institution shaped Limited Liability Company (PT) in Indonesia is required remains sustainable and provide economic benefits to the government and the national economy. Strategies of Insurance/Guarantee Company in the form of PT and the Public Corporation (Perum) to remain sustainable is to conduct commercial profit-oriented business diversification and manage risk of underwriting business in order to reduce losses at the level received by the company.

Consequences underwriting business consisting of three parties demanding risk management sourced from third parties. Third party possesses the potential hazard that could affect the magnitude of risks and opportunities emerging impact the Company. Insurance Agency as Guarantor party who provides a guarantee has its own potential hazard that could impact the insurance (premium increases and lower claims rate) such as the existence of collusion, corruption and negligence in the process of underwriting and other business support processes. Similarly Recipients Assurance (eg banking) and Guaranteed to have a relatively high potential hazard that could impact the credit guarantee itself. Not to mention if there is a potential hazard from external parties arising from the guarantee industry and regulators, is certainly the risk management become so important and can not be ignored role.

Potential hazard came from the third parties involved in businesses underwriting can improve your chances of future occurrence risk thus affects the performance guarantee of business. Effective risk management and efficient and involves all components of the company ranging from BOD, senior management and all employees necessary to enable the business losses incurred in credit guarantee can be controlled and can be accepted by the company.

Urgency to the implementation of corporate risk management is now a requirement of companies for underwriting and risk control to meet regulatory demands related to the implementation of good corporate governance (Good Corporate Governance (GCG)).

Corporate risk management is one important pillar of GCG implementation that can provide great opportunities that the company is driven to fulfill all aspects of the rules and regulations internal and external (complies) with due regard to the risks identified with the good of all aspects of the business and its supporters.

ERM model will be described below is adopted from the case of ERM Indonesian Credit Insurance Company (PT Askrindo) which carries on business guarantee insurance business as well as COSO framework (Committee of Sponsoring Organization).
PT Askrindo is a business entity in Indonesia which is unique and probably the only one in Indonesia can be a good collaboration between business-oriented profit-oriented to public service in the form of underwriting and insurance/guarantee businesses. PT Askrindo is said to run the insurance/guarantee business because of regulations in Indonesia is still considered that the Surety Bond, customs bonds, trade credit insurance and credit guarantee insurance business, although classified in the scheme used is the guarantee scheme. Currently the guarantee is still at the level of regulation of government regulation or decision of finance ministers pledge Whereas regulatory level Law is in the process of preparation. On one side of the PT Askrindo trying to support government programs to develop SMEs with credit guarantee products with characteristics that tend to lose business, but on the other side of PT Askrindo required to obtain and remain sustainable profit runs businesses in the form of underwriting and insurance products that includes product diversification Surety Bond, customs bonds, trade credit insurance (Askredag) and reinsurance. So complex that the business is run by PT Askrindo and to meet the demands of the regulator, which requires the state-run companies have a risk management unit, PT Askrindo beginning in 2010 must be and have started implementing Enterprise Risk Management (ERM is) with the approach of the rules and principles and insurance underwriting. Development process and the search for appropriate forms of ERM with the corporate goal is still ongoing.

FRAMEWORK ERM

Enterprise Risk Management (ERM) is a process involving the company, including BOD, management and all employees of the Company in identifying events or potential events that create an impact (losses), comprehensively manage the quantity / size that can be accepted by the company, and to ensure attainment of corporate objectives. In various economic enterprises in the world known various ERM framework in accordance with the viewpoint of risk management and social culture of a nation. ERM framework model that is used by many industries today is BS, British Standarts - IRGC (BS6079-3) (2000), International Risk Governance Council (IRGC) in 2004, COSO (Committee of Sponsoring Organizations), AS / NZ, Australia & New Zealand Standard (AS / NZS) 4360, ISO (International Organization Standarts) 31 000 (2009). Differences in the ERM framework can be seen in the table below.

Table 1. Framework (Framework) Risk Management

In the framework of the five models above, there are basic similarities of the implementation of the ERM process includes risk identification, risk measurement, risk mapping and risk mitigation. Basic risk management process will be actualized and implied by the company in accordance with the goals, company size and regulation set by the government.


CHOICE OF BASIC ERM FRAMEWORK.
Various ERM framework used by companies in different economic sectors has its own characteristics and is built on the basis Management and social point of view of local culture. Election ERM framework consistent with best practice where the company conducts business activities can be based on the following considerations:

1. The purpose and mission
2. Organizational needs and characteristics of existing business
3. Demands and regulatory requirements & regulations
4. Company size (size of company), including the resources available in the implementation of ERM

ERM IMPLEMENTATION OF SUCCESFULL ACHIEVEMENTS KEY.

The successful implementation of ERM is dependent on the human resources involved in the activities of the ERM (effective by people). Sophistication of systems and mechanisms for the implementation of ERM will not guarantee that the objectives would be achieved if not supported by the quality and integrity of corporate human resources. The main key to success in the implementation of ERM is dependent on the quality and integrity of human resources. The successful implementation of ERM in general will be determined by several important factors, namely:

1. There are a commitment from the Board of Directors (BOD), the Board of Commisioner (BOC) and senior management. BOD commitment is the dominant factor determining the successful implementation of ERM for the ERM can not be applied if the BOD is not fully supported.
2. existence of policies, systems and process controls that are supported by the culture of risk (risk culture) (regardless of risk) is strong.
3. The existence of clarity in determining the risk appetite and risk tolerance in accordance with the company's ability (clear limits on delegated authority).
4. Communication and continuous learning.
5. The integration between the ERM into the strategic planning, business processes, assessing the work / performance and competence (rewards associated with the risk based system performance).
6. The existence of a permanent organization of risk management
7. The existence of a clear accountability and responsibility (including clear ownership of risk)

The Integrity and quality of human resources will determine the successful implementation of ERM so we need education and training that can increase Intelegencia Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) and Spiritual Quotient (SQ) via the character of religious training and motivation of the work ethic and loyalty of employees to the company. Similar training should be conducted regularly and periodically so that HR always given awareness of the integrity and capacity contribution of HR in achieving corporate goals.

ERM IMPLEMENTATION ELEMENT

In the construction of the ERM, there are 3 (three) elements that must be built and prepared for the implementation of ERM can be run effectively as in the picture below, namely:

1. Framework (Risk Governance)

Elements of development frameworks that must be drawn between other include the Directors commitment, cultural awareness of the risks and implementation risks, determining risk appetite and risk tolerance, structure and functions of the organization and policy. Elements of this framework is the basic element to determine the success of the implementation of ERM that it all depends on the quality and integrity of human resources.

2. Infrastructures

ERM Implementation requires infrastructure in facilitating the implementation of ERM in the company. Infrastructure required to implement ERM is the methodology, information systems technology primarily used for data processing risk, Procedures (SOPs guide the implementation of ERM and ERM) and information systems that can provide a continuous ERM reporting to management.

3. Process

ERM is a process that is done continuously, integrated and involve all staff in managing the risks that may increase the odds of achieving goals. The principal risk management process carried out within the ERM is the process of identifying, measuring, mapping and risk mitigation. Other risk management processes that are not less important is the process of monitoring, communication, reporting and risk management controls. To implement the risk management process is crucial in a system and a relatively adequate resources both in technology or manual.

At this time, PT Askrindo already have elements of ERM implementations are relatively complete and start implementing ERM involves risk taking units with the help of risk management information system based on Web.

ERM IMPLEMENTATION IN GUARANTEE BUSINESS.

ERM PT Askrindo can be considered as models in an effort to guarantee the implementation of ERM. PT Askrindo since mid-2010 already has elements of ERM is a relatively complete implementation and management including the BOD has given a commitment for the implementation of ERM in the company and continue to develop the concept of ERM implemntasi appropriate for the company. In addition, PT Askrindo also has a Contact Person or Risk Risk Champion in all work units both at central and branch offices to support the implementation of the ERM with the assistance of risk management information system based on Web.

The concept of risk management is applied in PT Askrindo is insightful and principled on integrated enterprise risk management. Risk management is an integrated corporate risk management process that starts from the process of identifying, measuring, mapping, mitigation and monitoring and evaluation involving company management in the process of determining the strategy in all work units in an integrated manner. The concept of risk management designed to identify events (events) that has a negative for the company and manage risk in order to always be within the limit of tolerance of risk management.
For company, the above objectives, the management of building and integrating risk management into corporate values and business processes to adhere to basic principles:

a. Alignment between management strategy and risk tolerance will always take into account and consider the company's risk tolerance in determining a variety of alternative business strategies, business goals, and develop risk management mechanisms.
b. Continuously improve the quality awareness of a risk and create a culture of risk.
c. Reduce to lowest possible level of the surprises and losses that could affect the company's operational decisions.
d. Consistently identify and manage multiple risks and risks among units. Companies will face a lot of different forms of risk, which directly or indirectly affect the various activities of work units in conducting operations. Therefore, companies applying risk management to be able to facilitate the determination of an effective response on the effects of interrelated and determination of the integrated responses of multiple risks.
e. Capturing the opportunity to learn a variety of potential risks, management will be in a position to proactively identify and easy to catch any possible risk in the company.
f. Improving the quality and effectiveness of the use of company resources with the availability of diverse information complete and accurate risk management will help to effectively measure the possible risks associated with the company's business.

EARLY STAGE RISK MANAGEMENT APPLICATION

In the early development of ERM systems and mechanisms in the PT Askrindo, performed three stages of ERM implementation phase, as follows:

Third phase of these activities can be described in more detail in the steps following the implementation of ERM as follows:

1) Identify all the risks associated
2) Designing risk criteria and sub criteria of risk
3) Designing a system of risk management controls and establish the Risk Owner
4) Undertake an assessment of residual risks with the Risk Owner
5) Prepare detailed activity is a significant risk for reduced
6) To report significant risks to the management and mitigation suggestions
7) Allocate resources to mitigate significant risks
8) Monitor the mitigation process and the development of significant risk mitigation.
9) Evaluate the risk management and analysis of risk mitigation activities
10) Develop risk management in the deal work (Key Performance Indicator (KPI))

If depicted in chart form, the steps ERM Implementation at PT Askrindo can be illustrated as follows:

Figure 2 ERM Implementation Steps



After preparing the implementation of ERM as above elements then the next step in managing the risks continuously in accordance with the framework set by the ERM-based computerized system.

ERM IMPLEMENTATION BASED BUSINESS GUARANTEE

ERM-based PT Askrindo can be said of the guarantee because there are some characteristics of the guarantee in the process of risk management among others:

1. In the process of determining the risk appetite and risk tolerance, the foundation that can be used is Risk Based Capital (RBC), gearing ratio, or the minimum solvency margin (less). The amount of claims that can be received by the company can be used as a basis to decide Risk Appetite and Risk Tolerance. Risk Appetite is the basis for determining adjusted to the capacity of firms in the maximum risk will occur and the ability to handle risk management and regulatory requirements and applicable regulations. PT Askrindo in determining the risk appetite to use the gearing ratio indicators in addition to considering the risk appetite of the Board Of Directors (BOD).

2. In the process of identifying and measuring risk, the risk-assessment is in comes from the underwriting business conducted by the entire work unit operations or production, so would have recorded the risks associated with the risk classification of business processes in the underwriting business. The result of this risk assessment would provide a signal that risk mitigation efforts are also based on underwriting and policy provisions and regulations that govern.

RISK MANAGEMENT COMPONENTS

Risk management conducted by PT Askrindo with COSO Framework has eight components that are interrelated. These parts are constructed of corporate governance that integrates with management processes.
Eight components of the COSO framework as in the picture below is integrated with strategy, operations, reporting systems, and compliance and the presence of various units involved in the process of corporate risk management at the head office or branch office. Election COSO framework by PT Askrindo the basis, among others, that the framework can accommodate the implementation of ERM to the branch office / SERVICES OFFICE. In developing and implementing ERM PT Askrindo conduct risk management processes such as the COSO framework as follows:


Figure 3 ERM Framework components COSO



i. Internal Environment
Internal environment that is conducive, supportive, and positively affect the company's working culture directly in view, and mitigate the risks, including risk management philosophy, risk tolerance, the values of integrity and ethics and environment.
ii. Targeting (target)
Setting objectives and targets, should be done by first considering the potential risks that negatively affect efforts to achieve goals / targets. Management will always set a business target in the corridors of corporate risk tolerance.
iii. Risk Identification
Management will identify the risks of internal and external that may affect the achievement of business objectives. Management always tries to position itself at a level that can easily distinguish between the risks and opportunities. Any chance of a successful arrest will be incorporated into the process of goal setting Company.
iv. Risk assessment
These risks are analyzed and considered the probability of occurrence (likelihood) and the potential impact of the loss (impact) as a reference to manage them. Risk is measured based approach inherent risk and residual risk.
v. Follow-up Risk
Management will set a follow-up and effective response to a risk. Spectral response of avoiding, accepting, reducing, or transferring risk. Response options will be influenced by a desire for tolerance and risk management and corporate.
vi. Control and Supervision of risk
A number of policies and guidelines established, defined and implemented to create a system of effective monitoring and control to facilitate risk management choose the response that effectively and efficiently.
vii. Reporting systems and risk management software
Various relevant information identified, captured, and communicated in the form of an informative, well structured and timely manner so that each organization can be responsible for carrying out their respective responsibilities in achieving corporate goals. This reporting system will be supported by computer-based information system using Web facilities. Management has a high priority to develop and have activities that are integrated, effective and connected online to all work units at headquarters and branch offices.
viii. Monitoring
Monitoring is important so that effectiveness can be known modifications and repairs needed on integrated enterprise risk management system. Monitoring is carried out through ongoing management activities, special evaluations, or both.


RISK IDENTIFICATION PROCESS

Identification of activities could be done with the approach through the list of past loss events that influence the future (loss event), the internal analysis, indicators of certain conditions, and the company's business process flow analysis. Risk Owner / Risk Contact Person who has been appointed from all risk taking units can be delivered / proposed a categorization of risk and incidence of new risks that have not been informed by the corporation to the Risk Management unit. In general the risk identification process in PT Askrindo described as follows:

Figure 4. Risk Identification Process

At the risk identification, PT Askrindo especially risk management unit conducted interviews with risk taking units with the help of the risk owner / risk contact person at the head office and branch office / SERVICES OFFICE. The results of this risk identification and inventory will be inputted in the system of risk management information.

Risk Classification


Classification of risk into risk management objectives in the implementation of the ERM can vary depending on the result of inherent risk assessment in the company. Classification of risk into risk management objectives in the ERM implementation PT Askrindo has its own characteristics, which in accordance with the results of risk assessment and product characteristics. Based on the risk assessment conducted by risk management unit of PT Askrindo, generally found the risks from the business process, business support activity and the external environment consists of:


a. Financial Risk
Namely fluctuations in the target company's financial or monetary measures since turmoil various macro variables may include policy changes, fluctuations in cash flow, market risk, product risk. Based on risk assessment, financial risk Askrindo which includes:
1. Risk Policy
2. Fluctuations Risk Cash Flow
3. Risk Reporting
4. Taxation Risk
5. Marketing Risks
6. Risk Product.

b. Operational Risk.
Is the potential deviation from expected results due to a system malfunction, human resources, technology or other factors. Operational risks can be caused by several factors such as: human resources (HR), the achievement of performance and regulatory compliance procedures and policies in the industry guarantee / insurance. Based on risk assessment, operational risks Askrindo include:

1. Human Resources (HR)
2. Achieving Performance
3. Compliance with Regulations and Procedures
4. Policies in the Industrial Risk Guarantee / Insurance.

c. Strategic Risk
Is a risk that can affect the exposure of corporate and strategic exposure as a result of strategic decisions that do not conform with changes in the external environment and internal operations. Strategic risk may be caused by investment companies, changes teknologi and information, decreasing the company's reputation, and not the company realize its strategic goal. Based on risk assessment, strategic risks PT Askrindo include:
1. Investment company
2. Changes in technology and information,
3. Decline in corporate reputation, and
4. Failure to achieve corporate strategic goals.
d. External Risk
Is the potential deviation results on corporate exposure and the potential strategic impact on the business closure due to state / external pressure. Which includes external risks PT Askrindo is the law and government policy changes.

RISK MEASUREMENT PROCEDURES.

In the process of risk measurement, the ERM-based implementation of the guarantee business will be obviously based on indicators that have relevance to the business of underwriting. Here's risk measurement process the guarantee business approach:


a. Measuring Risk Probability.

To measure the probability of risk can be used various statistical methods which are as follows:

(1) Risk Probability Poisson Method
(2) Binomial Approach
(3) Approximation Method

Used if not available past data that can be used to explore the possibilities of something happening of an accident. This method requires 3 (three) estimated the possibility (probability) of a risk to others and are formulated with a weighted average approach.


The third assessment of the results incorporated into the formula below to get the value of the probability of an event risk:

Probability = O+4M+P
6

Where,
O = Optimistic values, the highest value obtained.
M = The value of moderate or middle value.
P = Pessimistic value or lowest value.

(4) Comparative Method
Used if not available past data and other data that can be used to explore the possibilities of something happening of an accident. This method requires a comparison possibility (probability) of a risk that has ever happened in other places and similar and equal to the probability of risks facing companies today.

(5) Frequency Indication Method Approach.
To facilitate the filling of data / information on the probability of risk at the beginning of the process of risk identification activities can use the frequency approach. Following probability table using the frequency approach:

Table 2, requency indication
FREQUENCY INDICATION..
b. Impact Risk.

Impact of risk is a consideration of the quantitative assessment of the extent of loss (severity) that would be suffered by the company for an event risk.
Criteria risk impact is the total loss suffered in the aggregate or total of each risk event (loss of opportunities / or opportunity loss) of a category of risk the same.


The Magnitude of Risk Tolerance can be calculated on basis of :

• Scale of capital (risk-based capital)
• Scale business turnover (gearing ratio)
• Scale the minimum solvency margin requirements (less)
• Scale revenues (underwriting premiums)
• Scale operating costs (underwriting)


In determining risk appetite and risk tolerance in PT Askrindo, There are two ways to do that are:

1. Perception Board Of Directors of the company's risk. Based on interviews with the BOD results obtained a description and an indication that can be used as the basis for the preparation of risk appetite.
2. Of several indicators used in connection with the underwriting business, PT Askrindo has determined that the gearing ratio as an indicator approach to measuring the impact of risk. Method of calculating the impact of risk based on the gearing ratio is as:

Net equity based on financial statements (balance sheet) in 2009 was Rp. 1.011 trillion.
Outstanding value of the guarantee is USD. 12.426 trillion.
The gearing ratio of 10 times it was set with the assumption that the level of congestion or non-performance of credit guarantee (NPG) by 10% thus guaranteeing capacity to clean its own capital owned by PT Askrindo of Rp. 1.011 trillion is USD. 10.11 trillion.


In the year 2009 the value of collateral amounted to USD. 12.426 trillion, or have reached the gearing ratio = (IDR 12.426 trillion / USD. 1.011 trillion) = 12.29 times.
Values that do not guarantee in-bacServices Office with its own capital reserves or net is
= IDR. 12,29 trillion – IDR. 10,11 trillion
= IDR. 2,19 trillion

So that is not at risk with a bacServices Office with the assumption NPG 10% of the value of the guarantee amount to IDR. 2.19 trillion is IDR. 219 billion
or rounded IDR. 220 billion.


In 2009, underwriting income is IDR. 190 billion and underwriting expenses are IDR. 67 billion, resulting in net income was IDR 124 billion.

Risk level that will serve as the basis for calculating the impact of risk-based companies are gearing ratio

= Risk Level IDR. 220 billion – Net income IDR. 124 billion
= IDR. 96 billion

or rounded up to IDR. 100 billion. Interpretation of the IDR. 100 billion is that the company expected to experience critical or catastrophic situation if you have a loss of IDR. 100 billion.

Risk worth IDR. 100 billion is the maximum risk or a corporate catastrophic. Risk can be a risk of breakdown in risk-taking unit-level branches or units supporting management or performance based on the perception of premium revenue realization / STM unit at a certain period.

Based on the risk assessment conducted by risk management unit, the size of the impact of financial risk Askrindo at the corporate level there are five criteria by using the interval of the risk impact is as follows:



Measuring the impact of corporate financial risk-breakdown can be a financial risk at the branch level and Services Office based on perception management or performance of premium revenue realization / STM. Measuring the impact of financial risk Askrindo at Branch level and services office (in millions of rupiah) and the supporting units (supporting units) are as follows: adjust.


Impact of risk can also be stated in a matter of financial or non financial range.

The impact of financial risk, meaning that the impact of a risk can be measured in units of a particular currency, for example rupiah or dollars.


Furthermore, impact of financial risk can be separated into two, namely a direct financial impact and indirect financial impact.

Direct financial impact, is the size of a risk impact when viewed from the perspective of those risks actually occur, the impact would cause direct losses for companies of all USD / $. The count is measured in terms of direct costs incurred by the company.

Indirect financial impact, is a measure of the impact of risk if viewed from the perspective of those risks actually occurs, its impact will cause indirect losses for the company of so many USD / $ because there are activities that are missing / can not be done or the lost time / opportunity. The count is measured from the company's costs associated with the event such risks.

Besides measuring the impact of financial risk, PT Askrindo also measure the impact of non-financial risks in accordance with established risk classification of risk assessment results. Impact of non-financial risks, which means that the impact of these risks can not be measured in financial terms, for example: the impact on Strategy, Operations, Policy and Marketing and External.
The following are examples ofthe impact of non financial risk in PT Askrindo based on management perception of risk taking units involved and the opinion of experts in the field.

1. Risk Impact Investment Placement
Level Explanation Aspect
5 Very high /Catastrophic To an error in the placement of investment company that does not complies with rules / regulations, causing loss and can not be pulled placements principal investment company with a value ≥ IDR. 100 billion
4 High To an error in the placement of investment companies that do not comply to the rules / regulations, causing loss and can not be withdrawn principal investment placement firm with a value ≥ Idr. 80 billion and ≤ Idr. 100 billion.
3 Medium To an error in the placement of investment company that does not complies with rules / regulations, causing loss and can not be pulled placements principal investment company with a value ≥ Idr. 50 billion and ≤ Idr.80 billion
2 Low To an error in the placement of investment companies that do not comply to the rules / regulations causing kerugiandan placement can not be withdrawn principal investment company with a value ≥ Idr.. 5 billion and ≤ Idr 20 billion
1 Very Low To an error in the placement of investment companies that do not comply to the rules / regulations, causing loss and can not be withdrawn principal investment placement firm with a value with a value ≤ Idr.5 billion


2. Impact of Information and Technology Risk
Level Keterangan Aspek
5 Very High The existence of a significant disruption to the network / software / hardware is causing the affected company lawsuits because the service is closed (can not be served by ≥ 3 days).
4 High The presence of significant disruption to the network / software / hardware is causing the company incur a fine / penalty as the system can not run normally (can not be served two days but ≤ ≥ 3 days).
3 Medium The existence of a significant disruption to the network / software / hardware that causes the company to recover costs (can not be served ≥ a day but ≤ 2 days).
2 Low The existence of disruption to the network / software / hardware that caused the company lost some customers because not served (can not be served by ≥ 4 hours but ≤ 24 hours).
1 Very Low The existence of disruption to the network / software / hardware that caused the company to the customer service disrupted for several hours (≤ 4 hours).


3. Impact of Corporate Reputation Risk
Level Keterangan Aspek
5 Very High The existence of negative news in several print and electronic media about the news organization of underwriting and KUR, which causes the entire Customers do not want to use the services of the company.
4 High The existence of negative news in several print and electronic media about the news organization of underwriting and KUR, which causes most of the customers do not want to use a service company.
3 Medium The existence of negative news in several print and electronic media about the news organization of underwriting and KUR, causing a small portion Customers do not want to use the services of the company.
2 Low The existence of negative news in several print and electronic media concerning the implementation of the guarantee and KUR news cause the company to get a warning from a small portion Customer.
1 Very Low The existence of negative news in print and electronic media about the news organization of underwriting and KUR. Where the news has received confirmation from the company.

RISK TOLERANCE PROCEDURE
After setting the risk appetite as the beginning of measurement of risk, the risk must be evaluated and adjusted to the actual development of the risk perception of the management of risk tolerance that must be faced by the company. Risk tolerance which is inputted to have the procedure for determining tolerance (limit) the risk that can be described as follows:

Figure 5. Risk tolerance Determination Procedure

Factors that can be considered in determining the magnitude of risk tolerance are:


(1) Adequacy of the Reserve Fund Risk.
Magnitude of tolerance allocation is calculated based on the amount of reserves to cover the risk of loss if the worst scenario happens. One consideration that can be used is a risk reserve fund budget for the company based on the average ratio of the Minimum Solvency Margin (less/BTSM) or Risk-Based Capital in accordance with laws and regulations that apply.
The better the methodology and measurement system used, the better the resulting risk measurement, particularly in describing the real situation. Thus the allocation of reserves to be more proportionate to risk, not an excess or shortage.

(2) Business Performance .
Magnitude of tolerance can also be calculated based on the level of a certain percentage of one component in the company's financial statements. Example applications of this approach is by established risk tolerance percentage of the premium / Guarantee Fee (IJP) produced in accordance with laws and regulations that apply.

(3) Quality of Internal Control .
Internal Audit Unit in collaboration with other business units should ensure that the Risk Owner really know, understand and comply with the risk tolerance limits set by the BOD. Therefore, the Risk Management Unit are always developing information and reporting system whereby each holder of risk (Risk Owner) can easily measure their own risks that exist in their units respectively compared with the risk tolerance limits have been specified. In the event of violation of the limits of risk tolerance, it is necessary to consider the increase in the risk tolerance limits or risk reserve company. In the system the company had applied intrenal control system, so all the data / information on business processes related to risk management is already well managed.

(4) Ability to resolve problems of internal systems and business transactions .
The better ability to resolve any internal system problems and risks that occur, the lower the risk reserve funds allocated and lighter burden of the company. Conversely, the internal systems that are not effective in solving the problem then there are risks inherent in business processes that will lead to greater risk tolerance and the increasingly burdensome corporate risk reserve fund.

(5) Speed of companies responding to the threat of external .
Management companies need to create effective information systems and quickly so that they can anticipate with external changes that threaten the company. The faster the risk awarness built, the sooner the company carries out calculations to changes in existing risks and to know the adequacy and strength of a reserve fund. So that management can quickly anticipate all the surprises that happen, even when necessary to provide support in the form of a new risk reserve fund.

CONTROL AND SUPERVISION OF RISK.

Controlling risk is shared among units with the Risk Management Unit to ensure that the current risk management process in accordance with the goals and company needs. Risk control process carried out by considering several important aspects, such as:

a. A true risk data input, which is equiped with an accuracy of records and supporting data for every risk event.
b. Selection accuracy of risk measurement methods:

1. Probability of risk: in accordance with the approach used (Poisson, binomial approximation and comparison).
2. Impact of risk: the accuracy of calculations based on the financial impact or non-financial approach

c. Speed to take the decision to be approved (approval) for some risk event.
d. The accuracy of selecting risk mitigation and its application to reduce the level of probability and risk impact until it becomes an inherent risk.


Early stages of risk oversight is done by involving the Risk Owner of each work unit both operational and non operational (supporting unit). After the Risk Owner to fill an risk event, it must be approved (approve) by their respective superiors. The purpose of this activity is to ensure the truth of the data and information on risks and mitigation measures are appropriate to deal with risk events.
Risk Management Unit conducts a review of data accuracy and precision of the measurement method selection and relationship with other risk events.

RISK REPORTING

Risk reporting is done in various ways to facilitate the work of all units involved in the implementation of ERM. There are 3 (three) main types of risk management reports that will be applied at PT Askrindo namely:

1) The Report made any time through the corporate risk management information system integrated with the approach of information technology (software risk management), which have been proposed together.
2) Monthly report, presented by the Risk Management Unit in the form of risk register, suggestions, mitigation, risk transfer and risk mapping of the entire risk events.
3) Quarterly Report / quarter, which was presented by the Risk Management Unit. Form of risk register, risk mapping and risk mitigation and analysis of inherent risk.


MITIGATION OF RISK (RISK RESPONSE)

In general, PT Askrindo implement risk mitigation of the four types of risk management, adjusted for risk classification and into the impact of risk as follows:

a. Avoid risk, which means not implement or continue activities that pose a risk.

b. Share the Risk, ie a move to reduce the possibility of risk or Risk Impact. Activities that can be done among others through insurance, outsourcing, subcontracting, hedging transactions.

c. Reducing risk is to do actions / activities to reduce the potential risk if there is in terms of probability and / impact risk.

d. Accept the risk, ie. do not do anything to avoid it, share or reduce such risks.

Figure 6. Probability and Impact of Risk

RISK MONITORING.

The process of risk monitoring is done through various stages of activity, as illustrated in the chart of internal and external review process below. The risk monitoring process carried out by PT Askrindo through several stages, namely:

a. Determination of risk management strategies, in every step of the strategy chosen by the company must contain a risk. Therefore, each selection and development of alternative assessment strategies is needed concerning the risk to the company's decision.
b. Tolerance of risk, risk in the process of making manual so needed some form of restrictions on risk assessment, causes, effects and impact of risk. Risk tolerance should be considered every 2 (two) years or if there is an urgent situation that needs improvement.
c. . Strategy execution, is the first security measures undertaken by companies in response to input of each selection and development of alternative strategies.


Figure 7. Internal dan External Review Process


d. Operational execution, the execution of every step taken by the company's strategy required the input of operational security measures of any risks that might occured. Added information about the risks undertaken by the Risk Owner, which would then be reviewed by each work unit and guided by the Risk Management Unit. Operational safety measures this can be a reduction, decrease or avoidance of a risk or mitigation measures are called ordinary.
e. Control Systems, through an assessment of business performance can describe the achievement of the Company as well as costs in any operational activities. In practice each of these activities should already incorporate elements of provision against every possible risk. However, if is still happening is also a risk event, then the next control step is seeking mitigation measures. This control system is a continuous process and consistently implemented so as to achieve an inherent risk.
f. Risk preferences, a step the final part of the implementation of risk management activities. From some parts of the activities and steps that have been described above, then the risks will arise preferences prevailing in the corporate environment. Risk preference is of course from time to time will change and development, to be able to mediate between the needs of internal and external changes and the willingness of corporate existence in the present and future.



RISK MANAGEMENT INFORMATION SYSTEM

The data processing risks and the risk of making periodic reports to the BOD requires computer-based information systems. In the development of risk management information system in the form of Web-based application program made some initial steps namely;


The first step is to learn about the company wishes the purpose built software. In this step is to include any data that can be processed, how the process of data input, anyone who should be involved in the process of data input.

The second step is to create a basic framework of the program. Activities undertaken is to build the basic foundation (foundation) course, which consists of dimensional measurement and data grouping. Then create a program to process the data buffer, which consists of data types, data formats, the system of approval and the type of report. Thus, the roof of the building design courses in the form of output, such as risk management reporting system. If this process is described, it can be illustrated as shown below.

Figure 8 The Design of Risk Management Application Software


The third step is to test and socialization programs. Step test done to reduce the possibility of errors and lack of precision of risk management programs. Socialization program is done so that every Champion Risk / Risk Contact Person understand how the procedure opens the program, input the data / information risk events, attach the data / information necessary, process of risk events to be consolidated and use the program for purposes of evaluation / monitoring.


Risk management software purpose of making among others:

a. Accelerate the process of inputting and recording data / information. Manajemen Risk identification. In order for Champion Risk / Risk Contact Person faster in the risk of entering the data, then the required uniformity aids, and manual systems of information technology tools such as software.

b. Facilitate the measurement of probability and risk impact.
To uniform as well as providing tools to facilitate the work Risk Champion / Risk Contact Person and persons responsible Unit, then needed the same tools in the process of measuring the probability and risk impact.

c. Accelerating the cartography of risks, and make risk register.
The process of recording risk events that starts from the risk of data input, set the probability of risk to calculate the impact of risk, has been done through software. Therefore the risk of a data base that has been in the input will be mapped, and also in the record into a list of risks is called risk register.

d. Facilitate the process of recording risk mitigation through the risk register.
Risk register is a record of all information containing data / information about risk events complete with risk mitigation measures that will and already do, including the end result.

e. Integrating corporate risk.
That is an effort to manage all the risks that exist in the event organization, communicating in information technology to every working unit, thus achieving an integrated system of corporate control.

RISK MANAGEMENT ORGANIZATION

One of key to get a success in implementation of ERM is that there are organizations that manage risk management in an integrated risk management, involving the entire company from the BOD and all employees. Organization of risk management units are usually on par with best practice division, but if the size is very large and complex, enterprise risk management unit can be set at Directorate level.

Risk management unit of the Division level to be more effective and independent should be directly under the Main Director.
This is necessary so the risk management unit is positioned to avoid intervention from other Directors and can easily coordinate with cross-directorate. ERM organization can be determined by looking at the prevailing corporate culture.

ERM within the organization, there is an important organ of the organization that is known as Risk Owner Contact Person or Risk Owner. Understanding risk is all the vice owner of the work units that have been designated in all work units directly involved with the risks and act as a risk owner who is (as a real risk the Owner) of any transactions or activities that are done. Risk Owner act independently of the Risk Management Unit.


RISK MANAGEMENT ORGANIZATION STRUCTURE

ERM units harmony with other work units is indispensable and became one of the success key of implementation of ERM. It is necessary to establish in formal and informal relationships between business units and risk management unit. PT Askrindo has built an organizational structure chart of risk management related to other work units that describe the relationship between the Strategic Policy, Guidelines, Operational Procedures and Risk Management Information System Architecture as shown below.



Figure 9. Relationship Between Strategic Policy, guidelines, Operational Procedures and Risk Management Information System Architecture

By Mulyono