Penjaminan kredit mulai dikenal kembali pada saat Pemerintah menggelontorkan program penjaminan Kredit Usaha Rakyat pada akhir tahun 2007 dan telah membuat masyarakat umum kesulitan membedakannya dengan jasa Asuransi. Perbedaan antara Asuransi dan Penjaminan selama ini masih timbul pro-cons yang disebabkan pengetahuan tentang usaha penjaminan belum merata dan belum berkembang seperti halnya Asuransi. Namun kita mencoba untuk memberikan suatu benang merah untuk membedakannya dimana secara garis besar ada perbedaan yang mendasar antara Penjaminan dengan Asuransi yaitu sebagai berikut:
Perbedaan Penjaminan dan Asuransi Secara Umum
A. Penjaminan
1. Melibatkan 3 pihak (Penerima Jaminan, Terjamin, Penjamin)
2. Dasar hukumnya cenderung berdasarkan KUHPerdata pasal 1830 -1835. Saat ini masih ada PMK No. 222/2008 dan PerPres No. 2/2008 yang menjadi dasar regulasi penjaminan
3. Berdasarkan KUHPer, Penjaminan memiliki terminologi yang sama dengan Penanggungan
4. Sifat perjanjiannya adalah tambahan (assesoir), sehingga harus ada kontrak utamanya (main contract) antara penerima jaminan dengan terjamin
5. Dalam proses penyelesaian klaim dapat dibenarkan melakukan pre claim treatment, namun harus disesuaikan dengan regulasi yang berlaku
6. Risiko yang dijamin adalah risiko yang bersifat speculative
7. Walaupun masih debatable, klaim dapat dibayarkan jika premi belum diterima secara cash and carry. Hal ini khusus untuk menjalankan program pemerintah
8. Mengacu pada: Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Per)
KUH Per Pasal 1820
Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya (Perjanjian 3 pihak)
Penjelasan
Jaminan tertulis yang diberikan penjamin kepada pihak berpiutang/kreditur untuk melunasi kewajibannya dalam hal debitur tersebut ingkar janji yaitu pembuktian bahwa debitur melakukan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya
Pasal 1821
Tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.
Penjelasan
- Penanggungan tersebut bersifat asesoris bahwa penjaminan merupakan persetujuan yang pelaksanaannya akan sangat tergantung pada perjanjian pokok yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan artinya bila perjanjian pokok batal maka akan mengakibatkan penanggungan batal.
- Ketentuan tentang Penanggungan (Guarantee) diatur dalam pasal 1820 – 1850 KUHPer
9. PMK No. 222/2008 dan PerPres No. 2/2008
B. Asuransi
1. Melibatkan 2 pihak yaitu Penanggung dan Tertanggung
2. Dasar hukumnya UU No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian
3. Berdasarkan UU No.2/1992, Asuransi dikatakan sebagai Pertanggungan
4. Sifat perjanjiannya adalah utama atau main contract antara Penanggung dan Tertanggung.
5. Ketika klaim terjadi maka langsung dibayar, tidak mengenal pre claim treatment
6. Risiko yang dihadapi adalah risiko murni
7. No Premi No Claim. Klaim tidak dapat dibayarkan apabila premi belum dibayar. Disini dituntut cash and carry
8. Mengacu pada:
1. Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD)
2. UU Asuransi No.2 tahun 1992
UU Asuransi No.2 Pasal 1
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi Asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
KUHD Pasal 246
Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.
Penjelasan
- Perjanjian antara dua pihak yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
- Objek asuransi adalah benda, jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.
9. Ketentuan tentang Pertanggungan diatur dalam pasal 246 – 286 KUHD
Perbedaan Usaha Penjaminan dan Asuransi
Penjaminan
|
Asuransi
|
Melibatkan 3 pihak (Penerima Jaminan, Terjamin,
Penjamin)
|
Melibatkan 2 pihak yaitu Penanggung dan Tertanggung
|
Dasar hukumnya cenderung berdasarkan KUHPerdata pasal
1830 -1835. Saat ini masih ada PMK No. 222/2008 dan PerPres No.
2/2008 yang menjadi dasar regulasi penjaminan
|
Dasar hukumnya UU No.2 Tahun 1992
tentang Perasuransian
|
Berdasarkan KUHPer, Penjaminan memiliki terminologi
yang sama dengan Penanggungan
|
Berdasarkan UU No.2/1992, Asuransi dikatakan sebagai Pertanggungan
|
Sifat perjanjiannya adalah tambahan (assesoir), sehingga harus
ada kontrak utamanya (main contract) antara penerima jaminan dengan terjamin
|
Sifat perjanjiannya adalah utama atau main contract
antara Penanggung dan Tertanggung.
|
Dalam proses penyelesaian klaim dapat dibenarkan
melakukan pre claim treatment, namun harus disesuaikan dengan
regulasi yang berlaku
|
Ketika klaim terjadi maka langsung dibayar, tidak
mengenal pre claim treatment
|
Risiko yang dijamin adalah risiko yang bersifat
speculative
|
Risiko yang dihadapi adalah risiko murni
|
Walaupun masih debatable,
klaim dapat dibayarkan jika premi belum diterima secara cash and carry.
Hal ini khusus untuk menjalankan program pemerintah.
|
No Premi No Claim. Klaim tidak dapat dibayarkan apabila
premi belum dibayar. Disini dituntut cash
and carry
|
Penjaminan
|
Asuransi
|
Mengacu
pada:
1. Kitab
Undang Hukum Perdata (KUH Per)
KUH
Per Pasal 1820
Penanggungan
adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, manakala
orang ini sendiri tidak memenuhinya (Perjanjian 3 pihak)
Penjelasan
Jaminan
tertulis yang diberikan penjamin kepada pihak berpiutang/kreditur untuk
melunasi kewajibannya dalam hal debitur tersebut ingkar janji yaitu
pembuktian bahwa debitur melakukan wanprestasi dalam melaksanakan
kewajibannya
Pasal
1821
Tiada
penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.
Penjelasan
-
Penanggungan tersebut bersifat asesoris bahwa penjaminan merupakan
persetujuan yang pelaksanaannya akan sangat tergantung pada perjanjian pokok
yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan artinya bila perjanjian pokok
batal maka akan mengakibatkan penanggungan batal.
-
Ketentuan tentang Penanggungan (Guarantee) diatur dalam pasal 1820 – 1850
KUHPer
2.
PMK No. 222/2008 dan PerPres No. 2/2008
|
Mengacu
pada:
1. Kitab
Undang Hukum Dagang (KUHD)
2. UU
Asuransi No.2 tahun 1992
UU
Asuransi No.2 Pasal 1
Asuransi
atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana
pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi
Asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti.
KUHD
Pasal 246
Asuransi
atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tidak tentu.
Penjelasan
-
Perjanjian antara dua pihak yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
-
Objek asuransi adalah benda, jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung
jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi
dan atau berkurang nilainya.
-
Ketentuan tentang Pertanggungan diatur dalam pasal 246 – 286 KUHD
|
Secara Terminologi, penjaminan atau penanggungan berdasarkan KUHPer Pasal 1820; penjaminan atau penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2/1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Peraturan yang mengatur industri jasa asuransi adalah Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang Usaha Perasuransian, dan pemahaman masyarakat terhadap penjaminan masih identik dengan asuransi. Bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penjaminan merupakan bagian dari asuransi. Namun jika dikaji lebih mendalam lagi, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penjaminan dan asuransi. Perbedaan yang cukup mendasar yaitu keterlibatan para pihak di masing-masing kontrak. Pada penjaminan yang terlibat di dalamnya ada tiga pihak, yaitu Terjamin, Penerima Jaminan dan Penjamin. Sedangkan dalam asuransi, pihak yang terlibat hanya ada dua pihak, yaitu Penanggung (Insurer) dan Tertanggung (Insured). Untuk perjanjiannya sendiri juga terdapat perbedaan antara penjaminan dan asuransi. Perjanjian dalam penjaminan, dari sisi Penjamin merupakan perjanjian tambahan (accessoair contract) atas perjanjian pokok (main contract) antara Terjamin dan Penerima Jaminan. Perjanjian dalam asuransi, merupakan perjanjian pokok (main contract) antara Penanggung dan Tertanggung. Proses penjaminan didasari atas terbitnya Sertifikat Penjaminan dan telah dibayarkannya Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Proses pertanggungan atau asuransi didasari atas terbitnya Polis Asuransi dan telah dibayarkannya sejumlah premi asuransi. Usaha di bidang penjaminan berpedoman pada “select Your risk and client”, walaupun dalam prakteknya juga dapat diterapkan hukum bilangan besar, khususnya untuk penjaminan yang bersifat automatic cover. Secara case by case, penjaminan hanya akan diberikan kepada terjamin melalui suatu analisis yang mendalam dan telah diketahui pula reputasi yang bersangkutan. Lain halnya pada asuransi, karena yang ditanggung adalah risiko murni sehingga seluruh sistem penutupannya tunduk dengan hukum bilangan besar, Insurer atau pihak asuransi akan melayani siapa saja yang ingin mempertanggungkan risiko kerugiannya sepanjang telah menyepakati perjanjian pertanggungan, tanpa harus meneliti reputasi tertanggung (Insured).
Di antara beberapa sistem penjaminan pun dalam prakteknya masih memiliki perbedaan dalam skimnya. Hal inilah yang membedakan penjaminan kredit dan asuransi kredit. Pada penjaminan kredit memiliki prinsip-prinsip yang meliputi kelayakan usaha, pelengkap perkreditan, pengganti agunan, pengambil alihan sementara risiko kredit macet, piutang subrogasi, keterlibatan pihak ketiga dan kerjasama pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut harus ada dalam penjaminan kredit sebagai upaya kehati-hatian (prudent), mengingat risiko dalam penjaminan kredit yang relatif besar. Sedangkan dalam asuransi kredit tunduk terhadap prinsip-prinsip asuransi pada umumnya, yaitu meliputi insurable interest (memiliki kepentingan mengasuransikan), utmost good faith (itikad baik), indemnity (ganti rugi) dan subrogation (hak pemulihan setelah membayar ganti rugi).
Dalam hal terjadi kesalahan pada kontrak, penjaminan kredit tidaklah mudah melakukan perubahan atas klausula penjaminan karena melibatkan dua pihak lainnya. Namun perubahan tersebut bukan hal yang tidak mungkin dan bisa dianggap sangat mungkin tergantung pada pihak yang terlibat dalam usaha penjaminan. Lain halnya dengan asuransi kredit, jika terjadi kesalahan, asuransi dapat melakukan perubahan dengan endorsment ataupun cancellation.
Perbedaan penjaminan kredit dan asuransi kredit juga terletak pada saat pengajuan klaim. Pada penjaminan kredit pembayaran klaim dilakukan setelah terpenuhinya syarat penjaminan yang diatur dan disepakati dalam sertifikat penjaminan dan biasanya tidak mempersoalkan apa penyebab terjadinya klaim. Setelah klaim dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan, maka timbul hak subrogasi Penjamin, dalam hal ini Terjamin berkewajiban membayar sejumlah klaim yang telah dibayarkan tersebut. Sedangkan dalam asuransi kredit, klaim dibayarkan setelah diketahui penyebab terjadinya kemacetan kredit. Setelah klaim dibayar oleh Penanggung (perusahaan asuransi) kepada Tertanggung (Bank pemberi kredit), maka Penanggung melalui atau secara bersama-sama dengan Tertanggung melakukan penagihan kepada Debitur Tertanggung. Disamping itu, didalam asuransi kredit sebagian dari risiko kredit dapat direasuransikan kepada perusahaan reasuransi.
Dilihat dari tujuannya juga terdapat perbedaan yang mendasar antara penjaminan dan asuransi. Tujuan utama kegiatan penjaminan adalah menjebatani antara Terjamin UMKM yang belum dapat akses ke perbankan karena berbagai faktor, kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima jaminan (Perbankan/LKBB) untuk menyalurkan kredit. Sedangkan asuransi kredit, lebih berorientasi untuk melindungi kepentingan pihak tertanggung (Bank/LKBB) dari kemungkinan terjadinya kerugian yang disebabkan oleh kredit macet.
Pada skim penjaminan, Perjanjian Kredit merupakan dasar atas perikatan tiga pihak, dan istilah Imbal Jasa Penjaminan merupakan biaya pelayanan (service charge). Pada skim asuransi, kredit dipandang sebagai obyek dari perjanjian asuransi. Sedangkan istilah premi pada asuransi merupakan dana yang dihimpun dan dicadangkan untuk pembayaran ganti rugi.
Walaupun KUHPerdata menyebutkan bahwa para pihak dalam penjaminan adalah debitur, kreditur dan penanggung, pada dasarnya usaha penjaminan telah berkembang di luar penjaminan kredit. Namun ada karakteristik yang tetap dijaga yaitu bahwa penjaminan melibatkan tiga pihak yaitu penjamin, penerima jaminan dan si terjamin. Dengan adanya ketiga istilah tersebut maka penjaminan dapat dilakukan dalam bentuk penjaminan kegagalan si terjamin dalam memenuhi kewajibannya terhadap di penerima jaminan baik dalam mengembalikan pinjaman yang sudah diterima oleh si terjamin maupun dalam hal terdapat kewajiban daripada si terjamin untuk melakukan suatu pekerjaan/kewajiban kepada si penerima jaminan. Disamping itu kewajiban penjamin tetap berlaku apabila si terjamin gagal memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan.
Usaha Penjaminan merupakan suatu usaha alternatif dalam rangka perlindungan atau proteksi atas risiko kerugian yang mungkin terjadi, dimana risiko kerugian tersebut harus dapat diukur secara finansial. Usaha tersebut sebenarnya sudah ada sejak lama, namun baru-baru ini mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa kegiatan usaha menjamin, menanggung dan sebagainya merupakan bagian dari produk-produk bidang asuransi. Hal tersebut dikarenakan asuransi telah lebih dulu dikenal oleh masyarakat, ditambah pula dengan adanya kemiripan antara asuransi dan penjaminan. Disamping itu, bagi sebagian kecil masyarakat yang mengetahui usaha penjaminan masih menganggap bahwa penjaminan merupakan usaha yang bersifat sosial, bukan merupakan usaha yang berorientasi profit. Persepsi itu terbentuk dari pengalaman bahwa kebanyakan perusahaan penjaminan kegiatannya bersifat sosial yang identik dengan merugi dan usaha penjaminan di Indonesia sering atau selalu menjadi program pemerintah dalam rangka membantu dan memberdayakan UMKM.
Secara terminologi, penjaminan atau penanggungan berdasarkan KUHPer Pasal 1820; penjaminan atau penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2/1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Peraturan yang mengatur industri asuransi adalah Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang Usaha Perasuransian, dan pemahaman masyarakat terhadap penjaminan masih sama dengan asuransi. Bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penjaminan merupakan bagian dari asuransi. Namun jika dikaji lebih mendalam lagi, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penjaminan dan asuransi. Perbedaan yang cukup mendasar yaitu keterlibatan para pihak di masing-masing kontrak. Pada penjaminan yang terlibat di dalamnya ada tiga pihak, yaitu Terjamin, Penerima Jaminan dan Penjamin. Sedangkan dalam asuransi, pihak yang terlibat hanya ada dua pihak, yaitu Penanggung (Insurer) dan Tertanggung (Insured). Untuk perjanjiannya sendiri juga terdapat perbedaan antara penjaminan dan asuransi. Perjanjian dalam penjaminan, dari sisi Penjamin merupakan perjanjian tambahan (accessoair contract) atas perjanjian pokok (main contract) antara Terjamin dan Penerima Jaminan. Perjanjian dalam asuransi, merupakan perjanjian pokok (main contract) antara Penanggung dan Tertanggung. Proses penjaminan didasari atas terbitnya Sertifikat Penjaminan dan telah dibayarkannya Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Proses pertanggungan atau asuransi didasari atas terbitnya Polis Asuransi dan telah dibayarkannya sejumlah premi asuransi. Usaha di bidang penjaminan berpedoman pada “select Your risk and client”, walaupun dalam prakteknya juga dapat diterapkan hukum bilangan besar, khususnya untuk penjaminan yang bersifat automatic cover dan bersifat retail. Secara case by case, penjaminan hanya akan diberikan kepada terjamin dengan nilai penjaminan yang relatif besar dan lebih berisiko melalui suatu analisis yang mendalam dan telah diketahui pula reputasi yang bersangkutan. Lain halnya pada asuransi, karena yang ditanggung adalah risiko murni sehingga seluruh sistem penutupannya tunduk dengan hukum bilangan besar, Insurer atau pihak asuransi akan melayani siapa saja yang ingin mempertanggungkan risiko kerugiannya sepanjang telah menyepakati perjanjian pertanggungan, tanpa harus meneliti reputasi tertanggung (Insured).
Di antara beberapa sistem penjaminan pun dalam prakteknya masih memiliki perbedaan dalam skimnya. Hal inilah yang membedakan penjaminan kredit dan asuransi kredit. Pada penjaminan kredit memiliki prinsip-prinsip yang meliputi kelayakan usaha, pelengkap perkreditan, pengganti agunan, pengambil alihan sementara risiko kredit macet, piutang subrogasi, keterlibatan pihak ketiga dan kerjasama pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut harus ada dalam penjaminan kredit sebagai upaya kehati-hatian (prudent), mengingat risiko dalam penjaminan kredit yang relatif besar. Sedangkan dalam asuransi kredit tunduk terhadap prinsip-prinsip asuransi pada umumnya, yaitu meliputi insurable interest (memiliki kepentingan mengasuransikan), utmost good faith (itikad baik), indemnity (ganti rugi) dan subrogation (hak pemulihan setelah membayar ganti rugi).
Dalam hal terjadi kesalahan pada kontrak, penjaminan kredit tidaklah mudah melakukan perubahan atas klausula penjaminan. Lain halnya dengan asuransi kredit, jika terjadi kesalahan, asuransi dapat melakukan perubahan dengan endorsment ataupun cancellation.
Perbedaan penjaminan kredit dan asuransi kredit juga terletak pada saat pengajuan klaim. Pada penjaminan kredit pembayaran klaim dilakukan setelah terpenuhinya syarat penjaminan yang diatur dan disepakati dalam sertifikat penjaminan dan biasanya tidak mempersoalkan apa penyebab terjadinya klaim. Setelah klaim dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan, maka timbul hak subrogasi Penjamin, dalam hal ini Terjamin berkewajiban membayar sejumlah klaim yang telah dibayarkan tersebut. Sedangkan dalam asuransi kredit, klaim dibayarkan setelah diketahui penyebab terjadinya kemacetan kredit. Setelah klaim dibayar oleh Penanggung (perusahaan asuransi) kepada Tertanggung (Bank pemberi kredit), maka Penanggung melalui atau secara bersama-sama dengan Tertanggung melakukan penagihan kepada Debitur Tertanggung. Disamping itu, didalam asuransi kredit sebagian dari risiko kredit dapat direasuransikan kepada perusahaan reasuransi.
Dilihat dari tujuannya juga terdapat perbedaan yang mendasar antara penjaminan dan asuransi. Tujuan utama kegiatan penjaminan adalah menjebatani antara Terjamin UMKM yang belum dapat akses ke perbankan karena berbagai faktor, kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima jaminan (Perbankan/LKBB) untuk menyalurkan kredit. Sedangkan asuransi kredit, lebih berorientasi untuk melindungi kepentingan pihak tertanggung (Bank/LKBB) dari kemungkinan terjadinya kerugian yang disebabkan oleh kredit macet.
Aspek Hukum Kontrak Penjaminan
Kontrak penjaminan adalah kontrak dimana si penjamin mengikatkan dirinya terhadap kontrak yang telah dilakukan antara si penerima jaminan dengan si terjamin. Kontrak penjaminan adalah kontrak antara 3 (tiga) pihak sehingga seharusnya berbeda dengan kontrak/polis asuransi yang melibatkan 2 pihak. Kontrak penjaminan harus memuat secara jelas tentang definisi daripada penjamin, penerima jaminan ataupun terjamin. Dengan demikian setiap kontrak yang melibatkan 3 pihak dan bersifat asesoir terhadap perjanjian pokok dapat dinyatakan sebagai kontrak penjaminan bukan kontrak asuransi ataupun kontrak lainnya.
Dalam penjaminan, ada kontrak dimana terjamin mengetahui bahwa kreditnya dijamin oleh penjamin sehingga secara langsung dapat berperan langsung dalam kontrak namun ada juga kontrak penjaminan dimana terjamin tidak mengetahui adanya kontrak antara penerima jaminan dengan penjamin yang menjamin kredit atau obyek penjaminannya. Seperti halnya penjaminan kredit yang dilakukan oleh bank sebagai penerima jaminan dengan PPK/LPK sebagai penjamin. Kredit yang disalurkan oleh bank kepada debitur atau terjamin dijamin tanpa sepengetahuan terjamin dengan alasan tertentu seperti agar tidak memperbesar moral hazard yang menimbulkan risiko kredit lebih besar lagi atau alasan lainnya. Sedangkan ada penjaminan kredit yang dari awal diajukan oleh terjamin kepada bank atau penerima jaminan untuk memperkuat performance pengajuan kredit dan menggantikan kekurangan agunan/colateral terjamin sehingga terjamin harus mengetahui manfaat dan kewajibannya dalam kontrak penjaminan tersebut.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu juga mendapatkan perhatian khusus dalam kontrak penjaminan yaitu mengenai perlindungan terhadap manfaat-manfaat apa saja yang dapat diterima oleh penerima jaminan dan terjamin sekaligus kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh penerima jaminan dan terjamin secara jelas. Walaupun dalam kasus penjaminan kredit bank, klaim dibayarkan melalui penerima jaminannya yaitu bank sendiri namun perlu juga ditegaskan hak-hak dari terjamin apabila yang bersangkutan meninggal dunia atau tidak mampu untuk melunasi kreditnya. Juga perlu ditegaskan mengenai bagaimana cara penanganan agunan/collateral secara transparan diantara pihak yang terlibat agar tidak merugikan pihak yang terlibat dalam kontrak penjaminan.
Penjaminan kredit yang mengalami gagal bayar/default dan menyebabkan timbul klaim atau pencairan jaminan maka secara otomatis timbul hak subrogasi. Dalam kaitannya dengan hak subrograsi selama ini karena pihak bank adalah yang menyimpan agunan/collateral, recovery dari agunan/collateral memang dibagikan berdasarkan proporsi yang telah disepakati antara bank dan penjamin. Namun demikian, penjamin merasakan bahwa pihak bank lebih memprioritaskan recovery untuk kepentingan bank padahal seharusnya dibagikan secara proporsional kepada penjamin sesuai dengan kontrak penjaminan.
Dasar hukum dari penjaminan di Indonesia adalah KUHPerdata Bab XVII tentang penanggungan utang. Pada pasal 1820 dinyatakan bahwa perjanjian tentang penanggungan, dimana pada salah satu pasalnya dinyatakan bahwa orang boleh melakukan penjaminan terhadap pihak lain.
Di dalam kontrak penjaminan juga harus secara jelas dicantumkan cara penyelesaian hukum yang akan diambil apabila ternyata salah satu pihak wanprestasi. Tentunya harus ada dasar-dasar yang jelas tentang latar belakang pembuatan pasal-pasal supaya tidak terkesan bahwa kontrak tersebut dibuat secara asal jadi saja.
Catatan tambahan
Pengertian Asuransi
Ketentuan mengenai pengertian asuransi dalam UU No 2/1992 merupakan penyempurnaan dari pengertian asuransi dalam KUHD. Ketentuan dalam KUHD mengenai pengertian asuransi hanya mencakup jenis asuransi kerugian, sedangkan dalam UU No 2/1992 mencakup pengertian asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Dari kedua ketentuan mengenai pengertian asuransi tersebut, selain terdapat perbedaan cakupan jenis asuransinya, dalam UU No 2/1992 juga ditambahkan bagian lain dari jenis asuransi kerugian, yaitu kerugian karena tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
UU No 2/1992 pasal 1 ayat 1
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima pembayaran premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
KUH Dagang
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat dideritanya karena suatu kejadian yang tidak pasti.
UU No2/1992 pasal 1 ayat 2
Objek asuransi
Benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.
Subject matter of insurance (buku Principle of Insurance John T. Steele) yaitu dapat berupa properti atau kejadian yang menimbulkan kerugian atas hak atau menimbulka kewajiban hukum.
UU No 2/1992 pasal 1 ayat 13
Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya, dengan memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau kebersamaan pengelolaan perusahaan.
Bidang, Jenis dan Ruang Lingkup Usaha Perasuransian
Bidang usaha
UU No 2/1992 pasal 2
Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang:
a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat dengan mengumpulkan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pengguna jasa asuransi terhadap kemungkinan kerugian, karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang
b. Usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilai kerugian asuransi dan jasa konsultan aktuaria
Jenis usaha
UU No 2/1992 pasal 3
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari:
1. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum terhadap pihak ke-3 yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2. usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3. usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan atau jiwa
b. Usaha penunjang asuransi terdiri dari:
1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa dalam keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung
2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa dalam keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan
4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria
5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraaan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung
2.2. Risiko Usaha Penjaminan
Konsekuensi usaha penjaminan yang melibatkan tiga pihak tentu akan menyebabkan risiko usaha yang lebih besar dibandingkan dengan usaha perbankan atau asuransi yang hanya melibatkan dua pihak, ditambah lagi dengan risiko lainnya yang berasal dari eksternal antara lain seperti risiko lingkungan, risiko hukum dan risiko reputasi. Usaha penjaminan memerlukan risk control yang lebih besar karena harus mengantisipasi timbulnya risiko dari ketiga pihak yang terlibat yaitu dari penjaminan, penerima jaminan dan terjamin. Risiko yang bisa muncul dan dihadapi oleh penjamin itu sendiri adalah risiko operasional, yang meliputi antara lain risiko SDM, risiko produktifitas, risiko sistem, risiko proses dan risiko teknologi informasi risiko keuangan yang meliputi antara lain risiko pasar, risiko kredit dan risiko permodalan. Sedangkan penjamin atau LPK/PPK juga harus melakukan risk control dari risiko yang muncul dari penerima jaminan dan terjamin berupa moral hazards dan potensi risiko lainnya yang dapat memperbesar risiko kegagalan yang pada akhirnya menimbulkan klaim atau pencairan jaminan dari penerima jaminan.
Usaha penjaminan timbulnya menjadi supplementary usaha dari main contract dari penerima jaminan dengan terjamin dikarenakan adanya unsur ketidak pastian (uncertainty) atas suatu peristiwa yang dapat memberikan dampak kerugian keuangan kepada seseorang atau korporasi. Pada awalnya risiko-risiko yang ada hanya dibagi ke dalam 2 kategori yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni merupakan risiko yang dapat mengakibatkan kerugian pada tertanggung tapi tidak ada kemungkinan menguntungkan. Sebagai contoh risiko risiko murni adalah risiko kebakaran apabila terjadi dapat mengakibatkan kerugian kepada aset si tertanggung atau penerima jaminan namun jika tidak terjadi tidak akan menimbulkan keuntungan kepada si tertanggung/penerima jaminan.
Hal ini berbeda dengan risiko spekulatif yaitu risiko yang dapat mengakibatkan dua kemungkinan, merugikan atau menguntungkan tertanggung/perusahaan. Sebagai contoh risiko kenaikan tingkat bunga atau nilai tukar mata uang asing. Apabila ada kenaikan tingkat suku bunga kemungkinan besar akan menaikkan nilai kredit yang harus dibayar debitur kepada kreditur sedangkan apabila mengalami penurunan tingkat suku bunga kemungkinan malah menurunkan kewajiban debitur terhadap kreditur. Di sini terlihat manakala debitur/terjamin membayar lebih dari yang diperjanjikan maka ada pihak yang diuntungkan yaitu pihak kreditur/penerima jaminan. Sebaliknya pihak kreditur bisa menderita kerugian apabila tingkat bunga turun, karena adanya kemungkinan gagal bayar.
Secara tradisional, risiko-risiko murni adalah risiko yang layak dan dapat dialihkan ke pihak lain seperti perusahaan asuransi karena masih mungkin mendatangkan keuntungan (dengan underwriting yang baik). Sedangkan untuk risiko-risiko keuangan yang spekulatif seperti risiko kredit maka tidak menarik untuk dijadikan bisnis asuransi.
Risiko murni sendiri dapat juga dibagi menjadi risiko yang insurable dengan uninsurable. Risiko yang insurable adalah risiko-risiko yang layak ditanggung oleh perusahaan asuransi seperti risiko kebakaran, risiko pengangkutan, rangka kapal, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, risiko pencurian, risiko kecelakaan dan lain sebagainya. Namun ada pula risiko yang tidak layak ditanggung oleh perusahaan asuransi seperti risiko gempa bumi, huru hara, perang, banjir dan lain sebagainya.
Risiko-risiko lain seperti risiko penyelesaian proyek, risiko uang muka, risiko pemeliharaan, risiko perdagangan, pada dasarnya adalah risiko-risiko yang lebih ke arah spekulatif daripada risiko murni. Risiko penyelesaian proyek misalnya, terjadi apabila si kontraktor tidak mampu untuk menyelesaikan kontrak proyek yang sudah disepakati dengan si pemilik proyek. Gagalnya penyelesaian proyek biasanya dapat disebabkan oleh melonjaknya harga material atau terjadinya peningkatan suku bunga kredit sehingga membebani si kontraktor. Risiko atas transaksi perdagangan biasanya timbul apabila si buyer tidak mampu membayar secara tepat waktu kepada seller sesuai harga barang yang telah disepakati, namun hal tesebut juga bisa saja terjadi dikarenakankan adanya kenaikan suku bunga kredit, ataupun karena efek berantai (multipier effect) yaitu kemacetan pembayaran dari pihak agen-agen atau distributor.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa usaha yang dijalankan perusahaan penjaminan sebagian besarnya adalah menjamin risiko-risiko kredit yang notabene tergolong risiko spekulatif. Dalam perkembangannya perusahaan penjaminan juga dapat menjamin risiko kegagalan pelaksanaan proyek, risiko perdagangan, dan lain sebagainya. Selanjutnya timbul pertanyaan yang mendasar, yaitu apakah usaha penjaminan masih memiliki potensi untuk berkembang jika dilihat dari segi menjamin risiko spekulatif yang dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan penjaminan?
Sebagai tinjauan, di dalam industri perasuransian dengan kemajuan teknologi telah mampu menyajikan data statistik yang menginformasikan frekuensi dan tingkat keparahan dari berbagai peristiwa yang terkait dengan risiko di bidang asuransi sehingga para ahli matematik dapat menganalisis secara akurat tentang kemungkinan perusahaan asuransi tetap dapat mengaksep risiko tersebut dengan meminimalisir kemungkinan kerugiannya. Demikian pula halnya dengan perusahaan penjaminan, walaupun risiko-risiko yang dihadapi relatif tinggi namun dengan kemampuan analisis underwriting yang lebih baik maka akan dapat mengembangkan teknik pengendalian dan mitigasi risiko yang justru menjadi peluang usaha bagi perusahaan penjaminan. Hal tersebut juga dapat dikombinasikan dengan kemampuan matematis dan analisis secara statistik dalam rangka pemetaan risiko guna mengetahui frekuensi dan tingkat keparahan setiap risiko bidang penjaminan agar secara dini dapat dieliminir kemungkinan terjadinya kerugian besar bagi perusahaan penjamnan. Dengan demikian, peranan manajemen risiko dalam usaha penjaminan ini sangat mutlak diperlukan.
Sebagai contoh, kredit investasi memiliki potensi risiko yang besar untuk dijamin karena adanya moral hazard yang mungkin timbul dari si terjamin (debitur) karena mengetahui bahwa ia dijamin oleh perusahaan penjaminan. Namun hal tersebut bisa diatasi melalui sharing risiko dengan pihak kreditur, sehingga kreditur juga memiliki kepentingan untuk menyeleksi calon debitur. Disamping itu, dengan adanya persyaratan dalam kredit konsumtif untuk mendapatkan akses langsung terhadap data penghasilan dan profil calon debitur, telah mampu secara signifikan mengurangi risiko kredit macet yang disebabkan gagal bayar (moral hazard).
Tingginya risiko penjaminan kredit juga dapat diatasi dengan mensyaratkan adanya collateral atau agunan yang menjadi hak penjamin dalam hal debitur atau terjamin mengalami gagal bayar.
Setelah mengidentifikasi risiko usaha penjaminan merupakan risiko spekulatif, maka perlu suatu indikator untuk mengukur tingkat risiko usaha penjaminan. Ada dua indikator risiko usaha penjaminan yang dapat digunakan yaitu:
1. Non Performance Guarantee (NPG), adalah rasio antara nilai plafond penjaminan dengan nilai klaim pada periode tertentu dalam bentuk persentase. Nilai klaim yang digunakan dalam penghitungan NPG tersebut dapat menggunakan nilai klaim netto yaitu nilai klaim dikurangi dengan nilai recoveries pada suatu periode tertentu. Indikator NPG ini hampir mirip dengan indikator risiko perbankan yaitu Non Performance Loan (NPL). Penghitungan NPG ini seharusnya dilakukan menurut masing-masing produk penjaminan agar bisa mengetahui tingkat risiko suatu produk penjaminan berdasarkan data empiris masa lalu.
2. Loss Ratio (LR), yaitu rasio antara nilai premi atau nilai imbal jasa penjaminan dengan nilai klaim pada suatu periode tertentu dalam bentuk persentase. Nilai klaim yang digunakan dalam penghitungan LR dapat juga menggunakan nilai klaim netto yaitu nilai klaim dikurangi dengan nilai recoveries pada suatu periode tertentu. Penghitungan LR ini seharusnya dilakukan menurut masing-masing produk penjaminan agar bisa mengetahui tingkat risiko suatu produk penjaminan berdasarkan data empiris masa lalu.
Usaha penjaminan yang dilakukan semakin menguntungkan jika NPG-nya semakin kcil dan lebih kecil dari tingkat IJP yang ditetapkan. Misal NPG usaha penjaminan surety bond secara total pada tahun 2009 adalah 0,9 % sementara tarif IJP yang ditawarkan adalah 1,2 %, maka perusahaan penjaminan memperoleh kelebihan dana setelah membayar kewajiban sebesar 0,9 % adalah 1,2 % - 0,9 % = 0,3 %. Selisih IJP dengan NPG yang bernilai positif ini adalah dana lebih setelah membayar kewajiban dari nilai klaim yang terjadi, nilai selisih tersebut dapat digunakan untuk membiayai kehidupan perusahaan sampai pada peningkatan dana investasinya. Biasanya dalam best practise, hasil kegiatan investasi digunakan untuk membayar biaya operasional perusahaan penjaminan sedangkan hasil perolehan IJP digunakan untuk membayar klaim. Seandainya dari IJP tersebut masih ada sisa setelah membayar kewajiban membayar klaim maka sisanya tersebut dapat dialihkan untuk meningkatkan dana investasi perusahaan penjaminan. Begitu sebaliknya, usaha penjaminan semakin merugi jika realisasi NPG lebih besar dari tarif IJP atau premi yang diterima sehingga pada akhirnya akan menggerus modal bersih perusahaan (ekuitas) perusahaan penjaminan.
Pada indiaktor loss ratio (LR), usaha penjaminan akan memperoleh kelebihan dana ketika nilai LR di bawah 20 % atau dengan pengertian di bawah 20 % digunakan untuk membayar kewajiban klaim. Berdasarkan formulasi penghitungan LR diatas, sisanya sebesar 80 % dari LR sebesar 20 % biasanya digunakan untuk biaya lainnya sesuai dengan struktur komponen pembentukan premi/IJP seperti biaya akuisisi, biaya marketing dan cadangan klaim. Dengan demikian titik aman besaran realisasi nilai LR agar perusahaan penjaminan tidak merugi atau masih dapat tumbuh adalah nilai LR sebesar 20 %. Atau dapat dibuatkan pengertian sesuai dengan formulasi penghitungan LR seperti diatas, bahwa jika LR sebesar 100 %, maka seluruh premi/IJP yang diperoleh akan digunakan untuk membayar klaim sehingga perusahaan tidak memperoleh kelebihan dana untuk membiayai kelangsungan perusahaan. Sustainbilitas perusahaan akan terganggu jika secara keseluruhan produk penjaminan memiliki nilai LR lebih besar dari 70 %.
PERBEDAAN USAHA PENJAMINAN DAN ASURANSI
2.1. Dasar Perbedaan.
Penjaminan kredit mulai dikenal kembali pada saat Pemerintah menggelontorkan program penjaminan Kredit Usaha Rakyat pada akhir tahun 2007 dan telah membuat masyarakat umum kesulitan membedakannya dengan jasa Asuransi. Perbedaan antara Asuransi dan Penjaminan selama ini masih timbul pro-cons yang disebabkan pengetahuan tentang usaha penjaminan belum merata dan belum berkembang seperti halnya Asuransi. Namun kita mencoba untuk memberikan suatu benang merah untuk membedakannya dimana secara garis besar ada perbedaan yang mendasar antara Penjaminan dengan Asuransi yaitu sebagai berikut:
Penjaminan memiliki karakteristik sebagai berikut:
- Melibatkan 3 pihak (Penerima Jaminan, Terjamin, Penjamin)
- Dasar hukumnya cenderung berdasarkan KUHPerdata pasal 1830 -1835. Saat ini masih ada PMK No. 222/2008 dan PerPres No. 2/2008 yang menjadi dasar regulasi penjaminan
Berdasarkan KUHPer, Penjaminan memiliki terminologi yang sama dengan Penanggungan
Sifat perjanjiannya adalah tambahan (assesoir), sehingga harus ada kontrak utamanya (main contract) antara penerima jaminan dengan terjamin
- Dalam proses penyelesaian klaim dapat dibenarkan melakukan pre claim treatment, namun harus disesuaikan dengan regulasi yang berlaku
- Risiko yang dijamin adalah risiko yang bersifat speculative
- Dasar Hukum mengacu pada:
1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Per)
KUH Per Pasal 1820
Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya (Perjanjian 3 pihak)
Penjelasan
Jaminan tertulis yang diberikan penjamin kepada pihak berpiutang/kreditur untuk melunasi kewajibannya dalam hal debitur tersebut ingkar janji yaitu pembuktian bahwa debitur melakukan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya
Pasal 1821
Tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.
Penjelasan
- Penanggungan tersebut bersifat asesoris bahwa penjaminan merupakan persetujuan yang pelaksanaannya akan sangat tergantung pada perjanjian pokok yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan artinya bila perjanjian pokok batal maka akan mengakibatkan penanggungan batal.
- Ketentuan tentang Penanggungan (Guarantee) diatur dalam pasal 1820 – 1850 KUHPer
- Perpres No 2/2008 dan PMK No. 222/2008
Asuransi
- Melibatkan 2 pihak yaitu Penanggung dan Tertanggung
- Dasar hukumnya UU No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian
Berdasarkan UU No.2/1992, Asuransi dikatakan sebagai Pertanggungan
Sifat perjanjiannya adalah utama atau main contract antara Penanggung dan Tertanggung.
- Ketika klaim terjadi maka langsung dibayar, tidak mengenal pre claim treatment
- Risiko yang dihadapi adalah risiko murni
- No Premi No Claim. Klaim tidak dapat dibayarkan apabila premi belum dibayar.
Disini dituntut cash and carry
Dasar hukum mengacu pada:
1. Kitab Undang Hukum Dagang (KUHD)
2. UU Asuransi No.2 tahun 1992
UU Asuransi No.2 Pasal 1
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi Asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
KUHD Pasal 246
Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.
Penjelasan:
- Perjanjian antara dua pihak yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
- Objek asuransi adalah benda, jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.
Perbedaan Usaha Penjaminan dan Asuransi
Penjaminan
|
Asuransi
|
Melibatkan 3 pihak (Penerima Jaminan, Terjamin,
Penjamin)
|
Melibatkan 2 pihak yaitu Penanggung dan Tertanggung
|
Dasar hukumnya cenderung berdasarkan KUHPerdata pasal
1830 -1835. Saat ini masih ada PMK No. 222/2008 dan PerPres No.
2/2008 yang menjadi dasar regulasi penjaminan
|
Dasar hukumnya UU No.2 Tahun 1992
tentang Perasuransian
|
Berdasarkan KUHPer, Penjaminan memiliki terminologi
yang sama dengan Penanggungan
|
Berdasarkan UU No.2/1992, Asuransi dikatakan sebagai Pertanggungan
|
Sifat perjanjiannya adalah tambahan (assesoir), sehingga harus
ada kontrak utamanya (main contract) antara penerima jaminan dengan terjamin
|
Sifat perjanjiannya adalah utama atau main contract
antara Penanggung dan Tertanggung.
|
Dalam proses penyelesaian klaim dapat dibenarkan
melakukan pre claim treatment, namun harus disesuaikan dengan
regulasi yang berlaku
|
Ketika klaim terjadi maka langsung dibayar, tidak
mengenal pre claim treatment
|
Risiko yang dijamin adalah risiko yang bersifat
speculative
|
Risiko yang dihadapi adalah risiko murni
|
Walaupun masih debatable,
klaim dapat dibayarkan jika premi belum diterima secara cash and carry.
Hal ini khusus untuk menjalankan program pemerintah.
|
No Premi No Claim. Klaim tidak dapat dibayarkan apabila
premi belum dibayar. Disini dituntut cash
and carry
|
Penjaminan
|
Asuransi
|
Mengacu
pada:
1. Kitab
Undang Hukum Perdata (KUH Per)
KUH
Per Pasal 1820
Penanggungan
adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, manakala
orang ini sendiri tidak memenuhinya (Perjanjian 3 pihak)
Penjelasan
Jaminan
tertulis yang diberikan penjamin kepada pihak berpiutang/kreditur untuk
melunasi kewajibannya dalam hal debitur tersebut ingkar janji yaitu
pembuktian bahwa debitur melakukan wanprestasi dalam melaksanakan
kewajibannya
Pasal
1821
Tiada
penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.
Penjelasan
-
Penanggungan tersebut bersifat asesoris bahwa penjaminan merupakan
persetujuan yang pelaksanaannya akan sangat tergantung pada perjanjian pokok
yang mendasari terbitnya perjanjian jaminan artinya bila perjanjian pokok
batal maka akan mengakibatkan penanggungan batal.
-
Ketentuan tentang Penanggungan (Guarantee) diatur dalam pasal 1820 – 1850
KUHPer
2.
PMK No. 222/2008 dan PerPres No. 2/2008
|
Mengacu
pada:
1. Kitab
Undang Hukum Dagang (KUHD)
2. UU
Asuransi No.2 tahun 1992
UU
Asuransi No.2 Pasal 1
Asuransi
atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana
pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung dengan menerima premi
Asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari
suatu peristiwa yang tidak pasti.
KUHD
Pasal 246
Asuransi
atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tidak tentu.
Penjelasan
-
Perjanjian antara dua pihak yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
-
Objek asuransi adalah benda, jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung
jawab hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi
dan atau berkurang nilainya.
-
Ketentuan tentang Pertanggungan diatur dalam pasal 246 – 286 KUHD
|
Usaha Penjaminan merupakan suatu usaha alternatif dalam rangka penyebaran risiko (spread of risk) atas risiko kerugian yang mungkin terjadi, dimana risiko kerugian tersebut harus dapat diukur secara finansial. Usaha tersebut sebenarnya sudah ada sejak lama yaitu pada tahun 1971 dengan berdirinya PT Askrindo dan diikuti dengan Perum Jamkrindo, namun baru-baru ini mulai kembali dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa kegiatan usaha menjamin, menanggung dan sebagainya merupakan bagian dari produk-produk bidang asuransi. Hal ini terjadi karena asuransi telah lebih dulu dikenal oleh masyarakat, ditambah pula dengan adanya kemiripan antara asuransi dan penjaminan. Disamping itu, bagi sebagian kecil masyarakat masih menganggap bahwa penjaminan merupakan usaha yang bersifat sosial, bukan merupakan usaha yang berorientasi profit seperti halnya dilakukan oleh Pemerintah dalam program KUR. Persepsi itu terbentuk dari pengalaman bahwa kebanyakan perusahaan penjaminan kegiatannya bersifat sosial yang identik dengan merugi dan usaha penjaminan di Indonesia sering atau selalu menjadi program pemerintah dalam rangka mengembangkan UMKM.
Secara Terminologi, penjaminan atau penanggungan berdasarkan KUHPer Pasal 1820; penjaminan atau penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2/1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Peraturan yang mengatur industri jasa asuransi adalah Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang Usaha Perasuransian, dan pemahaman masyarakat terhadap penjaminan masih identik dengan asuransi. Bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penjaminan merupakan bagian dari asuransi. Namun jika dikaji lebih mendalam lagi, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penjaminan dan asuransi. Perbedaan yang cukup mendasar yaitu keterlibatan para pihak di masing-masing kontrak. Pada penjaminan yang terlibat di dalamnya ada tiga pihak, yaitu Terjamin, Penerima Jaminan dan Penjamin. Sedangkan dalam asuransi, pihak yang terlibat hanya ada dua pihak, yaitu Penanggung (Insurer) dan Tertanggung (Insured). Untuk perjanjiannya sendiri juga terdapat perbedaan antara penjaminan dan asuransi. Perjanjian dalam penjaminan, dari sisi Penjamin merupakan perjanjian tambahan (accessoair contract) atas perjanjian pokok (main contract) antara Terjamin dan Penerima Jaminan.
Perjanjian dalam asuransi, merupakan perjanjian pokok (main contract) antara Penanggung dan Tertanggung. Proses penjaminan didasari atas terbitnya Sertifikat Penjaminan dan telah dibayarkannya Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Proses pertanggungan atau asuransi didasari atas terbitnya Polis Asuransi dan telah dibayarkannya sejumlah premi asuransi. Usaha di bidang penjaminan berpedoman pada “select Your risk and client”, walaupun dalam prakteknya juga dapat diterapkan hukum bilangan besar, khususnya untuk penjaminan yang bersifat automatic cover.
Secara case by case, penjaminan hanya akan diberikan kepada terjamin melalui suatu analisis yang mendalam dan telah diketahui pula reputasi yang bersangkutan. Lain halnya pada asuransi, karena yang ditanggung adalah risiko murni sehingga seluruh sistem penutupannya tunduk dengan hukum bilangan besar, Insurer atau pihak asuransi akan melayani siapa saja yang ingin mempertanggungkan risiko kerugiannya sepanjang telah menyepakati perjanjian pertanggungan, tanpa harus meneliti reputasi tertanggung (Insured).
Di antara beberapa sistem penjaminan pun dalam prakteknya masih memiliki perbedaan dalam skimnya. Hal inilah yang membedakan penjaminan kredit dan asuransi kredit. Pada penjaminan kredit memiliki prinsip-prinsip yang meliputi kelayakan usaha, pelengkap perkreditan, pengganti agunan, pengambil alihan sementara risiko kredit macet, piutang subrogasi, keterlibatan pihak ketiga dan kerjasama pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut harus ada dalam penjaminan kredit sebagai upaya kehati-hatian (prudent), mengingat risiko dalam penjaminan kredit yang relatif besar. Sedangkan dalam asuransi kredit tunduk terhadap prinsip-prinsip asuransi pada umumnya, yaitu meliputi insurable interest (memiliki kepentingan mengasuransikan), utmost good faith (itikad baik), indemnity (ganti rugi) dan subrogation (hak pemulihan setelah membayar ganti rugi).
Dalam hal terjadi kesalahan pada kontrak, penjaminan kredit tidaklah mudah melakukan perubahan atas klausula penjaminan karena melibatkan dua pihak lainnya. Namun perubahan tersebut bukan hal yang tidak mungkin dan bisa dianggap sangat mungkin tergantung pada pihak yang terlibat dalam usaha penjaminan. Lain halnya dengan asuransi kredit, jika terjadi kesalahan, asuransi dapat melakukan perubahan dengan endorsment ataupun cancellation.
Perbedaan penjaminan kredit dan asuransi kredit juga terletak pada saat pengajuan klaim. Pada penjaminan kredit pembayaran klaim dilakukan setelah terpenuhinya syarat penjaminan yang diatur dan disepakati dalam sertifikat penjaminan dan biasanya tidak mempersoalkan apa penyebab terjadinya klaim. Setelah klaim dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan, maka timbul hak subrogasi Penjamin, dalam hal ini Terjamin berkewajiban membayar sejumlah klaim yang telah dibayarkan tersebut. Sedangkan dalam asuransi kredit, klaim dibayarkan setelah diketahui penyebab terjadinya kemacetan kredit. Setelah klaim dibayar oleh Penanggung (perusahaan asuransi) kepada Tertanggung (Bank pemberi kredit), maka Penanggung melalui atau secara bersama-sama dengan Tertanggung melakukan penagihan kepada Debitur Tertanggung. Disamping itu, didalam asuransi kredit sebagian dari risiko kredit dapat direasuransikan kepada perusahaan reasuransi.
Dilihat dari tujuannya juga terdapat perbedaan yang mendasar antara penjaminan dan asuransi. Tujuan utama kegiatan penjaminan adalah menjebatani antara Terjamin UMKM yang belum dapat akses ke perbankan karena berbagai faktor, kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima jaminan (Perbankan/LKBB) untuk menyalurkan kredit. Sedangkan asuransi kredit, lebih berorientasi untuk melindungi kepentingan pihak tertanggung (Bank/LKBB) dari kemungkinan terjadinya kerugian yang disebabkan oleh kredit macet.
Pada skim penjaminan, Perjanjian Kredit merupakan dasar atas perikatan tiga pihak, dan istilah Imbal Jasa Penjaminan merupakan biaya pelayanan (service charge). Pada skim asuransi, kredit dipandang sebagai obyek dari perjanjian asuransi. Sedangkan istilah premi pada asuransi merupakan dana yang dihimpun dan dicadangkan untuk pembayaran ganti rugi.
Walaupun KUHPerdata menyebutkan bahwa para pihak dalam penjaminan adalah debitur, kreditur dan penanggung, pada dasarnya usaha penjaminan telah berkembang di luar penjaminan kredit. Namun ada karakteristik yang tetap dijaga yaitu bahwa penjaminan melibatkan tiga pihak yaitu penjamin, penerima jaminan dan si terjamin. Dengan adanya ketiga istilah tersebut maka penjaminan dapat dilakukan dalam bentuk penjaminan kegagalan si terjamin dalam memenuhi kewajibannya terhadap di penerima jaminan baik dalam mengembalikan pinjaman yang sudah diterima oleh si terjamin maupun dalam hal terdapat kewajiban daripada si terjamin untuk melakukan suatu pekerjaan/kewajiban kepada si penerima jaminan. Disamping itu kewajiban penjamin tetap berlaku apabila si terjamin gagal memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan.
Usaha Penjaminan merupakan suatu usaha alternatif dalam rangka perlindungan atau proteksi atas risiko kerugian yang mungkin terjadi, dimana risiko kerugian tersebut harus dapat diukur secara finansial. Usaha tersebut sebenarnya sudah ada sejak lama, namun baru-baru ini mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa kegiatan usaha menjamin, menanggung dan sebagainya merupakan bagian dari produk-produk bidang asuransi. Hal tersebut dikarenakan asuransi telah lebih dulu dikenal oleh masyarakat, ditambah pula dengan adanya kemiripan antara asuransi dan penjaminan. Disamping itu, bagi sebagian kecil masyarakat yang mengetahui usaha penjaminan masih menganggap bahwa penjaminan merupakan usaha yang bersifat sosial, bukan merupakan usaha yang berorientasi profit. Persepsi itu terbentuk dari pengalaman bahwa kebanyakan perusahaan penjaminan kegiatannya bersifat sosial yang identik dengan merugi dan usaha penjaminan di Indonesia sering atau selalu menjadi program pemerintah dalam rangka membantu dan memberdayakan UMKM.
Secara terminologi, penjaminan atau penanggungan berdasarkan KUHPer Pasal 1820; penjaminan atau penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya. Sedangkan pengertian asuransi menurut Undang-Undang Nomor 2/1992 Tentang Usaha Perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Peraturan yang mengatur industri asuransi adalah Undang-Undang Nomor 2/1992 tentang Usaha Perasuransian, dan pemahaman masyarakat terhadap penjaminan masih sama dengan asuransi. Bahkan sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa penjaminan merupakan bagian dari asuransi. Namun jika dikaji lebih mendalam lagi, maka terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penjaminan dan asuransi. Perbedaan yang cukup mendasar yaitu keterlibatan para pihak di masing-masing kontrak. Pada penjaminan yang terlibat di dalamnya ada tiga pihak, yaitu Terjamin, Penerima Jaminan dan Penjamin. Sedangkan dalam asuransi, pihak yang terlibat hanya ada dua pihak, yaitu Penanggung (Insurer) dan Tertanggung (Insured). Untuk perjanjiannya sendiri juga terdapat perbedaan antara penjaminan dan asuransi. Perjanjian dalam penjaminan, dari sisi Penjamin merupakan perjanjian tambahan (accessoair contract) atas perjanjian pokok (main contract) antara Terjamin dan Penerima Jaminan. Perjanjian dalam asuransi, merupakan perjanjian pokok (main contract) antara Penanggung dan Tertanggung. Proses penjaminan didasari atas terbitnya Sertifikat Penjaminan dan telah dibayarkannya Imbal Jasa Penjaminan (IJP). Proses pertanggungan atau asuransi didasari atas terbitnya Polis Asuransi dan telah dibayarkannya sejumlah premi asuransi. Usaha di bidang penjaminan berpedoman pada “select Your risk and client”, walaupun dalam prakteknya juga dapat diterapkan hukum bilangan besar, khususnya untuk penjaminan yang bersifat automatic cover dan bersifat retail. Secara case by case, penjaminan hanya akan diberikan kepada terjamin dengan nilai penjaminan yang relatif besar dan lebih berisiko melalui suatu analisis yang mendalam dan telah diketahui pula reputasi yang bersangkutan. Lain halnya pada asuransi, karena yang ditanggung adalah risiko murni sehingga seluruh sistem penutupannya tunduk dengan hukum bilangan besar, Insurer atau pihak asuransi akan melayani siapa saja yang ingin mempertanggungkan risiko kerugiannya sepanjang telah menyepakati perjanjian pertanggungan, tanpa harus meneliti reputasi tertanggung (Insured).
Di antara beberapa sistem penjaminan pun dalam prakteknya masih memiliki perbedaan dalam skimnya. Hal inilah yang membedakan penjaminan kredit dan asuransi kredit. Pada penjaminan kredit memiliki prinsip-prinsip yang meliputi kelayakan usaha, pelengkap perkreditan, pengganti agunan, pengambil alihan sementara risiko kredit macet, piutang subrogasi, keterlibatan pihak ketiga dan kerjasama pengendalian. Prinsip-prinsip tersebut harus ada dalam penjaminan kredit sebagai upaya kehati-hatian (prudent), mengingat risiko dalam penjaminan kredit yang relatif besar. Sedangkan dalam asuransi kredit tunduk terhadap prinsip-prinsip asuransi pada umumnya, yaitu meliputi insurable interest (memiliki kepentingan mengasuransikan), utmost good faith (itikad baik), indemnity (ganti rugi) dan subrogation (hak pemulihan setelah membayar ganti rugi).
Dalam hal terjadi kesalahan pada kontrak, penjaminan kredit tidaklah mudah melakukan perubahan atas klausula penjaminan. Lain halnya dengan asuransi kredit, jika terjadi kesalahan, asuransi dapat melakukan perubahan dengan endorsment ataupun cancellation.
Perbedaan penjaminan kredit dan asuransi kredit juga terletak pada saat pengajuan klaim. Pada penjaminan kredit pembayaran klaim dilakukan setelah terpenuhinya syarat penjaminan yang diatur dan disepakati dalam sertifikat penjaminan dan biasanya tidak mempersoalkan apa penyebab terjadinya klaim. Setelah klaim dibayarkan oleh Penjamin kepada Penerima Jaminan, maka timbul hak subrogasi Penjamin, dalam hal ini Terjamin berkewajiban membayar sejumlah klaim yang telah dibayarkan tersebut. Sedangkan dalam asuransi kredit, klaim dibayarkan setelah diketahui penyebab terjadinya kemacetan kredit. Setelah klaim dibayar oleh Penanggung (perusahaan asuransi) kepada Tertanggung (Bank pemberi kredit), maka Penanggung melalui atau secara bersama-sama dengan Tertanggung melakukan penagihan kepada Debitur Tertanggung. Disamping itu, didalam asuransi kredit sebagian dari risiko kredit dapat direasuransikan kepada perusahaan reasuransi.
Dilihat dari tujuannya juga terdapat perbedaan yang mendasar antara penjaminan dan asuransi. Tujuan utama kegiatan penjaminan adalah menjebatani antara Terjamin UMKM yang belum dapat akses ke perbankan karena berbagai faktor, kepentingan terjamin dari sisi penggantian agunan dan kepentingan penerima jaminan (Perbankan/LKBB) untuk menyalurkan kredit. Sedangkan asuransi kredit, lebih berorientasi untuk melindungi kepentingan pihak tertanggung (Bank/LKBB) dari kemungkinan terjadinya kerugian yang disebabkan oleh kredit macet.
Aspek Hukum Kontrak Penjaminan
Kontrak penjaminan adalah kontrak dimana si penjamin mengikatkan dirinya terhadap kontrak yang telah dilakukan antara si penerima jaminan dengan si terjamin. Kontrak penjaminan adalah kontrak antara 3 (tiga) pihak sehingga seharusnya berbeda dengan kontrak/polis asuransi yang melibatkan 2 pihak. Kontrak penjaminan harus memuat secara jelas tentang definisi daripada penjamin, penerima jaminan ataupun terjamin. Dengan demikian setiap kontrak yang melibatkan 3 pihak dan bersifat asesoir terhadap perjanjian pokok dapat dinyatakan sebagai kontrak penjaminan bukan kontrak asuransi ataupun kontrak lainnya.
Dalam penjaminan, ada kontrak dimana terjamin mengetahui bahwa kreditnya dijamin oleh penjamin sehingga secara langsung dapat berperan langsung dalam kontrak namun ada juga kontrak penjaminan dimana terjamin tidak mengetahui adanya kontrak antara penerima jaminan dengan penjamin yang menjamin kredit atau obyek penjaminannya. Seperti halnya penjaminan kredit yang dilakukan oleh bank sebagai penerima jaminan dengan PPK/LPK sebagai penjamin. Kredit yang disalurkan oleh bank kepada debitur atau terjamin dijamin tanpa sepengetahuan terjamin dengan alasan tertentu seperti agar tidak memperbesar moral hazard yang menimbulkan risiko kredit lebih besar lagi atau alasan lainnya. Sedangkan ada penjaminan kredit yang dari awal diajukan oleh terjamin kepada bank atau penerima jaminan untuk memperkuat performance pengajuan kredit dan menggantikan kekurangan agunan/colateral terjamin sehingga terjamin harus mengetahui manfaat dan kewajibannya dalam kontrak penjaminan tersebut.
Dengan demikian, ada beberapa hal yang perlu juga mendapatkan perhatian khusus dalam kontrak penjaminan yaitu mengenai perlindungan terhadap manfaat-manfaat apa saja yang dapat diterima oleh penerima jaminan dan terjamin sekaligus kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh penerima jaminan dan terjamin secara jelas. Walaupun dalam kasus penjaminan kredit bank, klaim dibayarkan melalui penerima jaminannya yaitu bank sendiri namun perlu juga ditegaskan hak-hak dari terjamin apabila yang bersangkutan meninggal dunia atau tidak mampu untuk melunasi kreditnya. Juga perlu ditegaskan mengenai bagaimana cara penanganan agunan/collateral secara transparan diantara pihak yang terlibat agar tidak merugikan pihak yang terlibat dalam kontrak penjaminan.
Penjaminan kredit yang mengalami gagal bayar/default dan menyebabkan timbul klaim atau pencairan jaminan maka secara otomatis timbul hak subrogasi. Dalam kaitannya dengan hak subrograsi selama ini karena pihak bank adalah yang menyimpan agunan/collateral, recovery dari agunan/collateral memang dibagikan berdasarkan proporsi yang telah disepakati antara bank dan penjamin. Namun demikian, penjamin merasakan bahwa pihak bank lebih memprioritaskan recovery untuk kepentingan bank padahal seharusnya dibagikan secara proporsional kepada penjamin sesuai dengan kontrak penjaminan.
Dasar hukum dari penjaminan di Indonesia adalah KUHPerdata Bab XVII tentang penanggungan utang. Pada pasal 1820 dinyatakan bahwa perjanjian tentang penanggungan, dimana pada salah satu pasalnya dinyatakan bahwa orang boleh melakukan penjaminan terhadap pihak lain.
Di dalam kontrak penjaminan juga harus secara jelas dicantumkan cara penyelesaian hukum yang akan diambil apabila ternyata salah satu pihak wanprestasi. Tentunya harus ada dasar-dasar yang jelas tentang latar belakang pembuatan pasal-pasal supaya tidak terkesan bahwa kontrak tersebut dibuat secara asal jadi saja.
Catatan tambahan
Pengertian Asuransi
Ketentuan mengenai pengertian asuransi dalam UU No 2/1992 merupakan penyempurnaan dari pengertian asuransi dalam KUHD. Ketentuan dalam KUHD mengenai pengertian asuransi hanya mencakup jenis asuransi kerugian, sedangkan dalam UU No 2/1992 mencakup pengertian asuransi kerugian dan asuransi jiwa. Dari kedua ketentuan mengenai pengertian asuransi tersebut, selain terdapat perbedaan cakupan jenis asuransinya, dalam UU No 2/1992 juga ditambahkan bagian lain dari jenis asuransi kerugian, yaitu kerugian karena tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
UU No 2/1992 pasal 1 ayat 1
Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima pembayaran premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
KUH Dagang
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, di mana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskannya dari kerugian karena kehilangan, kerugian, atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang akan dapat dideritanya karena suatu kejadian yang tidak pasti.
UU No2/1992 pasal 1 ayat 2
Objek asuransi
Benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi dan atau berkurang nilainya.
Subject matter of insurance (buku Principle of Insurance John T. Steele) yaitu dapat berupa properti atau kejadian yang menimbulkan kerugian atas hak atau menimbulka kewajiban hukum.
UU No 2/1992 pasal 1 ayat 13
Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijaksanaan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain, atau sebaliknya, dengan memanfaatkan adanya kebersamaan kepemilikan saham atau kebersamaan pengelolaan perusahaan.
Bidang, Jenis dan Ruang Lingkup Usaha Perasuransian
Bidang usaha
UU No 2/1992 pasal 2
Usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di bidang:
a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat dengan mengumpulkan premi asuransi, memberi perlindungan kepada anggota masyarakat pengguna jasa asuransi terhadap kemungkinan kerugian, karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang
b. Usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilai kerugian asuransi dan jasa konsultan aktuaria
Jenis usaha
UU No 2/1992 pasal 3
Jenis usaha perasuransian meliputi:
a. Usaha asuransi terdiri dari:
1. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum terhadap pihak ke-3 yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2. usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3. usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi perusahaan asuransi kerugian dan atau jiwa
b. Usaha penunjang asuransi terdiri dari:
1. usaha pialang asuransi yang memberikan jasa dalam keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung
2. usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa dalam keperantaraan dalam penempatan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi dengan bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
3. usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada objek asuransi yang dipertanggungkan
4. usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultasi aktuaria
5. usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraaan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung
2.2. Risiko Usaha Penjaminan
Konsekuensi usaha penjaminan yang melibatkan tiga pihak tentu akan menyebabkan risiko usaha yang lebih besar dibandingkan dengan usaha perbankan atau asuransi yang hanya melibatkan dua pihak, ditambah lagi dengan risiko lainnya yang berasal dari eksternal antara lain seperti risiko lingkungan, risiko hukum dan risiko reputasi. Usaha penjaminan memerlukan risk control yang lebih besar karena harus mengantisipasi timbulnya risiko dari ketiga pihak yang terlibat yaitu dari penjaminan, penerima jaminan dan terjamin. Risiko yang bisa muncul dan dihadapi oleh penjamin itu sendiri adalah risiko operasional, yang meliputi antara lain risiko SDM, risiko produktifitas, risiko sistem, risiko proses dan risiko teknologi informasi risiko keuangan yang meliputi antara lain risiko pasar, risiko kredit dan risiko permodalan. Sedangkan penjamin atau LPK/PPK juga harus melakukan risk control dari risiko yang muncul dari penerima jaminan dan terjamin berupa moral hazards dan potensi risiko lainnya yang dapat memperbesar risiko kegagalan yang pada akhirnya menimbulkan klaim atau pencairan jaminan dari penerima jaminan.
Usaha penjaminan timbulnya menjadi supplementary usaha dari main contract dari penerima jaminan dengan terjamin dikarenakan adanya unsur ketidak pastian (uncertainty) atas suatu peristiwa yang dapat memberikan dampak kerugian keuangan kepada seseorang atau korporasi. Pada awalnya risiko-risiko yang ada hanya dibagi ke dalam 2 kategori yaitu risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni merupakan risiko yang dapat mengakibatkan kerugian pada tertanggung tapi tidak ada kemungkinan menguntungkan. Sebagai contoh risiko risiko murni adalah risiko kebakaran apabila terjadi dapat mengakibatkan kerugian kepada aset si tertanggung atau penerima jaminan namun jika tidak terjadi tidak akan menimbulkan keuntungan kepada si tertanggung/penerima jaminan.
Hal ini berbeda dengan risiko spekulatif yaitu risiko yang dapat mengakibatkan dua kemungkinan, merugikan atau menguntungkan tertanggung/perusahaan. Sebagai contoh risiko kenaikan tingkat bunga atau nilai tukar mata uang asing. Apabila ada kenaikan tingkat suku bunga kemungkinan besar akan menaikkan nilai kredit yang harus dibayar debitur kepada kreditur sedangkan apabila mengalami penurunan tingkat suku bunga kemungkinan malah menurunkan kewajiban debitur terhadap kreditur. Di sini terlihat manakala debitur/terjamin membayar lebih dari yang diperjanjikan maka ada pihak yang diuntungkan yaitu pihak kreditur/penerima jaminan. Sebaliknya pihak kreditur bisa menderita kerugian apabila tingkat bunga turun, karena adanya kemungkinan gagal bayar.
Secara tradisional, risiko-risiko murni adalah risiko yang layak dan dapat dialihkan ke pihak lain seperti perusahaan asuransi karena masih mungkin mendatangkan keuntungan (dengan underwriting yang baik). Sedangkan untuk risiko-risiko keuangan yang spekulatif seperti risiko kredit maka tidak menarik untuk dijadikan bisnis asuransi.
Risiko murni sendiri dapat juga dibagi menjadi risiko yang insurable dengan uninsurable. Risiko yang insurable adalah risiko-risiko yang layak ditanggung oleh perusahaan asuransi seperti risiko kebakaran, risiko pengangkutan, rangka kapal, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, risiko pencurian, risiko kecelakaan dan lain sebagainya. Namun ada pula risiko yang tidak layak ditanggung oleh perusahaan asuransi seperti risiko gempa bumi, huru hara, perang, banjir dan lain sebagainya.
Risiko-risiko lain seperti risiko penyelesaian proyek, risiko uang muka, risiko pemeliharaan, risiko perdagangan, pada dasarnya adalah risiko-risiko yang lebih ke arah spekulatif daripada risiko murni. Risiko penyelesaian proyek misalnya, terjadi apabila si kontraktor tidak mampu untuk menyelesaikan kontrak proyek yang sudah disepakati dengan si pemilik proyek. Gagalnya penyelesaian proyek biasanya dapat disebabkan oleh melonjaknya harga material atau terjadinya peningkatan suku bunga kredit sehingga membebani si kontraktor. Risiko atas transaksi perdagangan biasanya timbul apabila si buyer tidak mampu membayar secara tepat waktu kepada seller sesuai harga barang yang telah disepakati, namun hal tesebut juga bisa saja terjadi dikarenakankan adanya kenaikan suku bunga kredit, ataupun karena efek berantai (multipier effect) yaitu kemacetan pembayaran dari pihak agen-agen atau distributor.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa usaha yang dijalankan perusahaan penjaminan sebagian besarnya adalah menjamin risiko-risiko kredit yang notabene tergolong risiko spekulatif. Dalam perkembangannya perusahaan penjaminan juga dapat menjamin risiko kegagalan pelaksanaan proyek, risiko perdagangan, dan lain sebagainya. Selanjutnya timbul pertanyaan yang mendasar, yaitu apakah usaha penjaminan masih memiliki potensi untuk berkembang jika dilihat dari segi menjamin risiko spekulatif yang dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan penjaminan?
Sebagai tinjauan, di dalam industri perasuransian dengan kemajuan teknologi telah mampu menyajikan data statistik yang menginformasikan frekuensi dan tingkat keparahan dari berbagai peristiwa yang terkait dengan risiko di bidang asuransi sehingga para ahli matematik dapat menganalisis secara akurat tentang kemungkinan perusahaan asuransi tetap dapat mengaksep risiko tersebut dengan meminimalisir kemungkinan kerugiannya. Demikian pula halnya dengan perusahaan penjaminan, walaupun risiko-risiko yang dihadapi relatif tinggi namun dengan kemampuan analisis underwriting yang lebih baik maka akan dapat mengembangkan teknik pengendalian dan mitigasi risiko yang justru menjadi peluang usaha bagi perusahaan penjaminan. Hal tersebut juga dapat dikombinasikan dengan kemampuan matematis dan analisis secara statistik dalam rangka pemetaan risiko guna mengetahui frekuensi dan tingkat keparahan setiap risiko bidang penjaminan agar secara dini dapat dieliminir kemungkinan terjadinya kerugian besar bagi perusahaan penjamnan. Dengan demikian, peranan manajemen risiko dalam usaha penjaminan ini sangat mutlak diperlukan.
Sebagai contoh, kredit investasi memiliki potensi risiko yang besar untuk dijamin karena adanya moral hazard yang mungkin timbul dari si terjamin (debitur) karena mengetahui bahwa ia dijamin oleh perusahaan penjaminan. Namun hal tersebut bisa diatasi melalui sharing risiko dengan pihak kreditur, sehingga kreditur juga memiliki kepentingan untuk menyeleksi calon debitur. Disamping itu, dengan adanya persyaratan dalam kredit konsumtif untuk mendapatkan akses langsung terhadap data penghasilan dan profil calon debitur, telah mampu secara signifikan mengurangi risiko kredit macet yang disebabkan gagal bayar (moral hazard).
Tingginya risiko penjaminan kredit juga dapat diatasi dengan mensyaratkan adanya collateral atau agunan yang menjadi hak penjamin dalam hal debitur atau terjamin mengalami gagal bayar.
Setelah mengidentifikasi risiko usaha penjaminan merupakan risiko spekulatif, maka perlu suatu indikator untuk mengukur tingkat risiko usaha penjaminan. Ada dua indikator risiko usaha penjaminan yang dapat digunakan yaitu:
1. Non Performance Guarantee (NPG), adalah rasio antara nilai plafond penjaminan dengan nilai klaim pada periode tertentu dalam bentuk persentase. Nilai klaim yang digunakan dalam penghitungan NPG tersebut dapat menggunakan nilai klaim netto yaitu nilai klaim dikurangi dengan nilai recoveries pada suatu periode tertentu. Indikator NPG ini hampir mirip dengan indikator risiko perbankan yaitu Non Performance Loan (NPL). Penghitungan NPG ini seharusnya dilakukan menurut masing-masing produk penjaminan agar bisa mengetahui tingkat risiko suatu produk penjaminan berdasarkan data empiris masa lalu.
2. Loss Ratio (LR), yaitu rasio antara nilai premi atau nilai imbal jasa penjaminan dengan nilai klaim pada suatu periode tertentu dalam bentuk persentase. Nilai klaim yang digunakan dalam penghitungan LR dapat juga menggunakan nilai klaim netto yaitu nilai klaim dikurangi dengan nilai recoveries pada suatu periode tertentu. Penghitungan LR ini seharusnya dilakukan menurut masing-masing produk penjaminan agar bisa mengetahui tingkat risiko suatu produk penjaminan berdasarkan data empiris masa lalu.
Usaha penjaminan yang dilakukan semakin menguntungkan jika NPG-nya semakin kcil dan lebih kecil dari tingkat IJP yang ditetapkan. Misal NPG usaha penjaminan surety bond secara total pada tahun 2009 adalah 0,9 % sementara tarif IJP yang ditawarkan adalah 1,2 %, maka perusahaan penjaminan memperoleh kelebihan dana setelah membayar kewajiban sebesar 0,9 % adalah 1,2 % - 0,9 % = 0,3 %. Selisih IJP dengan NPG yang bernilai positif ini adalah dana lebih setelah membayar kewajiban dari nilai klaim yang terjadi, nilai selisih tersebut dapat digunakan untuk membiayai kehidupan perusahaan sampai pada peningkatan dana investasinya. Biasanya dalam best practise, hasil kegiatan investasi digunakan untuk membayar biaya operasional perusahaan penjaminan sedangkan hasil perolehan IJP digunakan untuk membayar klaim. Seandainya dari IJP tersebut masih ada sisa setelah membayar kewajiban membayar klaim maka sisanya tersebut dapat dialihkan untuk meningkatkan dana investasi perusahaan penjaminan. Begitu sebaliknya, usaha penjaminan semakin merugi jika realisasi NPG lebih besar dari tarif IJP atau premi yang diterima sehingga pada akhirnya akan menggerus modal bersih perusahaan (ekuitas) perusahaan penjaminan.
Pada indiaktor loss ratio (LR), usaha penjaminan akan memperoleh kelebihan dana ketika nilai LR di bawah 20 % atau dengan pengertian di bawah 20 % digunakan untuk membayar kewajiban klaim. Berdasarkan formulasi penghitungan LR diatas, sisanya sebesar 80 % dari LR sebesar 20 % biasanya digunakan untuk biaya lainnya sesuai dengan struktur komponen pembentukan premi/IJP seperti biaya akuisisi, biaya marketing dan cadangan klaim. Dengan demikian titik aman besaran realisasi nilai LR agar perusahaan penjaminan tidak merugi atau masih dapat tumbuh adalah nilai LR sebesar 20 %. Atau dapat dibuatkan pengertian sesuai dengan formulasi penghitungan LR seperti diatas, bahwa jika LR sebesar 100 %, maka seluruh premi/IJP yang diperoleh akan digunakan untuk membayar klaim sehingga perusahaan tidak memperoleh kelebihan dana untuk membiayai kelangsungan perusahaan. Sustainbilitas perusahaan akan terganggu jika secara keseluruhan produk penjaminan memiliki nilai LR lebih besar dari 70 %.
By Mulyono, SE,MM,CRMP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar