Pendahuluan
Sejak tahun 2007, Penjaminan kredit kembali memperoleh perhatian Pemerintah dalam upaya mengembangkan UMKM dengan melibatkan bank-bank milik Pemerintah. Program pemerintah ini dikenal dengan Progam Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang memperoleh penjaminan kredit oleh Lembaga Penjaminan Kredit miliki Pemeirntah. Program pemerintah inipun disambut dengan baik oleh dunia usaha dan perbankan. Dalam waktu tiga tahun, dana kredit perbankan yang telah dikucurkan telah mencapai diatas Rp. 15 triliun lebih bahkan ada rencana Pemerintah akan terus menambah pengucuran kredit UMKM sampai Rp. 20 triliun pada tahun 2010 dengan mekanisme Penjaminan Kredit. Mekanisme penjaminan kredit ini dipilih karena secara umum UMKM sulit memperoleh akses keuangan ke perbankan karena tidak dapat memenuhi persyaratan agunan. Penjaminan Kredit ditempatkan sebagai pengganti agunan yang dipersyaratkan perbankan kepada UMKM. Sebenarnya peranan Penjaminan Kredit ini sudah mulai dirasakan sejak tahun 1971 ketika PT. Askrindo dibentuk untuk menanggulangi permasalahan pembiayaan UMKM yang tidak dapat memenuhi persyaratan perbankan namun memiliki prospek usaha yang baik. Program penjaminan kredit saat ini dikembangkan kembali oleh pemerintah agar dapat memperkokoh struktur perekonomian Indonesia. Pemahaman dan persamaan persepsi tentang usaha Penjaminan ini perlu dibangun secara bersama dimulai dari jenis usahanya sampai pada kegiatan usaha penjaminan secara menyeluruh.
Konsep dan Definisi Usaha Penjaminan
Penjaminan secara umum adalah suatu janji untuk memenuhi pembayaran hutang, atau melakukan sesuatu tugas, dalam hal terjadi kegagalan dari orang lain, yang pada kesempatan pertama, bertanggung jawab terhadap pembayaran atau pelaksanaan pekerjaan tesebut.
Di dalam KUH Perdata, penanggungan sebagaimana diatur dalam pasal 1820 adalah : suatu perjanjian dengan mana seorang Pihak Ketiga, guna kepentingan siberpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Dengan demikian dalam suatu penanggungan minimal terdapat empat unsur yaitu :
1. Penangunggan merupakan suatu bentuk perjanjian, berarti sahnya penanggungan tidak terlepas dari sahnya perjanjian yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
2. Penanggungan melibatkan keberadaan suatu utang yang terlebih dahulu ada. Hal ini berarti tanpa keberadaan utang yang ditanggung tersebut, maka penanggungan utang tidak pernah ada.
3. Penanggungan dibuat semata-mata untuk kepentingan kreditur, dan bukan untuk kepentingan debitur.
4. Penanggungan hanya mewajibkan memenuhi kepada kreditur manakala debitur telah terbukti tidak memenuhi kewajiban atau prestasi atau kewajibannya.
Perjanjian penjaminan adalah bersifat asesoir terhadap perjanjian pokok sehingga ada beberapa karakter yang melekat kepadanya seperti :
a. Adanya tergantung pada perjanjian pokok;
b. Hapusnya tergantung kepada perjanjian pokok
c. Jika perjanjian pokok batal, iapun ikut batal
d. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok
e. Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi maka beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus
Walaupun KUHPerdata menyebutkan bahwa para pihak dalam penjaminan adalah debitur, kreditur dan penanggung, pada dasarnya usaha penjaminan telah berkembang di luar penjaminan kredit. Namun ada karakteristik yang tetap dijaga yaitu bahwa penjaminan melibatkan tiga pihak yaitu penjamin, penerima jaminan dan si terjamin. Dengan adanya ketiga istilah tersebut maka penjaminan dapat dilakukan dalam bentuk penjaminan kegagalan si terjamin dalam memenuhi kewajibannya terhadap di penerima jaminan baik dalam mengembalikan pinjaman yang sudah diterima oleh si terjamin maupun dalam hal terdapat kewajiban daripada si terjamin untuk melakukan suatu pekerjaan/kewajiban kepada si penerima jaminan. Disamping itu kewajiban penjamin tetap berlaku apabila si terjamin gagal memenuhi kewajibannya kepada si penerima jaminan.
Filosofi & Dasar Hukum Penjaminan
Karakter yang khas dari Penjaminan (Penanggungan) ditinjau dari beberapa aspek, antara lain yaitu :
a. Sifat dan karakteristik risiko penjaminan bersifat speculative (risiko moral hazard).
b. Dalam praktek penjaminan, Hukum Bilangan Besar (The Law of Large Number) tidak berlaku mutlak untuk seluruh produknya karena ada sebagian produk penjaminan yang secara nature tidak dapat mengikuti prinsip Hukum Bilangan Besar. Disamping itu, data empiris yang tersedia secara statistik dan matematis tidak cukup valid untuk dijadikan dasar dalam analisis risiko, atau dengan kata lain bahwa unsur ketidakpastian (uncertainty) sulit distandarisasi mengingat unsur dasar risiko adalah cenderung kepada moral hazzard dan sangat tergantung dengan kondisi makro ekonomi. Risiko-risiko kerugian yang pernah terjadi didunia penjaminan secara hukum hanya dapat dijadikan sebagai yurisprudensi dikarenakan peristiwanya bersifat per kasus.
c. Bahwa perjanjian penjaminan bersifat accecoir/supplementary atau perjanjian tambahan terhadap main contract/perjanjian pokok antara Penerima Jaminan dan Terjamin. Dalam sistem penjaminan berlaku prinsip keterbukaan, yaitu bahwa para pihak yang bertransaksi (membuat kontrak) telah saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing (Penjamin, Terjamin dan Penerima Jaminan).
Sebagai dasar hukum terdapat beberapa pasal KUHPer yang berkaitan dengan penanggungan/penjaminan, yaitu sebagai berikut :
a. Pasal 1820, “perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga (Penjamin), guna kepentingan si berpiutang (Bank/Penerima Jaminan/Obligee) mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang (UMKM/Debitur /Principal) manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”;
b. Pasal 1823, “seseorang dapat mengajukan diri sebagai Penanggung (dengan tidak telah diminta untuk itu) oleh orang untuk siapa ia mengikatkan dirinya, bahkan diluar pengetahuan orang itu. Diperbolehkan juga untuk menjadi penanggung tidak saja untuk si berpiutang utama, tetapi juga untuk seorang penanggung orang itu (guarantee for guarantor)”.
c. Perihal pembayaran ganti rugi penjaminan, telah diatur dalam Pasal 1831 yaitu Penjamin/Penanggung wajib membayar kepada si berpiutang (penerima jaminan) jika si berutang (terjamin) lalai, lalu benda-benda si berutang harus disita dan dijual lebih dahulu untuk melunasi utang-utangnya (hak istimewa seorang penanggung);
d. Perihal timbulnya hak subrogasi penjaminan, telah diatur dalam Pasal 1840 yaitu si Penjamin/Penanggung yg telah membayar, menggantikan demi hukum segala hak si berpiutang terhadap si berutang.
Berdasarkan landasan hukum penjaminan tersebut diatas, maka posisi perusahaan penjaminan dari produk-penjaminan yang dijalankan, akan selalu berhubungan dengan pihak-pihak yang terkait baik terjamin ataupun penerima jaminan, sebagai berikut :
No Jenis Produk Terjamin Penerima Jaminan
1. Penjaminan Kredit Bank Debitur Bank
2. Penjaminan Kredit Non Bank Nasabah/Debitur Pegadaian/LKBB
3. Asuransi Kredit Perdagangan Distributor/Pembeli Pabrikan/Penjual
4. Surety Bond Pelaksana/Kontraktor Pemilik Proyek
5. Customs Bond Eksportir/Importir Pabean
6. Kafalah Makful Anhu/TerjaminMakful Lahu/Penerima Jaminan
Produk-produk tersebut dapat dikategorikan sebagai produk penjaminan karena secara nature memiliki karakteristik penjaminan yang ditandai dengan melibatkan ketiga pihak.
Dalam hal perusahaan menetapkan status bidang usaha sebagai perusahaan penjaminan, maka landasan hukumnya adalah :
a. PerPres No. 2/2008 tentang Lembaga Penjaminan, yang mengatur antara lain kelembagaan, kegiatan usaha, pembatasan, pembinaan dan pengawasan;
b. PMK No. 222/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, yang menjelaskan secara lebih mendetil atas PerPres No. 2/2008 tentang Lembaga Penjaminan.
Aspek Hukum Kontrak Penjaminan
Kontrak penjaminan adalah kontrak dimana si penjamin mengikatkan dirinya terhadap kontrak yang telah dilakukan antara si penerima jaminan dengan si terjamin. Kontrak penjaminan adalah kontrak antara 3 (tiga) pihak sehingga seharusnya berbeda dengan kontrak/polis asuransi yang melibatkan 2 pihak. Kontrak penjaminan harus memuat secara jelas tentang definisi daripada penjamin, penerima jaminan ataupun terjamin. Apabila selama ini konotasi masyarakat mengenai kontrak penjaminan lebih kepada kontrak antara tiga pihak dalam transaksi penjaminan kredit maka perlu digunakan istilah yang sama seperti penjamin, penerima jaminan dan terjamin untuk kontrak yang bukan merupakan kontrak penjaminan kredit. Dengan demikian setiap kontrak yang melibatkan 3 pihak dan bersifat asesoir terhadap perjanjian pokok dapat dinyatakan sebagai kontrak penjaminan bukan kontrak asuransi ataupun kontrak lainnya.
Yang perlu juga mendapatkan perhatian khusus dalam kontrak penjaminan adalah mengenai perlindungan terhadap manfaat-manfaat apa saja yang dapat diterima oleh si terjamin sekaligus kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh si terjamin secara jelas. Walaupun dalam kasus penjaminan kredit bank, klaim dibayarkan melalui penerima jaminannya yaitu bank sendiri namun perlu juga ditegaskan hak-hak dari terjamin apabila yang bersangkutan meninggal dunia atau tidak mampu untuk melunasi kreditnya. Juga perlu ditegaskan mengenai bagaimana cara penanganan kolateral secara transparan agar tidak merugikan satu pihak pun jua.
Dalam kaitannya dengan subrograsi selama ini karena pihak bank adalah yang menyimpan kolateral tambahan, recovery dari kolateral memang dibagikan berdasarkan proporsi yang telah disepakati antara bank dan penjamin. Namun demikian, penjamin merasakan bahwa pihak bank lebih memprioritaskan recovery untuk kepentingan bank padahal seharusnya dibagikan secara proporsional.
Dasar hukum dari penjaminan di Indonesia adalah KUHPerdata Bab XVII tentang penanggungan utang. Pada pasal 1820 dinyatakan bahwa perjanjian tentang penanggungan, dimana pada salah satu pasalnya dinyatakan bahwa orang boleh melakukan penjaminan terhadap pihak lain.
Di dalam kontrak penjaminan juga harus secara jelas dicantumkan cara penyelesaian hukum yang akan diambil apabila ternyata salah satu pihak wanprestasi. Tentunya harus ada dasar-dasar yang jelas tentang latar belakang pembuatan pasal-pasal supaya tidak terkesan bahwa kontrak tersebut dibuat secara asal jadi saja.
Ruang Lingkup Usaha Penjaminan
Di dalam Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan dinyatakan bahwa penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Selanjutnya di dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 tahun 2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit dinyatakan bahwa perusahaan penjaminan kredit adalah perusahaan penjaminan yang kegiatan usaha pokoknya melakukan penjaminan kredit. Namun demikian pada pasal 3-nya diterangkan bahwa untuk mendukung kegiatan usaha penjaminan maka perusahaan penjaminan kredit dapat melakukan kegiatan usaha lain seperti penjaminan kredit tunai di luar lembaga keuangan seperti penjaminan kredit yang disalurkan oleh Koperasi kepada anggotanya; penjaminan kredit/ pinjaman Program Kemitraan yang disalurkan badan usaha milik negara dalam rangka Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL); Penjaminan kredit non tunai di luar lembaga keuangan; Penjaminan atas surat utang yang diterbitkan oleh UMKM; Jasa konsultasi manajemen; Penyediaan informasi/data base terjamin; dan Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan.
Demikian juga halnya dengan perusahaan penjaminan ulang kredit pun diberikan kesempatan untuk melakukan usaha lain selain penjaminan ulang kredit yaitu melakukan penjaminan ulang terhadap usaha-usaha tersebut di atas.
Sebagaimana kita telah ulas sebelumnya bahwa usaha penjaminan kredit adalah usaha penjaminan yang mempunyai potensi kerugian yang cukup besar. Bahkan penjaminan kredit yang ditujukan untuk modal kerja berdasarkan statistik dan pengalaman perusahan penjaminan yang melakukannya selama ini lebih cenderung rugi. Namun usaha penjaminan kredit masih mendapatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari penjaminan kredit untuk tujuan konsumsi atau lebih dikenal dengan kredit multiguna. Usaha Penjaminan juga berpotensi untuk berkembang dengan kondisi yang lebih profitable apabila juga melakukan usaha penjaminan lain seperti penjaminan pelaksanaan proyek, penjaminan pengadaan, penjaminan ekspor, penjaminan kontra bank garansi dan bahkan penjaminan perdagangan.
Selain penjaminan yang murni bersifat komersial yang diselenggarakan oleh perusahaan penjaminan komersiil, kita mengenal juga penjaminan yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan menunjuk perusahaan penjaminan komersiil untuk menyelenggarakannya karena pada saat ini pemerintah tidak memiliki perusahaan penjaminan yang khusus menyelenggarakan usaha penjaminan yang diwajibkan pemerintah. Saat ini program penjaminan Kredit Usaha Rakyat adalah program penjaminan yang cukup dikenal luas di kalangan perbankan dan pengusaha UMKM. Berdasarkan Peraturan Menteri Keungan Nomor 135 Tahun 2008 telah ditetapkan Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR). KUR sendiri adalah kredit/ pembiayaan kepada UMKM-K dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif.
Program KUR adalah ditujukan untuk meningkatkan akses pembiayaan UMKM-K pada sumber pembiayaan yang didukung fasilitas penjaminan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah berkewajiban untuk melakukan pembayaran Imbal Jasa Penjaminan yang dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun.
Namun pada dasarnya istilah penjaminan sebenarnya tidak perlu identik dengan penjaminan kredit. Penjaminan sebagai suatu industri dapat melakukan penjaminan selama terpenuhi karakteristik yang dipersyaratkan untuk kontrak penjaminan. Sampai saat ini kita mungkin sudah terbiasa mendengar istilah Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), penjaminan ekspor seperti yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), dan terakhir yang akan lahir juga adalah Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII). Ada minimal dua karakteristik yang harus dipenuhi dalam penjaminan di atas. Yang pertama adanya tiga pihak yaitu penjamin, penerima jaminan, dan terjamin. Disamping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kontrak penjaminan sifatnya asesoir terhadap kontrak pokok antara si penerima jaminan dan si terjamin.
Lembaga Penjaminan Simpanan adalah penjaminan yang ditujukan untuk menjamin kewajiban bank terhadap debitur yang telah diatur dengan Undang-undang No 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam skim ini kita lihat bahwa si penerima jaminan adalah para deposan dan penabung yang menyimpan dananya di bank. Si terjamin adalah pihak bank yang menerima penempatan dana dari nasabahnya. Sedangkan penjamin dalam hal ini adalah Lembaga Penjamin Simpanan. Karena telah diatur dengan Undang-undang tersendiri maka skim penjaminan simpanan sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tersebut adalah diluar cakupan kajian ini. Namun memang disadari bahwa skim penjaminan simpanan tersebut masih dapat dikembangkan bagi Skim di luar yang diatur di dalam peraturan perudang-undangan dimaksud.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) adalah suatu lembaga yang disamping memberikan pembiayaan dan asuransi juga termasuk penjaminan. Penjaminan yang diberikan ada 4 macam yaitu :
1. Penjaminan bagi eksportir Indonesia atas pembayaran yang diterima dari pembeli barang dan/atau jasa di luar negeri;
2. Penjaminan bagi importir barang dan jasa Indonesia di luar negeri atas pembayaran yang telah diberikan atau akan diberikan kepada Eksportir Indonesia untuk pembiayaan kontrak Ekspor atas penjualan barang dan atau jasa atau pemenenuhan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh suatu perusahaan Indonesia;
3. Penjaminan bagi bank yang menjadi mitra penyediaan pembiayaan ekspor yang telah kepada eksportir Indonesia; dan atau
4. Penjaminan dalam rangka tender terkait dengan pelaksanaan proyek yang seluruhnya atau sebagian merupakan kegiatan yang menunjang ekspor.
LPEI juga didirikan dengan Undang-undang tersendiri, oleh karena itu diluar cakupan kajian ini. Walaupun kedua badan tersebut memang didirikan oleh peraturan perundang-undangan tersendiri namun dalam perlindungan konsumen ataupun yang dalam hal ini si penerima jaminan dan si terjamin, maka sebaiknya khusus untuk usaha penjaminan yang dijalankan tetap berkoordinasi dengan regulator yang mengawasi lembaga penjaminan.
Di dalam usaha penjaminan juga dikenal dengan penjaminan obligasi, yaitu bentuk penjaminan yang diberikan oleh perusahaan penjaminan kepada pemegang obligasi yang dibayarkan apabila pihak yang mengeluarkan obligasi gagal untuk memberikan hasil sesuai dengan yang diperjanjikan.
Selain penjaminan-penjaminan sebagaimana disebutkan di atas, usaha penjaminan dapat menjalankan usaha penjaminan lain selama berpegang kepada karakter usaha penjaminan, diantaranya yang juga memungkinkan adalah penjaminan infrastruktur yang bertujuan untuk menjamin para investor dari risiko-risiko yang dapat membahayakan investasinya di Indonesia.
Untuk ke depan dalam rangka menata industri penjaminan yang lebih prudent maka sebaiknya industri penjaminan dibagi ke dalam 2 kategori:
1. Usaha penjaminan komersiil yang bebas dimasuki oleh investor, dan memiliki kebebasan pula untuk memasarkan produk penjaminan. Untuk industri seperti ini biasanya mekanisme pasar akan berlaku, apabila industri dianggap cukup menguntungkan maka investor-investor baru akan tertarik untuk ikut berinvestasi.
2. Usaha penjaminan yang merupakan program pemerintah dengan kemungkinan 3 pilihan :
a. Pemerintah menetapkan program penjaminan wajib dimana imbal jasanya dibayar oleh si terjamin dan penyelenggaraan usahanya dilakukan oleh BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah
b. Pemerintah menetapkan program penjaminan wajib dengan menanggung imbal jasanya dengan sekaligus penyenggaraan usahanya dilakukan oleh BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah
c. Pemerintah menetapkan program penjaminan wajib dengan imbal jasanya ditanggung oleh pemerintah namun penyelenggaraan usahanya dapat dijalankan termasuk oleh perusahaan komersiil
Selain ruang lingkup usaha penjaminan kita juga mengenal ruang lingkup operasional perusahaan penjaminan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222 tahun 2008 tentang perusahaan penjaminan kredit dan perusahaan penjaminan ulang kredit dinyatakan bahwa ruang lingkup operasional perusahaan penjaminan kredit dibagi berdasarkan tingkat nasional dan propinsi.
Apabila ke depan usaha penjaminan akan dibagi atas penjaminan komersiil dan penjaminan pemerintah yang bersifat wajib maka ruang lingkup operasional tersebut perlu ditinjau kembali. Sebagaimana kita maklumi bahwa karena tingkat risiko bisnis yang tinggi maka perusahaan penjaminan harus didukung oleh tingkat permodalan yang sangat memadai. Tingkat permodalan dapat dikatakan memadai sekurang-kurangnya jika dapat diperkirakan akan mampu untuk memenuhi semua kewajiban-kewajiban yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentunya karena memerlukan tingkat permodalan yang sangat besar maka penyelenggaraan usahanya harus mampu menghasilkan margin profit yang memadai pula untuk investornya. Untuk perusahaan yang didukung oleh permodalan yang besar dapat diberikan ruang lingkup operasional bertaraf nasional sehingga dapat menggarap pangsa pasar yang besar sesuai dengan permodalannya. Disamping itu perusahaan bermodal besar biasanya didukung oleh perangkat operasional dan SDM yang sangat baik.
Sedangkan untuk tingkat lokal sebaiknya dapat dilakukan oleh perusahaan daerah setempat apakah tingkat provinsi, ataupun kabupaten atau kotamadya. Biasanya daerah mempunyai kemampuan permodalan yang terbatas, namun tetap memerlukan kehadiran perusahaan penjaminan. Untuk hal ini mungkin perlu dilakukan agar pemda dapat mendirikan perusahan penjaminan daerah selama hal tersebut memang diperlukan dan mendapatkan izin dari regulatornya. Sebaiknya pendirian perusahaan penjaminan di daerah tetap mendahulukan azas pertumbuhan ekonomi yakni untuk membantu UMKM-K mendapatkan akses yang lebih baik kepada kredit perbankan. Untuk itu perusahaan penjaminan yang didirikan oleh Pemda difokuskan saja kepada penyelenggara program-program wajib yang didukung oleh pemerintah dimana biasanya imbal jasa penjaminan sudah disubsidi oleh pemerintah. Namun risiko perusahaan penjaminan di daerah mengalami krisis permodalan masih tetap ada, sehingga perlu dibuatkan peraturan daerah yang menyatakan bahwa perusahaan penjaminan di daerah mempunyai akses langsung ke APBD dalam hal terjadi kesulitan-kesulitan dalam pembayaran klaim. Pengecualian tentunya perlu dipertimbangkan bagi daerah yang memiliki modal yang sangat mencukup untuk menjalankan usaha penjaminan komersiil. Untuk perusahaan penjaminan daerah yang mampu juga menjalankan penjaminan komersiil maka dapat diberikan ruang lingkup nasional.
Perusahaan penjaminan komersiil perlu dipersyaratkan mempunyai tingkat permodalan yang lebih besar karena dihadapkan dengan risiko yang sangat besar. Sebagai kompensasinya mereka diberikan keleluasaan beroperasi di tingkat nasional.
Badan Hukum
Perusahaan penjaminan adalah badan usaha yang didirikan dengan tujuan mencari keuntungan dengan demikian bentuk badan hukum daripada perusahaan penjaminan pun harus mencerminkan hal-hal tersebut. Bentuk badan hukum yang sesuai untuk perusahaan penjaminan bisa berbentuk Perseroan Terbatas apabila saham-sahamnya dimiliki oleh swasta, ataupun dapat berbentuk Pesero apabila pemegang saham mayoritasnya adalah pemerintah RI atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Disamping itu koperasi dan pemerintah daerah diperbolehkan untuk mendirikan perusahaan penjaminan dengan badan hukum koperasi maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Pencadangan Klaim
Perusahaan penjaminan sebagaimana perusahaan jasa keuangan lainnya mempunyai kewajiban kepada penerima jaminan yaitu dalam bentuk pemberian ganti rugi apabila si terjamin gagal untuk memenuhi kewajibannya terhadap si penerima jaminan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Tidak jarang terjadi bahwa pembayaran ganti rugi kepada penerima jaminan jauh melebihi pendapatan imbal jasa yang diterima sehingga perusahaan setiap saat dalam kondisi yang penuh dengan risiko.
Dihadapkan dengan situasi tersebut maka kemampuan perusahaan penjaminan untuk dapat memperkirakan seberapa besar klaim yang akan ditanggung selama satu tahun sangat membantu kesinambungan dari perusahaan. Angka perkiraan itu sendiri bukanlah didapatkan dari rekaan yang tanpa dasar namun didasarkan dari pengalaman yang telah teruji dalam kurun waktu tertentu. Dengan berdasarkan formula tertentu perusahaan penjaminan dapat membentuk cadangan yang bermanfaat dalam memberikan tingkat keakuratan daripada klaim yang harus dipenuhi di masa yang akan datang.
Dengan adanya ketentuan pencadangan, maka imbal jasa penjaminan yang diterima dapat dialokasikan secara lebih efektif. Sebagian dari imbal jasa yang diterima akan langsung dimasukkan ke cadangan setelah dikurangi dengan biaya operasional dan beban pemasaran. Tentunya dana yang disiapkan untuk cadangan tetap dapat digunakan untuk kegiatan investasi. Namun karena cadangan tersebut akan digunakan untuk kewajiban jangka pendek yang mempersyaratkan likuiditas yang tinggi, perusahaan harus dapat menginvestasikan dana tersebut pada sarana-sarana investasi yang sangat likuid.
Pencadangan dapat saja dimasukkan ke dalam peraturan Undang-undang penjaminan seperti yang dilakukan oleh industri lain seperti asuransi,dana pensiun, jasa pembiayaan dan lain sebagainnya. Namun kewenangan untuk memberikan keringanan tersebut memang terletak kepada faktor regulator perpajakannya dan untuk memberikan keringangan perpajakan terhadap cadangan penjaminan baru dapat dilakukan apabila peraturan tersebut sudah diadopsi ke dalam peraturan perpajakan.
Tingkat Kesehatan Perusahaan Penjaminan dan Permodalan
Perusahaan penjaminan adalah perusahaan yang sangat rentan dengan risiko. Pengalaman di negara-negara lain membuktikan bahwa akibat adanya kewajiban pembayaran klaim yang besar, perusahaan penjaminan sering mengalami masalah kesehatan keuangan. Untuk itu dalam rangka memberikan tingkat keamanan yang lebih baik terhadap tingkat Masalah kesehatan keuangan dapat timbul karena disebabkan masalah solvabilitas dan likuiditas. Apabila perusahaan tidak sehat secara solvabilitas dan likuiditas maka tentu saja akan dapat menguras permodalannya yang nantinya akan bermuara kepada terganggunya operasional perusahaan penjaminan tersebut.
Tingkat Solvabilitas adalah ukuran utama kesehatan keuangan yang mencerminkan kemampuan aset perusahaan penjaminan dalam memenuhi kewajiban yang timbul terhadap perusahaan. Sedangkan tingkat likuiditas sangat penting dalam menginformasikan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban berjangka pendek. Walaupun kedua indikator tersebut seolah-seolah sama namun pada kenyataannya berbeda. Perusahaan penjaminan yang memiliki likuiditas yang memadai belum tentu memiliki tingkat solvabilitas yang diinginkan. Sebaliknya perusahaan penjaminan yang solven belum tentu memiliki likuiditas yang kuat. Yang terbaik adalah perusahaan penjaminan memiliki tingkat solvabilitas dan likuiditas yang sehat. Untuk itu perlu dibuatkan standar-standar setiap waktu regulator dapat mengevaluasi sekaligus mendeteksi tingkat solvablitas dan tingkat likuiditas perusahaan penjaminan.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana caranya kita menetapkan tingkat kesehatan perusahaan penjaminan?. Dalam rangka penerapan konsep manajemen risiko yang baik maka untuk menetapkan tingkat kesehatan perusahaan penjaminan juga harus menggunakan pendekatan berbasis risiko. Tingkat kesehatan perusahaan penjaminan diukur berdasarkan risiko yang ditanggung perusahaan (outstanding liabilities). Sebagaimana kita ketahui ada beberapa risiko yang ditanggung oleh perusahaan seperti risiko underwriting yaitu risiko dimana klaim yang diperkirakan berbeda jauh dengan klaim yang terjadi mengingat sifat penjaminan finansial juga rentan terhadap gejolak ekonomi makro, risiko investasi dimana hasil investasi yang diperkirakan berbeda dengan hasil investasi yang diperoleh, risiko penjaminan ulang yaitu risiko yang ditanggung apabila perusahaan penjaminan ulang tidak mampu untuk memberikan dukungan ganti rugi dalam hal terjadinya klaim dan lain sebagainya.
Permodalan yang kuat adalah syarat utama untuk membentuk suatu perusahaan penjaminan yang sehat. Indikasi dari permodalan yang kuat biasanya terlihat dari kemampuan permodalan dalam menanggung risiko yang akan timbul dari seluruh penjaminan yang dilakukan. Namun tentunya kemampuan permodalan juga dibatasi oleh karakter produk yang dipasarkan. Produk penjaminan kredit terutama yang untuk tujuan usaha produktif akan lebih beresiko dengan demikian akan membutuhkan dukungan permodalan yang lebih kuat dibandingkan dengan penjaminan kredit untuk tujuan konsumtif.
Tentunya untuk mengetahui kondisi kesehatan perusahaan penjaminan maka risiko-risiko tersebut harus dapat dikuantifikasi melalui cara pembobotan sehingga akan lebih mudah diketahui kondisi kesehatan perusahaan.
Menghitung risiko untuk perusahaan penjaminan juga ditentukan oleh apakah perusahaan penjaminan mendapat dukungan dari pemerintah. Untuk program penjaminan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah yang sifatnya wajib dan mendapatkan dukungan pendanaan penuh dari pemerintah, maka tingkat risikonya tidak sebesar apabila perusahaan penjaminan yang menjalankan program komersiil yang mengandalkan keahlian underwriting ataupun kemampuan menyeleksi risiko dari stafnya.Dalam hal ini konsep penyebaran risiko (reguarantee) atas porfolio penjaminan yang dilaksanakan perlu mendapatkan perhatian, namun dalam realitanya khusus untuk penjaminan kredit belum ada penjaminan ulang (kecuali di Jepang yaitu JASMEC).
Investasi
Tingkat kesehatan dan permodalan perusahaan penjaminan dan penjaminan ulang sangat berkaitan erat dengan kebijakan investasi. Kebijakan investasi yang tepat dapat membantu kerugian underwriting perusahaan penjaminan sehingga perusahaan tetap dapat memenuhi kewajiban terhadap penerima jaminan dan terjamin, memenuhi biaya operasionalnya dan bahkan memperoleh laba di akhir tahun.Kebijakan investasi harus disusun dengan memperhatikan karakter usaha penjaminan itu sendiri.
Pelaporan Produk Penjaminan
Perkembangan industri penjaminan tidak terlepas daripada kemampuan perusahaan untuk menghasilkan imbal jasa dari produk-produk yang dipasarkan. Semakin banyak permintaan terhadap produk-produk penjaminan maka akan semakin bervariasi pula risiko yang akan ditanggung oleh perusahaan penjaminan. Beragamnya risiko dari produk-produk tersebut disamping bagus dari sisi manajemen risiko karena dapat menyeimbangkan risiko yang ditanggung perusahaan penjaminan secara keseluruhan dapat pula berdampak negatif apabila ternyata dari semua produk yang dipasarkan ternyata memberikan beban yang berat terhadap kesehatan perusahaan. Peran pembina dan pengawas diperlukan agar perusahaan dapat memasarkan produk yang memang layak untuk dipasarkan dan sudah melalui suatu mekanisme penilaian yang baik. Untuk itu setiap produk yang akan dipasarkan oleh perusahaan penjaminan ataupun oleh perusahaan penjaminan ulang kredit harus terlebih dahulu dilaporkan kepada pembina dan pengawas.
Penjaminan Ulang
Dalam kaitan halnya dengan penjaminan ulang, sebagaimana kita maklumi, penjaminan ulang diperlukan karena ada beberapa manfaat yang mungkin didapat yaitu :
a. perusahaan penjaminan biasanya mempunyai pengalaman kerugian sendiri-sendiri. Tanpa kehadiran perusahaan penjaminan ulang maka pilihan perusahaan adalah menanggung semua risiko atau klaim yang harus dibayar atau dengan membaginya dengan perusahaan penjaminan yang lain dengan mekanisme co-guarantee. Namun kekuatan permodalan perusahaan penjaminan tentunya terbatas. Apabila jumlah kewajiban atau klaim yang harus dibayarkan sudah mencapai batas tertentu yang melebihi permodalan yang dimiliki maka tentunya perusahaan akan berpotensi mengalami hambatan untuk meningkatkan penerimaan bisnis penjaminan lainnya karena pertimbangan harus melakukan pencadangan dalam rangka pembayaran klaim yang akan muncul belakangan. Biasanya keberanian suatu perusahaan penjaminan untuk meningkatkan pertumbuhan penjaminannya akan tergantung daripada pengalaman kerugian atau klaim yang dibayarkan tahun-tahun sebelumnya. Apabila klaim yang dibayarkan pada tahun sebelumnya cukup besar maka peningkatan penjaminan akan berpotensi menimbulkan permasalahan. Dengan adanya mekanisme penjaminan ulang hal tersebut dapat distabilisasi sehingga manajemen perusahaan penjaminan lebih tenang dalam menjalankan bisnisnya. Tentu saja dalam melakukan ”sharing risks” perusahaan penjaminan ulang juga akan melakukan mekanisme underwriting yang normal dilakukan oleh perusahaan penjaminan dalam menerima akseptasi penjaminan.
b. Perlindungan dari kondisi catastrophe. Kondisi dimana klaim jatuh secara bersamaan karena adanya krisis perekonomian atau penyebab lainnya adalah kondisi bencana dimana perusahaan penjaminan harus menanggung beban klaim yang wajib diselesaikan secara bersamaan. Hal ini tentu saja sangat berpotensi mengakibatkan memburuknya bahkan bankrutnya perusahaan penjaminan. Memang dengan teknis underwriting yang baik hal tersebut sebenarnya bisa dihindari. Namun risiko tersebut tetap mengancam manakala perusahaan tidak mempunyai diversifikasi portofolio bisnis yang baik. Dengan adanya perusahaan penjaminan ulang tentu hal tersebut dapat dihindari dengan cara membagi risiko yang ada dengan melalui penilaian risiko yang paling baik bagi perusahaan penjaminan.
c. Bantuan underwriting. Perusahaan penjaminan ulang tentunya mempunyai pengalaman yang lebih baik daripada perusahaan penjaminan karena ia berhubungan dengan banyak perusahaan penjaminan dengan berbagai macam produk yang masing-masingnya mempunyai tingkat risiko yang berbeda-beda. Perusahaan penjaminan dapat memanfaatkan keahlian perusahaan penjaminan dalam menerapkan metode underwriting untuk produk yang berbeda-beda dalam rangka melaksanakan underwriting yang lebih baik dan menguntungkan bagi perusahaan penjaminan.
Pada saat ini konsep yang berkembang di Indonesia adalah konsep co-guarantee yang dilakukan oleh dua buah perusahaan penjaminan. Walaupun konsepnya mirip dengan re-guarantee namun keefektifannya untuk menampung risiko masih dibawah mekanisme re-guarantee. Dengan adanya perusahaan penjaminan ulang akan memudahkan pula pengalihan risiko ke luar negeri melalui mekanisme re penjaminan ulang ke luar negeri yang tentu saja dapat diperluas terus selama memang bisnis penjaminan tersebut berpotensi mendatangkan keuntungan bagi investor.
SubrogasiBerdasarkan Pasal 1400 KUH Perdata dinyatakan bahwa
Subrogasi atau perpindahan hak kreditur kepada seorang pihak ketiga yang membayar kepada kreditur, dapat terjadi karena persetujuan atau karena undang-undang. Sedangkan pada Pasal 1401 Perpindahan itu terjadi karena persetujuan:
1. Bila kreditur, dengan menenima pembayanan dan pihak ketiga, menetapkan bahwa orang ini akan menggantikannya dalam menggunakan hak-haknya, gugatan-gugatannya, hak-hak istimewa dan hipotek-hipoteknya terhadap debitur; Subrogasi harus dinyatakan dengan tegas dan dilakukan bersamaan dengan waktu pembayaran.
2. Bila debitur menjamin sejumlah uang untuk melunasi utangnya, dan menetapkan bahwa orang yang meminjamkan uang itu akan mengambil alih hak-hak kreditur, agar subrogasi ini sah, baik perjanjian pinjam uang maupun tanda pelunasan, harus dibuat dengan akta otentik, dan dalam surat perjanjian pinjam uang harus diterangkan bahwa uang itu dipinjam guna melunasi utang tersebut; sedangkan dalam surat tanda pelunasan hams diterangkan bahwa pembayaran dilakukan dengan uang yang dipinjamkan oleh kreditur baru. Subrogasi ini dilaksanakan tanpa bantuan kreditur.
Pasal 1402, Subrogasi terjadi karena undang-undang:
1. Untuk seorang kreditur yang melunasi utang seorang debitur kepada seorang kreditur lain, yang berdasarkan hak istimewa atau hipoteknya mempunyai suatu hak yang lebih tinggi danpada kreditur tersebut pertama;
2. Untuk seorang pembeli suatu barang tak bergerak, yang memakai uang harga barang tersebut untuk melunasi para kreditur, kepada siapa barang itu diperikatkan dalam hipotek;
3. Untuk seorang yang tenikat untuk melunasi suatu utang bersama-sama dengan orang lain, atau untuk orang lain dan berkepentingan untuk membayar utang itu;
4. Untuk seorang ahli waris yang telah membayar utang-utang warisan dengan uangnya sendiri, sedang ia menerima warisan itu dengan hak istimewa untuk mengadakan pencatatan tentang keadaan harta peninggalan itu.
Pasal 1403, Subrogasi yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang lalu terjadi, baik terhadap orang-orang penanggung utang maupun terhadap para debitur, subrogasi tersebut tidak dapat mengurangi hak-hak kreditur jika ia hanya menerima pembayaran sebagian; dalam hal in ia dapat melaksanakan hak-haknya mengenai apa yang masih harus dibayar kepadanya, lebih dahulu daripada orang yang memberinya suatu pembayaran sebagian
Gearing Ratio
Gearing Ratio merupakan suatu ukuran kapasitas portofolio penjaminan yang dilakukan perusahaan penjaminan dalam satu periode tertentu.
Gearing Ratio diukur berdasarkan ratio antara outstanding penjaminan terhadap modal sendiri (ekuitas), mengingat besarnya Gearing Ratio merupakan gambaran antara besarnya kewajiban perusahaan penjaminan dengan modal sendiri yang dimiliki. Gearing Ratio juga merupakan suatu ukuran kesehatan bagi perusahaan penjaminan, disamping ratio likuiditas dan solvabilitas. Besarnya Gearing Ratio sangat ditentukan oleh tingkat rata-rata Non Performing Guarantee (NPG) yang dihadapi perusahaan penjaminan. Sedangkan NPG sendiri ditentukan oleh besarnya rata-rata coverage ratio atas Non Performing Loan (NPL) yang dijamin.
Dalam perhitungan Gearing Ratio perlu ada perbedaan kapasitas per terjamin (badan usaha atau individual) atas dasar tingkat risiko penjaminan antara yang berbasis agunan dengan yang berbasis tanpa agunan. Kapasitas penjaminan per terjamin untuk yang berbasis agunan lazimnya lebih besar dari yang berbasis tanpa agunan.
Untuk menjaga performance industri penjaminan yang baik, tentunya masalah Gearing Ratio harus diatur lebih lanjut di dalam peraturan atau Undang-Undang Penjaminan.
*) Disadur dari berbagai sumber.
Penjaminan Kredit Untuk Kemakmuran Rakyat. Risiko usaha Penjaminan lbh besar dibandingkan dengan perbankan krn melibatkn tiga pihak sehingga diperlukan Budaya Risiko yang kuat dalam proses bisnis & pengelolaan risiko korporat yang menjadi sahabat seluruh unit kerja (risk taking unit). Usaha penjaminan dapat sustain dengan cara mendiversifikasi usaha penjaminan yang menguntungkan. Sertifikasi Manajemen Risiko harus mutlak menjadi persyaratan promosi jabatan dalam jenjang karir pegawai.
Kamis, Januari 21, 2010
ACSIC KOMITMEN GLOBAL MENGEMBANGKAN UKM
Keberadaan ACSIC, yang didirikan tahun 1987 merupakan komitmen global di lingkungan negara-negara Asia yang bertujuan menngembangkan UKM, bagi pemerintah Indonesia sangat dibutuhkan dalam mengimplementasikan salah satu isi pokok Inpres no. 6 tahun 2007 yaitu mengembangkan UKM melalui mekanisme penjaminan kredit UKM. Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) yang tergabung dalam ACSIC seperti dari negara Jepang, Taiwan, Korea, dan Malaysia telah berhasil memperkuat UKM sehingga memberikan kontribusi ekonomi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi dan menyerap lapangan pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh LPK milik pemerintah seperti (PT Askrindo dan Perum Sarana) yang telah berhasil mengembangkan UKM sejak tahun 1971. Pemerintah diharapkan memanfaatkan ACSIC secara optimal untuk memperoleh masukan dan dukungan agar program pengembangan UKM berhasil.
Peranan ACSIC
Kekuatan ekonomi global selama ini selain digerakkan oleh kekuatan ekonomi kuat yang terdiri dari perusahaan besar baik perusahaan multinasional dan peusahaan nasional juga digerakkan oleh kekuatan ekonomi kecil yang notebene terdiri dari Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) atau dikenal sebagai Small Medium Enterprises (SMEs). Peranan UKM di setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam menggerakan roda ekonomi sesuai dengan sumbe daya yang dimiliki dan terbukti secara signifikan menyumbangkan kontribusi yang relatif besar bagi perekonomian dan menyerap lapangan pekerjaan. Namun UKM di setiap negara memiliki permasalahan yang sama dalam mengembangkan usaha yaitu sulit memperoleh dana perbankan untuk menambah modal kerja dan investasi.
Persamaan masalah yang dihadapi oleh UKM untuk memperoleh akses keuangan dari perbankan mendorong pemerintah untuk membantu menjamin kredit UKM yang diperoleh dai perbankan. Kondisi ini mendorong terbentuknya Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) (Credit Guarantee Corporation) yang memiliki fungsi untuk menjamin kredit yang diterima UKM dari perbankan. Penjaminan kredit ini diperlukan bagi UKM yang tidak memenuhi persyaratan bank untuk meminjam kredit (unbankable) namun memiliki prospek bisnis yang baik (eligible). Tujuan akhir dari penjaminan kredit ini adalah agar UKM tersebut berkembang baik secara modal dan kapasitas produksi serta manajemennya sehingga menjadi UKM yag bankable dan eligible. Setelah menjadi UKM bankable dan eligible maka penjaminan kredit tidak diperlukan lagi.
LPK milik pemerintah berbentuk BUMN biasanya menerima suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) utuk menambah kapasitas penjaminan kredit sehingga LPK dapat menjamin kredit lebih besar jumlah dan cakupan untuk membantu UKM yang belum memperoleh penjaminan kredit ini. Dengan PMN ini nilai plafond kredit dan jumlah UKM yang dijamin kreditnya akan bertambah besar. Kondisi ini akan menyebabkan UKM dapat memperoleh modal kreja atau investasi dari perbankan untuk meningkatkan kapasitas poduksi yang pada akhirnya akan menyerap lapangan pekerjaan baru.
Pola kerja LPK ini hampir sama di negara-negara yang memiliki LPK namun memiliki strategi yang relatif berbeda disesuaikan dengan sumber daya dan business rules dimasing-masing negara. Peranan LPK yang sangat besar dalam memperkuat ekonomi lemah ini di masing-masing negara terutama di negara-negara Asia bekerjasama untuk saling tukar informasi, pengetahuan, dan strategi bisnis agar usaha LPK lebih optimal. Kerjasama ini diwujudkan lebih nyata dalam wadah Asian Credit Supplementation Institution Confederation (ACSIC) pada tahun 1987. Anggota ACSIC terdiri dari LPK milik pemerintah yang berasal dari negara Indonesia seperti PT. Askrindo dan Perum Sarana, Jepang (LPK Jasme dan NFCGC), Thailand (LPK SICGC), Taiwan (LPK SMEG), Malaysia (LPK CGCMB), Korea (LPK Kodit dan Kibo), Filipina (LPK GFSME dan SBGFC), dan Nepal (LPK DCGC). Sementara negara observer ACSIC adalah negara Srilangka, India, dan Papua New Gueni (PNG).
Kegiatan ACSIC setiap tahunnya terdiri dari kegiatan konferensi, training dan workshop yang bertujuan untuk saling tukar menukar pengalaman dalam mengelola penjaminan kredit baik dari sisi manajemen pengelolaan penjaminan kredit maupun bisnis penjaminan kredit serta membuka peluang kerjasama bisnis penjaminan kredit. Manfaat yang paling dirasakan oleh anggota ACSIC adalah dapat memberikan masukan, keyakinan dan dorongan kepada pemerintah agar dapat meningkatkan peranannya dalam mengembangkan UKM melalui mekanisme penjaminan kredit.
Deklarasi Bali
Untuk meningkatkan peranan ACSIC bagi pemerintah yang sedang meningkatkan peranan UKM dalam perekonomian, ACSIC akan mengeluarkan Deklarasi Bali pada konferensi ACSIC ke 20 di Bali pada tanggal 5 – 8 November 2007. Isi deklarasi Bali ini telah disetujui oleh anggota ACSIC pada saat konferensi ACSIC di Malaysia pada tahun 2006. Deklarasi Bali ini memperkuat kembali Piagam ACSIC yang dideklarasikan pada tanggal 17 Oktober 1997. Deklarasi Bali yang akan diaklamasikan pada konferensi tahun 2007 ini terdiri dari: Pertama, secara kontinu mengkontribusikan jasa penjaminan kredit dalam mengembangkan UKM di negara anggota ACSIC (continuously contribute credit guarantee services in the development of SMEs in member countries); kedua, setuju bahwa Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) sebagai fasilitas yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mendirikan, mendorong, dan mengembangkan UKM. Oleh karena itu, misi LPK ini seperti lembaga yang bersifat Public Sevice Obligation (PSO) daripada lembaga yang berorientasi untung (profit oriented) (agree that the Credit Guarantee Institution is more likely a facility which can be used by Government for establishing, encouraging and developing the SMEs. Therefore the mission of the Institution is more likely as public service oriented institution rather than profit oriented institution); ketiga, memainkan peranan yang signifikan dalam melengkapi usaha pemerintah untuk memperkuat UKM untuk bersaing secara global (play a significant role in complementing the Government’s efforts to strengthen SMEs to compete globally); dan keempat, membangun kerjasama yang erat dengan saling tukar pengetahuan, kunjungan belajar, dan berpartisipasi dalam seminar dan workshop selain konferensi dan ATP tahunan (build close working relationship with mutual knowledge sharing, arranged the study visit, co-organizing and participating in seminars or workshops besides the annual ATP and conference).
Keberadaan ACSIC ini sangat relevan dengan usaha pemerintah dalam mengembangkan UKM seperti tertuang dalam Inpres nomor 6 tahun 2007. Pemerintah dalam mengimplementasikan Inpres ini akan menyuntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp. 1,45 triliun kepada LPK milik pemerintah yaitu PT. Asuranasi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Tujuan PMN ini adalah untuk menambah kapasitas penjaminan kredit LPK agar dapat menjamin kredit dengan jumlah plafond kredit yang lebih besar dan dengan jumlah UKM (debitur) yang lebih banyak.. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat mempermudah UKM dalam memperoleh akses perbankan untuk memperoleh modal kerja atau investasi.
Perlu Dukungan Pemerintah
Peranan LPK dalam mengembangkan UKM memerlukan campur tangan pemerintah karena dalam membantu UKM memperoleh akses perbankan memerlukan kebijakan yang berkaitan dengan perbankan dan keuangan. LPK tidak dapat berjalan sendiri dalam menjalankan misinya membantu UKM, namun harus ada kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan UKM itu sendiri. Hal ini disebabkan karena untuk menjamin kredit UKM diperlukan kapasitas dana penjaminan kredit yang tidak kecil dan memerlukan kerjasama dengan bank plat merah. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan modal penjaminan ke LPK dan membuat regulasi agar perbankan mau memberikan kredit ke UKM. Memang berdasarkan pengalaman menjalankan penjaminan kredit UKM, LPK cenderung mengalami kerugian karena Non Performance Guarantee (NPG) pada penjaminan kredit UKM ini relatif besar sehingga tidak dapat ditanggung oleh LPK. Misal NPG adalah 4 % saja atau dalam arti terjadi kredit macet sebanyak 4 % atau kredit macet yang terjadi senilai Rp. 1,2 triliun dari plafond kredit ( misal nilai plafond kredit yang disalurkan perbankan sebesar Rp. 30 triliun) dan missal LPK menanggung kerugian dari kredit macet sebesar 70% maka klaim yang harus dibayar adalah Rp. 840 milyar (Rp. 70 % X Rp. 1,2 triliun). Jumlah klaim ini sangat besar dan kemungkinan untuk dibayar oleh LPK yang hanya memiliki ekuitas sebanyak Rp. 800 milyar ke bawah adalah relative kecil.
Untuk itu, pemerintah di lingkungan ACSIC memberikan dukungan dengan menyuntikkan modal antara lain berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) agar LPK dapat bertahan (Sustainable) dan menjalankan penjaminan kredit lebih efektif serta tidak mengalami kebangkrutan.
Kontribusi pemerintah dalam penjaminan kredit UKM ini tidak akan sia-sia karena sejak tahun 1971 penjaminan kredit UKM telah berhasil meningkatkan kontribusi ekonomi UKM pada perekonomian nasional. Hal ini juga telah dibuktikan oleh LPK dari negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC. Seperti halnya PT. Askrindo yang telah berhasil menjamin kredit lebih dari 6,5 juta UKM (debitur) dengan jumlah kredit yang dijamin sebesar Rp. 71,5 triliun lebih sejak tahun 1971. Keberhasilan penjaminan kredit UKM ini berhasil menggerakan sektor riil agar dapat memperkuat struktur ekonomi nasional serta dapat menyerap lapangan pekerjaan. Untuk itu keberadaan ACSIC sangat relevan dengan paket ekonomi pemerintah yang tertuang dalam Inpres nomor 6 tahun 2007 dan pemerintah harus optimal menggunakan ACSIC ini untuk memperoleh pengetahuan tentang strategi penjaminan kredit yang efektif dan efisien dalam mengembangkan UKM.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
Peranan ACSIC
Kekuatan ekonomi global selama ini selain digerakkan oleh kekuatan ekonomi kuat yang terdiri dari perusahaan besar baik perusahaan multinasional dan peusahaan nasional juga digerakkan oleh kekuatan ekonomi kecil yang notebene terdiri dari Usaha Kecil, dan Menengah (UKM) atau dikenal sebagai Small Medium Enterprises (SMEs). Peranan UKM di setiap negara memiliki karakteristik tersendiri dalam menggerakan roda ekonomi sesuai dengan sumbe daya yang dimiliki dan terbukti secara signifikan menyumbangkan kontribusi yang relatif besar bagi perekonomian dan menyerap lapangan pekerjaan. Namun UKM di setiap negara memiliki permasalahan yang sama dalam mengembangkan usaha yaitu sulit memperoleh dana perbankan untuk menambah modal kerja dan investasi.
Persamaan masalah yang dihadapi oleh UKM untuk memperoleh akses keuangan dari perbankan mendorong pemerintah untuk membantu menjamin kredit UKM yang diperoleh dai perbankan. Kondisi ini mendorong terbentuknya Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) (Credit Guarantee Corporation) yang memiliki fungsi untuk menjamin kredit yang diterima UKM dari perbankan. Penjaminan kredit ini diperlukan bagi UKM yang tidak memenuhi persyaratan bank untuk meminjam kredit (unbankable) namun memiliki prospek bisnis yang baik (eligible). Tujuan akhir dari penjaminan kredit ini adalah agar UKM tersebut berkembang baik secara modal dan kapasitas produksi serta manajemennya sehingga menjadi UKM yag bankable dan eligible. Setelah menjadi UKM bankable dan eligible maka penjaminan kredit tidak diperlukan lagi.
LPK milik pemerintah berbentuk BUMN biasanya menerima suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) utuk menambah kapasitas penjaminan kredit sehingga LPK dapat menjamin kredit lebih besar jumlah dan cakupan untuk membantu UKM yang belum memperoleh penjaminan kredit ini. Dengan PMN ini nilai plafond kredit dan jumlah UKM yang dijamin kreditnya akan bertambah besar. Kondisi ini akan menyebabkan UKM dapat memperoleh modal kreja atau investasi dari perbankan untuk meningkatkan kapasitas poduksi yang pada akhirnya akan menyerap lapangan pekerjaan baru.
Pola kerja LPK ini hampir sama di negara-negara yang memiliki LPK namun memiliki strategi yang relatif berbeda disesuaikan dengan sumber daya dan business rules dimasing-masing negara. Peranan LPK yang sangat besar dalam memperkuat ekonomi lemah ini di masing-masing negara terutama di negara-negara Asia bekerjasama untuk saling tukar informasi, pengetahuan, dan strategi bisnis agar usaha LPK lebih optimal. Kerjasama ini diwujudkan lebih nyata dalam wadah Asian Credit Supplementation Institution Confederation (ACSIC) pada tahun 1987. Anggota ACSIC terdiri dari LPK milik pemerintah yang berasal dari negara Indonesia seperti PT. Askrindo dan Perum Sarana, Jepang (LPK Jasme dan NFCGC), Thailand (LPK SICGC), Taiwan (LPK SMEG), Malaysia (LPK CGCMB), Korea (LPK Kodit dan Kibo), Filipina (LPK GFSME dan SBGFC), dan Nepal (LPK DCGC). Sementara negara observer ACSIC adalah negara Srilangka, India, dan Papua New Gueni (PNG).
Kegiatan ACSIC setiap tahunnya terdiri dari kegiatan konferensi, training dan workshop yang bertujuan untuk saling tukar menukar pengalaman dalam mengelola penjaminan kredit baik dari sisi manajemen pengelolaan penjaminan kredit maupun bisnis penjaminan kredit serta membuka peluang kerjasama bisnis penjaminan kredit. Manfaat yang paling dirasakan oleh anggota ACSIC adalah dapat memberikan masukan, keyakinan dan dorongan kepada pemerintah agar dapat meningkatkan peranannya dalam mengembangkan UKM melalui mekanisme penjaminan kredit.
Deklarasi Bali
Untuk meningkatkan peranan ACSIC bagi pemerintah yang sedang meningkatkan peranan UKM dalam perekonomian, ACSIC akan mengeluarkan Deklarasi Bali pada konferensi ACSIC ke 20 di Bali pada tanggal 5 – 8 November 2007. Isi deklarasi Bali ini telah disetujui oleh anggota ACSIC pada saat konferensi ACSIC di Malaysia pada tahun 2006. Deklarasi Bali ini memperkuat kembali Piagam ACSIC yang dideklarasikan pada tanggal 17 Oktober 1997. Deklarasi Bali yang akan diaklamasikan pada konferensi tahun 2007 ini terdiri dari: Pertama, secara kontinu mengkontribusikan jasa penjaminan kredit dalam mengembangkan UKM di negara anggota ACSIC (continuously contribute credit guarantee services in the development of SMEs in member countries); kedua, setuju bahwa Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) sebagai fasilitas yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk mendirikan, mendorong, dan mengembangkan UKM. Oleh karena itu, misi LPK ini seperti lembaga yang bersifat Public Sevice Obligation (PSO) daripada lembaga yang berorientasi untung (profit oriented) (agree that the Credit Guarantee Institution is more likely a facility which can be used by Government for establishing, encouraging and developing the SMEs. Therefore the mission of the Institution is more likely as public service oriented institution rather than profit oriented institution); ketiga, memainkan peranan yang signifikan dalam melengkapi usaha pemerintah untuk memperkuat UKM untuk bersaing secara global (play a significant role in complementing the Government’s efforts to strengthen SMEs to compete globally); dan keempat, membangun kerjasama yang erat dengan saling tukar pengetahuan, kunjungan belajar, dan berpartisipasi dalam seminar dan workshop selain konferensi dan ATP tahunan (build close working relationship with mutual knowledge sharing, arranged the study visit, co-organizing and participating in seminars or workshops besides the annual ATP and conference).
Keberadaan ACSIC ini sangat relevan dengan usaha pemerintah dalam mengembangkan UKM seperti tertuang dalam Inpres nomor 6 tahun 2007. Pemerintah dalam mengimplementasikan Inpres ini akan menyuntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp. 1,45 triliun kepada LPK milik pemerintah yaitu PT. Asuranasi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Tujuan PMN ini adalah untuk menambah kapasitas penjaminan kredit LPK agar dapat menjamin kredit dengan jumlah plafond kredit yang lebih besar dan dengan jumlah UKM (debitur) yang lebih banyak.. Dengan demikian, program ini diharapkan dapat mempermudah UKM dalam memperoleh akses perbankan untuk memperoleh modal kerja atau investasi.
Perlu Dukungan Pemerintah
Peranan LPK dalam mengembangkan UKM memerlukan campur tangan pemerintah karena dalam membantu UKM memperoleh akses perbankan memerlukan kebijakan yang berkaitan dengan perbankan dan keuangan. LPK tidak dapat berjalan sendiri dalam menjalankan misinya membantu UKM, namun harus ada kolaborasi antara pemerintah, perbankan, dan UKM itu sendiri. Hal ini disebabkan karena untuk menjamin kredit UKM diperlukan kapasitas dana penjaminan kredit yang tidak kecil dan memerlukan kerjasama dengan bank plat merah. Pemerintah dalam hal ini memberikan bantuan modal penjaminan ke LPK dan membuat regulasi agar perbankan mau memberikan kredit ke UKM. Memang berdasarkan pengalaman menjalankan penjaminan kredit UKM, LPK cenderung mengalami kerugian karena Non Performance Guarantee (NPG) pada penjaminan kredit UKM ini relatif besar sehingga tidak dapat ditanggung oleh LPK. Misal NPG adalah 4 % saja atau dalam arti terjadi kredit macet sebanyak 4 % atau kredit macet yang terjadi senilai Rp. 1,2 triliun dari plafond kredit ( misal nilai plafond kredit yang disalurkan perbankan sebesar Rp. 30 triliun) dan missal LPK menanggung kerugian dari kredit macet sebesar 70% maka klaim yang harus dibayar adalah Rp. 840 milyar (Rp. 70 % X Rp. 1,2 triliun). Jumlah klaim ini sangat besar dan kemungkinan untuk dibayar oleh LPK yang hanya memiliki ekuitas sebanyak Rp. 800 milyar ke bawah adalah relative kecil.
Untuk itu, pemerintah di lingkungan ACSIC memberikan dukungan dengan menyuntikkan modal antara lain berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) agar LPK dapat bertahan (Sustainable) dan menjalankan penjaminan kredit lebih efektif serta tidak mengalami kebangkrutan.
Kontribusi pemerintah dalam penjaminan kredit UKM ini tidak akan sia-sia karena sejak tahun 1971 penjaminan kredit UKM telah berhasil meningkatkan kontribusi ekonomi UKM pada perekonomian nasional. Hal ini juga telah dibuktikan oleh LPK dari negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC. Seperti halnya PT. Askrindo yang telah berhasil menjamin kredit lebih dari 6,5 juta UKM (debitur) dengan jumlah kredit yang dijamin sebesar Rp. 71,5 triliun lebih sejak tahun 1971. Keberhasilan penjaminan kredit UKM ini berhasil menggerakan sektor riil agar dapat memperkuat struktur ekonomi nasional serta dapat menyerap lapangan pekerjaan. Untuk itu keberadaan ACSIC sangat relevan dengan paket ekonomi pemerintah yang tertuang dalam Inpres nomor 6 tahun 2007 dan pemerintah harus optimal menggunakan ACSIC ini untuk memperoleh pengetahuan tentang strategi penjaminan kredit yang efektif dan efisien dalam mengembangkan UKM.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
PERANAN PENJAMINAN KREDIT UKM TERHADAP PEREKONOMIAN
Inpres No.6 tahun 2007 membuktikan keseriusan pemerintah dalam menggerakan sektor riil dengan jalan memberikan kemudahan UKM untuk memperoleh akses perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit UKM oleh Lembaga Penjaminan Kredit (LPK). Untuk meningkatkan kapasitas penjaminan kredit ini pemerintah akan menyuntikan dana sebesar Rp.1,45 triliun kepada LPK. Dampak penjaminan kredit UKM terhadap perekonomian sampai tahun 2011 diperkirakan akan menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,3 juta orang, kredit perbankan diserap oleh sekitar 1,8 juta UKM, menciptakan PDB sebesar Rp. 66,71 triliun dan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Potensi ekonomi yang besar ini perlu didukung oleh semua pihak karena menyangkut kesejahteraan rakyat Indonesia.
Peranan UKM
Perekonomian Indonesia selama ini selain didukung oleh kekuatan ekonomi besar, juga didukung oleh kekuatan ekonomi yang berasal dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang hampir tersebar di seluruh daerah Indonesia dan hampir terdapat di seluruh sektor ekonomi. Menurut data dari Departemen Koperasi (tabel 1), tercatat jumlah UKM di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 48, 93 juta UKM dan berhasil menciptakan nilai PDB (berdasarkan harga berlaku) UKM sebesar Rp. 1.778 triliun dengan produktivitas UKM per unitnya pada tahun yang sama sebesar 36 juta/unit. Dari jumlah unit UKM tersebut yang terbesar berasal dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, & perikanan yaitu sebanyak 26,21 juta unit yang menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 412,04 triliun dan yang terkecil berasal sektor listrik, gas, dan air bersih sebanyak 15, 46 ribu unit yang menyumbangk nilai PDB UKM sebesar Rp. 2,46 triliun. Jumlah UKM yang relatif besar ini merupakan kekuatan ekonomi yang tidak bisa diabaikan dan sudah terbukti memiliki daya tahan yang lebih besar dibandingkan kekuatan ekonomi yang berskala corporate pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 lalu.
Peranan UKM dalam perekonomian ini akan ditingkatkan oleh pemerintah dengan jalan memberikan kemudahan dalam memperoleh akses keuangan dan perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit. Karena selama ini pihak perbankan kurang menganggap penting kekuatan ekonomi UMKM ini sehingga sulit untuk memperoleh tambahan modal kerja atau investasi dari perbankan. Menurut data BI, saat ini hanya 19 juta unit UKM atau baru 35 % UKM yang terjangkau oleh perbankan atau yang dikategorikan yang memiliki rekening di bank. Kredit UKM juga telah tumbuh sebesar 18,4 % atau mencapai Rp. 72 triliun dari total penyaluran pada bulan Juni 2006 ( Rp.390 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pangsa kredit UKM masih sangat besar dan mencapai 52,5 % dari total outstanding kredit nasional. Dengan demikian, melalui mekanisme penjaminan kredit yaang diberikan oleh lembaga penjaminan kredit , usaha UMKM dapat memperoleh tambahan modal dari perbankan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan investasi serta dapat menggerakan sektor riil yang pada akhirnya akan memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Untuk menggerakan sektor riil tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dituangkan dalam Inpres No. 6 tahun 2007 untuk memberikan suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) milik pemerintah yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Nilai PMN yang akan disuntikan berdasarkan Inpres No. 6 tahun 2007 sebesar Rp. 1,45 triliun dengan rincian untuk PT. Askrindo sebesar Rp. 850 milyar dan Rp. 600 milyar kepada Perum Sarana.
Tujuan penyuntikan PMN kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) tersebut adalah agar kapasitas penjaminan LPK semakin besar sehingga dapat diperkirakan menutup penjaminan kredit lebih dari Rp. 30 triliun dari perbankan yang akan disalurkan ke UKM. Kondisi ini tentu akan menyebabkan akses UMKM kepada perbankan semakin terbuka. Disamping itu, dengan adanya penjaminan kredit ini perbankan tidak ragu lagi memberikan kredit dan masuk ke sektor UMKM. Hasil akhir dari UKM memperoleh modal kerja atau investasi dari perbankan adalah dapat menggerakan sektor riil dan dapat menyerap tenaga kerja serta memberikan stimulus bagi perekonomian.
Dampak Terhadap Ekonomi
Penjaminan kredit yang diberikan kepada UKM yang tidak memenuhi syarat perbankan dalam peminjaman kredit (unbankable) namun memliki prospek bisnis yang baik (eligible) antara lain karena produknya banyak dipesan atau diminta oleh pasar. Dengan penjaminan kredit, UKM yang unbankable tetapi eligible dapat memperoleh suntikan dana dari perbankan. Setelah UKM tumbuh besar dengan bertambahnya modal kerja atau investasi dan menjadi bankable, maka penjaminan kredit ini tidak perlu diberikan lagi. UKM yang memperoleh suntikan dana akan menambah kapasitas produksi akibat adanya permintaan pasar besar sehingga secara aggregat akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) nasional. Disamping itu, untuk memperoleh kapasitas produksi yang semakin besar diperlukan tenaga kerja sehingga akan membuka lapangan pekerjaan dimana UKM berada. Dengan demikian, dampak penjaminan kredit terhadap ekonomi dapat diperkirakan secara statistik antara lain dengan menggunakan data nilai PDB UKM, Investasi UKM, jumlah penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit UKM dari Departemen Kopreasi yang telah diolah.
Berdasarkan perkiraan tersebut dengan melihat skema penambahan PMN yang disetor ke LPK dengan berbagai skenario seperti pada tabel 2, diharapkan akan mengucurkan kredit dari perbankan dengan jumlah plafond kredit sampai Rp. 30,2 triliun pada tahun 2011 dengan jumlah PMN sampai dengan Rp. 1 triliun akan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,33 juta orang; 1,83 juta unit UKM baru atau jumlah UKM yang dapat menyerap dana perbankan; menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 66,71 triliun; dan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Semakin besar jumlah PMN yang disuntikan untuk menambah kapasitas penjaminan kredit maka semakin besar dampak positif terhadap perekonomian.
Perkiraan target PMN ini akan terwujud apabila perbankan serius mendukung Inpres no. 6 tahun 2007 dan melakukan berbagai strategi agar kredit yag dikucurkan dapat merubah UKM yang unbankable menjadi UKM bankable serta kredit yang dikucurkan benar-benar tepat sasaran dan diterima oleh UKM yang memang memerlukan bantuan suntikan dana. Hal ini perlu dilakukan karena jumlah kredit yang dikuncurkan sangat besar yaitu Rp. 30 triliun lebih dan agar dapat menurunkan moral hazard dari UKM gadungan yang berusaha memperoleh suntikan dana perbankan karena memang kredit yang dikuncurkan nanti adalah kredit dengan bunga yang rendah dan tidak memerlukan colateral atau persyaratan yang memberatkan UKM. Selain itu, strategi yang harus dilakukan perbankan adalah melakukan pembinaan langsung ke UKM agar dapat menggunakan dana kredit tersebut seoptimal mungkin untuk menambah kapasitas produksi atau nilai tambah.
Disisi lain, program penjaminan kredit untuk menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah, berdasarkan pengalaman LPK yang pernah juga menerima program yang serupa mulai tahun 1971 – 1996, adalah program yang memliki loss ratio atau Non Performance Guarantee (NPG) yang relatif tinggi atau kredit yang diberikan memang banyak yag default (wanprestasi), maka perlu dilakukan berbagai strategi agar LPK tidak kesulitan membayar klaim atau bahkan bangkrut. Memang berdasarkan pengalaman menjalankan penjaminan kredit UKM, LPK cenderung mengalami kerugian karena Non Performance Guarantee (NPG) pada penjaminan kredit UKM ini relatif besar sehingga tidak dapat ditanggung oleh LPK. Misal NPG adalah 4 % saja atau dalam arti terjadi kredit macet sebanyak 4 % atau kredit macet yang terjadi senilai Rp. 1,2 triliun dari plafond kredit ( misal nilai plafond kredit yang disalurkan perbankan sebesar Rp. 30 triliun) dan missal LPK menanggung kerugian dari kredit macet sebesar 70% maka klaim yang harus dibayar adalah Rp. 840 milyar (Rp. 70 % X Rp. 1,2 triliun). Jumlah klaim ini sangat besar dan kemungkinan untuk dapat dibayar oleh LPK yang hanya memiliki ekuitas sebanyak Rp. 800 milyar ke bawah adalah relative kecil.
Hal ini juga dialami oleh LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC (Asian Credit Supplementation Institution Confederation). ACSIC beranggotakan 14 LPK (Credit Guarantee Corporation) yang berasal dari 11 negara Asia yang didirikan sejak tahun 1987 dan memiliki negara observer yaitu 3 LPK di negara Asia lainnya. Seperti terlihat pada tabel 3, LPK di lingkungan ACSIC seperti dari Jepang (LPK Jasme dan NFCGC) dan Korea (LPK KIBO dan KODIT) selama beberapa waktu mengalami kerugian (loss) karena menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah. Namun ukuran keberhasilan LPK bukan hanya dilihat pada laporan Laba/Rugi saja tetapi dari keberhasilannya mengembangkan UKM yang unbankable menjadi UKM bankable dan eligble. Jepang dan Korea merupakan negara yang memiliki UKM yang sudah maju bahkan sudah mengglobal. Untuk itu pemerintah di negara tersebut mensupport LPK dengan pemodalan dan regulasi keuangan dan perbankan yang efektif.
Strategi LPK
LPK sebagai BUMN selain memiliki aspek public service oriented (PSO) juga dituntut profit oriented (PO). Agar LPK memperoleh keuntungan dalam bisnis penjaminan kredit maka perlu dilakukan bebagai strategi bisnis sehingga selain dapat membantu program pemerintah untuk mengembangkan UKM yang memang bersifat PSO seperti halnya LPK di Negara Jepang dan Korea. Strategi bisnis yang dapat dilakukan agar tetap profit antara lain adalah; pertama, melakukan diversifikasi produk dengan memasarkan produk Asuransi Kredit (Credit Insurance seperti Asuransi Kredit Perdagangan dan Surety Bond) yang berorientasi profit. Dengan demikian, bisnis credit insurance ini dirancang untuk pure business yang profit oriented sehingga dapat melakukan Crossed Subsidy terhadap bisnis LPK yang juga dijalankan oleh perusahaan; Kedua, melakukan suatu penutupan penjamian kredit yang bersifat closed system yang berarti bahwa penutupan penjaminan kredit program pemerintah harus risk sharing dengan lembaga pemerintah terkait atau pemerintah daerah atau lembaga keuangan lainnya sehingga resiko ditanggung bersama antara PT. Askrindo dengan Pemda setempat atau lembaga keuangan lainnya yang memiliki tujuan untuk menggerakan sector riil di daerah; Ketiga, meningkatkan peranan risk management antara lain dengan memberikan aturan main yang kehati-hatian (prudent) seperti memberikan syarat collateral (agunan) yang tidak memberatkan dan lebih tajam melakukan analisis penjamian kredit, yang dapat mengurangi resiko terjadinya klaim. Tugas para analis penjaminan kredit memegang peranan penting disini; dan keempat, mengelola investasi dari PMN yang disetor dan dana perusahaan lainnya dengan memanfaatkan instrumen investasi yang tersedia di pasar secara optimal sehingga menguntungkan.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
Peranan UKM
Perekonomian Indonesia selama ini selain didukung oleh kekuatan ekonomi besar, juga didukung oleh kekuatan ekonomi yang berasal dari usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang hampir tersebar di seluruh daerah Indonesia dan hampir terdapat di seluruh sektor ekonomi. Menurut data dari Departemen Koperasi (tabel 1), tercatat jumlah UKM di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 48, 93 juta UKM dan berhasil menciptakan nilai PDB (berdasarkan harga berlaku) UKM sebesar Rp. 1.778 triliun dengan produktivitas UKM per unitnya pada tahun yang sama sebesar 36 juta/unit. Dari jumlah unit UKM tersebut yang terbesar berasal dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, & perikanan yaitu sebanyak 26,21 juta unit yang menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 412,04 triliun dan yang terkecil berasal sektor listrik, gas, dan air bersih sebanyak 15, 46 ribu unit yang menyumbangk nilai PDB UKM sebesar Rp. 2,46 triliun. Jumlah UKM yang relatif besar ini merupakan kekuatan ekonomi yang tidak bisa diabaikan dan sudah terbukti memiliki daya tahan yang lebih besar dibandingkan kekuatan ekonomi yang berskala corporate pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 lalu.
Peranan UKM dalam perekonomian ini akan ditingkatkan oleh pemerintah dengan jalan memberikan kemudahan dalam memperoleh akses keuangan dan perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit. Karena selama ini pihak perbankan kurang menganggap penting kekuatan ekonomi UMKM ini sehingga sulit untuk memperoleh tambahan modal kerja atau investasi dari perbankan. Menurut data BI, saat ini hanya 19 juta unit UKM atau baru 35 % UKM yang terjangkau oleh perbankan atau yang dikategorikan yang memiliki rekening di bank. Kredit UKM juga telah tumbuh sebesar 18,4 % atau mencapai Rp. 72 triliun dari total penyaluran pada bulan Juni 2006 ( Rp.390 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pangsa kredit UKM masih sangat besar dan mencapai 52,5 % dari total outstanding kredit nasional. Dengan demikian, melalui mekanisme penjaminan kredit yaang diberikan oleh lembaga penjaminan kredit , usaha UMKM dapat memperoleh tambahan modal dari perbankan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan investasi serta dapat menggerakan sektor riil yang pada akhirnya akan memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Untuk menggerakan sektor riil tersebut pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dituangkan dalam Inpres No. 6 tahun 2007 untuk memberikan suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) milik pemerintah yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Nilai PMN yang akan disuntikan berdasarkan Inpres No. 6 tahun 2007 sebesar Rp. 1,45 triliun dengan rincian untuk PT. Askrindo sebesar Rp. 850 milyar dan Rp. 600 milyar kepada Perum Sarana.
Tujuan penyuntikan PMN kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) tersebut adalah agar kapasitas penjaminan LPK semakin besar sehingga dapat diperkirakan menutup penjaminan kredit lebih dari Rp. 30 triliun dari perbankan yang akan disalurkan ke UKM. Kondisi ini tentu akan menyebabkan akses UMKM kepada perbankan semakin terbuka. Disamping itu, dengan adanya penjaminan kredit ini perbankan tidak ragu lagi memberikan kredit dan masuk ke sektor UMKM. Hasil akhir dari UKM memperoleh modal kerja atau investasi dari perbankan adalah dapat menggerakan sektor riil dan dapat menyerap tenaga kerja serta memberikan stimulus bagi perekonomian.
Dampak Terhadap Ekonomi
Penjaminan kredit yang diberikan kepada UKM yang tidak memenuhi syarat perbankan dalam peminjaman kredit (unbankable) namun memliki prospek bisnis yang baik (eligible) antara lain karena produknya banyak dipesan atau diminta oleh pasar. Dengan penjaminan kredit, UKM yang unbankable tetapi eligible dapat memperoleh suntikan dana dari perbankan. Setelah UKM tumbuh besar dengan bertambahnya modal kerja atau investasi dan menjadi bankable, maka penjaminan kredit ini tidak perlu diberikan lagi. UKM yang memperoleh suntikan dana akan menambah kapasitas produksi akibat adanya permintaan pasar besar sehingga secara aggregat akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) nasional. Disamping itu, untuk memperoleh kapasitas produksi yang semakin besar diperlukan tenaga kerja sehingga akan membuka lapangan pekerjaan dimana UKM berada. Dengan demikian, dampak penjaminan kredit terhadap ekonomi dapat diperkirakan secara statistik antara lain dengan menggunakan data nilai PDB UKM, Investasi UKM, jumlah penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit UKM dari Departemen Kopreasi yang telah diolah.
Berdasarkan perkiraan tersebut dengan melihat skema penambahan PMN yang disetor ke LPK dengan berbagai skenario seperti pada tabel 2, diharapkan akan mengucurkan kredit dari perbankan dengan jumlah plafond kredit sampai Rp. 30,2 triliun pada tahun 2011 dengan jumlah PMN sampai dengan Rp. 1 triliun akan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,33 juta orang; 1,83 juta unit UKM baru atau jumlah UKM yang dapat menyerap dana perbankan; menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 66,71 triliun; dan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Semakin besar jumlah PMN yang disuntikan untuk menambah kapasitas penjaminan kredit maka semakin besar dampak positif terhadap perekonomian.
Perkiraan target PMN ini akan terwujud apabila perbankan serius mendukung Inpres no. 6 tahun 2007 dan melakukan berbagai strategi agar kredit yag dikucurkan dapat merubah UKM yang unbankable menjadi UKM bankable serta kredit yang dikucurkan benar-benar tepat sasaran dan diterima oleh UKM yang memang memerlukan bantuan suntikan dana. Hal ini perlu dilakukan karena jumlah kredit yang dikuncurkan sangat besar yaitu Rp. 30 triliun lebih dan agar dapat menurunkan moral hazard dari UKM gadungan yang berusaha memperoleh suntikan dana perbankan karena memang kredit yang dikuncurkan nanti adalah kredit dengan bunga yang rendah dan tidak memerlukan colateral atau persyaratan yang memberatkan UKM. Selain itu, strategi yang harus dilakukan perbankan adalah melakukan pembinaan langsung ke UKM agar dapat menggunakan dana kredit tersebut seoptimal mungkin untuk menambah kapasitas produksi atau nilai tambah.
Disisi lain, program penjaminan kredit untuk menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah, berdasarkan pengalaman LPK yang pernah juga menerima program yang serupa mulai tahun 1971 – 1996, adalah program yang memliki loss ratio atau Non Performance Guarantee (NPG) yang relatif tinggi atau kredit yang diberikan memang banyak yag default (wanprestasi), maka perlu dilakukan berbagai strategi agar LPK tidak kesulitan membayar klaim atau bahkan bangkrut. Memang berdasarkan pengalaman menjalankan penjaminan kredit UKM, LPK cenderung mengalami kerugian karena Non Performance Guarantee (NPG) pada penjaminan kredit UKM ini relatif besar sehingga tidak dapat ditanggung oleh LPK. Misal NPG adalah 4 % saja atau dalam arti terjadi kredit macet sebanyak 4 % atau kredit macet yang terjadi senilai Rp. 1,2 triliun dari plafond kredit ( misal nilai plafond kredit yang disalurkan perbankan sebesar Rp. 30 triliun) dan missal LPK menanggung kerugian dari kredit macet sebesar 70% maka klaim yang harus dibayar adalah Rp. 840 milyar (Rp. 70 % X Rp. 1,2 triliun). Jumlah klaim ini sangat besar dan kemungkinan untuk dapat dibayar oleh LPK yang hanya memiliki ekuitas sebanyak Rp. 800 milyar ke bawah adalah relative kecil.
Hal ini juga dialami oleh LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC (Asian Credit Supplementation Institution Confederation). ACSIC beranggotakan 14 LPK (Credit Guarantee Corporation) yang berasal dari 11 negara Asia yang didirikan sejak tahun 1987 dan memiliki negara observer yaitu 3 LPK di negara Asia lainnya. Seperti terlihat pada tabel 3, LPK di lingkungan ACSIC seperti dari Jepang (LPK Jasme dan NFCGC) dan Korea (LPK KIBO dan KODIT) selama beberapa waktu mengalami kerugian (loss) karena menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah. Namun ukuran keberhasilan LPK bukan hanya dilihat pada laporan Laba/Rugi saja tetapi dari keberhasilannya mengembangkan UKM yang unbankable menjadi UKM bankable dan eligble. Jepang dan Korea merupakan negara yang memiliki UKM yang sudah maju bahkan sudah mengglobal. Untuk itu pemerintah di negara tersebut mensupport LPK dengan pemodalan dan regulasi keuangan dan perbankan yang efektif.
Strategi LPK
LPK sebagai BUMN selain memiliki aspek public service oriented (PSO) juga dituntut profit oriented (PO). Agar LPK memperoleh keuntungan dalam bisnis penjaminan kredit maka perlu dilakukan bebagai strategi bisnis sehingga selain dapat membantu program pemerintah untuk mengembangkan UKM yang memang bersifat PSO seperti halnya LPK di Negara Jepang dan Korea. Strategi bisnis yang dapat dilakukan agar tetap profit antara lain adalah; pertama, melakukan diversifikasi produk dengan memasarkan produk Asuransi Kredit (Credit Insurance seperti Asuransi Kredit Perdagangan dan Surety Bond) yang berorientasi profit. Dengan demikian, bisnis credit insurance ini dirancang untuk pure business yang profit oriented sehingga dapat melakukan Crossed Subsidy terhadap bisnis LPK yang juga dijalankan oleh perusahaan; Kedua, melakukan suatu penutupan penjamian kredit yang bersifat closed system yang berarti bahwa penutupan penjaminan kredit program pemerintah harus risk sharing dengan lembaga pemerintah terkait atau pemerintah daerah atau lembaga keuangan lainnya sehingga resiko ditanggung bersama antara PT. Askrindo dengan Pemda setempat atau lembaga keuangan lainnya yang memiliki tujuan untuk menggerakan sector riil di daerah; Ketiga, meningkatkan peranan risk management antara lain dengan memberikan aturan main yang kehati-hatian (prudent) seperti memberikan syarat collateral (agunan) yang tidak memberatkan dan lebih tajam melakukan analisis penjamian kredit, yang dapat mengurangi resiko terjadinya klaim. Tugas para analis penjaminan kredit memegang peranan penting disini; dan keempat, mengelola investasi dari PMN yang disetor dan dana perusahaan lainnya dengan memanfaatkan instrumen investasi yang tersedia di pasar secara optimal sehingga menguntungkan.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
PAKET EKONOMI MEMPERKUAT EKONOMI LEMAH
Maraknya isu pemberdayaan UKM melalui Inpres No.6 tahun 2007 saat ini membuktikan masih adanya pro kontra tentang keberpihakan dengan kekuatan ekonomi yang lemah. Dengan mekanisme penjaminan kredit UKM melalui Lembaga Penjamanan Kredit milik pemerintah, UKM diharapkan dapat memperoleh kemudahan akses modal dari perbankan yang selama ini sulit diperoleh. Untuk meningkatkan kapasitas penjaminan kredit ini pemerintah akan menyuntikan dana sebesar Rp.1,45 triliun kepada LPK. Pemberdayaan UKM melalui paket kebijakan ekonomi diperkirakan akan menggerakan sektor riil dan membawa dampak positip terhadap perekonomian. Penjaminan kredit UKM ini akan direleasikan sampai tahun 2011 dan diperkirakan akan menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,3 juta orang, kredit perbankan diserap oleh sekitar 1,8 juta UKM, menciptakan PDB sebesar Rp. 66,71 triliun dan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Paket ekonomi untuk memperkuat ekonomi lemah ini perlu didukung oleh semua pihak karena menyangkut kesejahteraan rakyat Indonesia.
Memperkuat UKM
Sejarah perekonomian Indonesia selama ini masih melekat dengan peranan ekonomi lemah yang berasal dari UKM yang merupakan kekuatan ekonomi yang dipinggirkan oleh lembaga keuangan indonesia karena dianggap masih memiliki resiko yang besar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa justru kekuatan ekonomi dan peranan UKM inilah yang menyelamatkan ekonomi Indonesia dari guncangan krisis ekonomi tahun 1998. Menurut data dari Departemen Koperasi (tabel 1), tercatat jumlah UKM di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 48, 93 juta UKM dan berhasil menciptakan nilai PDB (berdasarkan harga berlaku) UKM sebesar Rp. 1.778 triliun dengan produktivitas UKM per unitnya pada tahun yang sama sebesar 36 juta/unit. Dari jumlah unit UKM tersebut yang terbesar berasal dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, & perikanan yaitu sebanyak 26,21 juta unit yang menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 412,04 triliun dan yang terkecil berasal sektor listrik, gas, dan air bersih sebanyak 15, 46 ribu unit yang menyumbangk nilai PDB UKM sebesar Rp. 2,46 triliun.
Kekuatan ekonomi lemah yang melekat pada UKM ini akan diperkuat oleh pemerintah dengan jalan memberikan kemudahan dalam memperoleh akses modal dari perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit. Karena selama ini pihak perbankan kurang menganggap penting kekuatan ekonomi UMKM ini sehingga sulit untuk memperoleh tambahan modal kerja atau investasi dari perbankan. Menurut data BI, saat ini hanya 19 juta unit UKM atau baru 35 % UKM yang terjangkau oleh perbankan atau yang dikategorikan yang memiliki rekening di bank. Kredit UKM juga telah tumbuh sebesar 18,4 % atau mencapai Rp. 72 triliun dari total penyaluran pada bulan Juni 2006 ( Rp.390 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pangsa kredit UKM masih sangat besar dan mencapai 52,5 % dari total outstanding kredit nasional. Untuk menggerakan sektor riil pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dituangkan dalam Inpres No. 6 tahun 2007 untuk memberikan suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) milik pemerintah yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Nilai PMN yang akan disuntikan berdasarkan Inpres No. 6 tahun 2007 sebesar Rp. 1,45 triliun dengan rincian untuk PT. Askrindo sebesar Rp. 850 milyar dan Rp. 600 milyar kepada Perum Sarana.
Tujuan penyuntikan PMN kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) tersebut adalah agar kapasitas penjaminan LPK semakin besar sehingga dapat diperkirakan menutup penjaminan kredit lebih dari Rp. 30 triliun dari perbankan yang akan disalurkan ke UKM. Kondisi ini tentu akan menyebabkan akses UMKM kepada perbankan semakin terbuka. Disamping itu, dengan adanya penjaminan kredit ini perbankan tidak ragu lagi memberikan kredit dan masuk ke sektor UMKM. Hasil akhir dari UKM memperoleh modal kerja atau investasi dari perbankan adalah dapat menggerakan sektor riil dan dapat menyerap tenaga kerja serta memberikan stimulus bagi perekonomian.
Pengaruh UKM Terhadap Ekonomi
Penjaminan kredit diberikan kepada UKM yang tidak memenuhi syarat perbankan dalam memperoleh modal (unbankable) namun memliki prospek bisnis yang baik (eligible) karena produknya banyak dipesan atau diminta oleh pasar dan memiliki kinerja yang baik. Dengan penjaminan kredit, UKM yang unbankable tetapi eligible dapat memperoleh suntikan dana dari perbankan. Setelah UKM tumbuh besar dengan bertambahnya modal kerja atau investasi dan menjadi bankable, maka penjaminan kredit ini tidak perlu diberikan lagi. UKM yang memperoleh suntikan dana akan menambah kapasitas produksi akibat adanya permintaan pasar besar sehingga secara aggregat atau nasional akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) nasional. Disamping itu, untuk memperoleh kapasitas produksi yang semakin besar diperlukan tenaga kerja sehingga akan membuka lapangan pekerjaan dimana UKM berada. Dengan demikian, pengaruh penjaminan kredit terhadap ekonomi dapat diperkirakan secara statistik antara lain dengan menggunakan data nilai PDB UKM, Investasi UKM, jumlah penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit UKM dari Departemen Kopreasi yang telah diolah.
Berdasarkan data tersebut dengan melihat skema penambahan PMN yang disetor ke LPK dengan berbagai skenario seperti pada tabel 2, diperkirakan perbankan akan mengucurkan kredit dari perbankan dengan jumlah plafond kredit sampai Rp. 30,2 triliun pada tahun 2011 dengan jumlah PMN sampai dengan Rp. 1 triliun akan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,33 juta orang; 1,83 juta unit UKM baru atau jumlah UKM yang dapat menyerap dana perbankan; menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 66,71 triliun; dan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Semakin besar jumlah PMN yang disuntikan untuk menambah kapasitas penjaminan kredit maka semakin besar pengaruh positif terhadap perekonomian.
Angka perkiraan target PMN ini akan terwujud apabila perbankan serius mendukung Inpres no. 6 tahun 2007 dan melakukan berbagai strategi agar kredit yag dikucurkan dapat merubah UKM yang unbankable menjadi UKM bankable serta kredit yang dikucurkan benar-benar tepat sasaran dan diterima oleh UKM yang memang memerlukan bantuan suntikan dana. Hal ini perlu dilakukan karena jumlah kredit yang dikuncurkan sangat besar yaitu Rp. 30 triliun lebih dan agar dapat menurunkan moral hazard dari UKM gadungan yang berusaha memperoleh suntikan dana perbankan karena memang kredit yang dikuncurkan nanti adalah kredit dengan bunga yang rendah atau kredit dengan bunga bersubsidi dari pemerintah serta tidak memerlukan colateral atau persyaratan yang memberatkan UKM. Selain itu, strategi yang harus dilakukan perbankan adalah melakukan pembinaan langsung ke UKM agar dapat menggunakan dana kredit tersebut seoptimal mungkin untuk menambah kapasitas produksi atau nilai tambah.
Program penjaminan kredit ini untuk menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah, berdasarkan pengalaman LPK yang pernah juga menerima program yang serupa mulai tahun 1971 – 1996, adalah program yang memliki loss ratio yang relatif tinggi atau kredit yang diberikan memang banyak yag default (wanprestasi), maka perlu dilakukan berbagai strategi agar LPK tidak kesulitan membayar klaim atau bahkan bangkrut. Hal ini juga dialami oleh LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC (Asian Credit Supplementation Institution Confederation). ACSIC yang beranggotakan 16 LPK (Credit Guarantee Corporation) yang berasal dari 11 negara Asia (3 negara observer) yang didirikan sejak tahun 1987. Seperti terlihat pada tabel 3, LPK di lingkungan ACSIC seperti dari Jepang (LPK Jasme dan NFCGC) dan Korea (LPK KIBO dan KODIT) selama beberapa waktu mengalami kerugian (loss) karena menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah. Namun ukuran keberhasilan LPK bukan hanya dilihat pada laporan Laba/Rugi saja tetapi dari keberhasilannya mengembangkan UKM yang unbankable menjadi UKM bankable dan eligible. Jepang dan Korea merupakan negara yang memiliki UKM yang sudah maju bahkan sudah mengglobal.
Strategi bisnis LPK
LPK sebagai BUMN selain memiliki aspek public service oriented (PSO) juga dituntut profit oriented (PO). Agar LPK memperoleh keuntungan dalam bisnis penjaminan kredit maka perlu dilakukan bebagai strategi bisnis sehingga selain dapat membantu program pemerintah untuk mengembangkan UKM yang memang bersifat PSO seperti halnya LPK di Negara Jepang dan Korea, juga dapat memberikan dividen kepada pemerintah. Seperti pada tabel 3, LPK PT Askrindo justru memperoleh keuntungan dalam menjalankan bisnis Penjaminan Kredit karena memang sudah berpengalaman membantu UKM sejak tahun 1971 dengan total UKM yang dibantu lebih dari 6,5 juta unit dengan jumlah nilai penjaminan lebih dari Rp. 71,5 triliun. Strategi bisnis yang telah dilakukan PT Askrindo agar tetap untung adalah; pertama, sejak tahun 1997 melakukan diversifikasi produk dengan memasarkan produk Asuransi Kredit (Credit Insurance seperti Asuransi Kredit Perdagangan dan Surety Bond) yang berorientasi profit. Dengan demikian, bisnis credit insurance ini dirancang untuk pure business yang profit oriented sehingga dapat melakukan Crossed Subsidy terhadap bisnis LPK yang juga dijalankan oleh perusahaan; Kedua, melakukan suatu penutupan penjamian kredit yang bersifat closed system yang berarti bahwa penutupan penjaminan kredit program pemerintah harus risk sharing dengan lembaga pemerintah terkait atau pemerintah daerah sehingga resiko ditanggung bersama antara PT. Askrindo dengan Pemda setempat yang memiliki tujuan untuk menggerakan sector riil di daerah; Ketiga, meningkatkan peranan risk management dengan memberikan aturan main, seperti memberikan syarat collateral (agunan) yang tidak memberatkan dan lebih tajam melakukan analisis penjamian kredit, yang dapat mengurangi resiko terjadinya klaim. Tugas para analis penjaminan kredit memegang peranan penting disini; dan keempat, mengelola investasi dari PMN yang disetor dan dana perusahaan lainnya dengan memanfaatkan instrumen investasi yang tersedia di pasar secara optimal sehingga menguntungkan. Strategi bisnis telah dilakukan juga oleh LPK lainnya untuk memperoleh profit dengan cakupan dan kualitas strategi yang berbeda.
Kesimpulan
Kekuatan ekonomi lemah yang melekat pada UKM akan diperkuat oleh pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi dengan mengeluarkan Inpres no. 6 tahun 2007. program pemberdayaan UKM ini ditujukan agar UKM dapat memperoleh kemudahan dalam akses modal dari perbankan. Sudah mahfum, bahwa perbankan sampai saat ini kurang berminat memberikan modal ke UKM lantaran masih dianggap memiliki resiko yang tinggi. Padahal UKM telah diuji memiliki daya tahan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan ekonomi besar pada saat krisis ekonomi tahun 1998 dan paling banyak menyerap lapangan pekerjaan. Sudah waktunya pemerintah dan seluruh kekuatan ekonomi bangsa ini mendukung program paket kebijakan pemberdayaan UKM yang mulia ini untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
Memperkuat UKM
Sejarah perekonomian Indonesia selama ini masih melekat dengan peranan ekonomi lemah yang berasal dari UKM yang merupakan kekuatan ekonomi yang dipinggirkan oleh lembaga keuangan indonesia karena dianggap masih memiliki resiko yang besar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa justru kekuatan ekonomi dan peranan UKM inilah yang menyelamatkan ekonomi Indonesia dari guncangan krisis ekonomi tahun 1998. Menurut data dari Departemen Koperasi (tabel 1), tercatat jumlah UKM di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 48, 93 juta UKM dan berhasil menciptakan nilai PDB (berdasarkan harga berlaku) UKM sebesar Rp. 1.778 triliun dengan produktivitas UKM per unitnya pada tahun yang sama sebesar 36 juta/unit. Dari jumlah unit UKM tersebut yang terbesar berasal dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, & perikanan yaitu sebanyak 26,21 juta unit yang menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 412,04 triliun dan yang terkecil berasal sektor listrik, gas, dan air bersih sebanyak 15, 46 ribu unit yang menyumbangk nilai PDB UKM sebesar Rp. 2,46 triliun.
Kekuatan ekonomi lemah yang melekat pada UKM ini akan diperkuat oleh pemerintah dengan jalan memberikan kemudahan dalam memperoleh akses modal dari perbankan melalui mekanisme penjaminan kredit. Karena selama ini pihak perbankan kurang menganggap penting kekuatan ekonomi UMKM ini sehingga sulit untuk memperoleh tambahan modal kerja atau investasi dari perbankan. Menurut data BI, saat ini hanya 19 juta unit UKM atau baru 35 % UKM yang terjangkau oleh perbankan atau yang dikategorikan yang memiliki rekening di bank. Kredit UKM juga telah tumbuh sebesar 18,4 % atau mencapai Rp. 72 triliun dari total penyaluran pada bulan Juni 2006 ( Rp.390 triliun). Hal ini menunjukkan bahwa pangsa kredit UKM masih sangat besar dan mencapai 52,5 % dari total outstanding kredit nasional. Untuk menggerakan sektor riil pemerintah telah mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dituangkan dalam Inpres No. 6 tahun 2007 untuk memberikan suntikan dana berupa Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) milik pemerintah yaitu PT. Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) dan Perum Sarana. Nilai PMN yang akan disuntikan berdasarkan Inpres No. 6 tahun 2007 sebesar Rp. 1,45 triliun dengan rincian untuk PT. Askrindo sebesar Rp. 850 milyar dan Rp. 600 milyar kepada Perum Sarana.
Tujuan penyuntikan PMN kepada Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) tersebut adalah agar kapasitas penjaminan LPK semakin besar sehingga dapat diperkirakan menutup penjaminan kredit lebih dari Rp. 30 triliun dari perbankan yang akan disalurkan ke UKM. Kondisi ini tentu akan menyebabkan akses UMKM kepada perbankan semakin terbuka. Disamping itu, dengan adanya penjaminan kredit ini perbankan tidak ragu lagi memberikan kredit dan masuk ke sektor UMKM. Hasil akhir dari UKM memperoleh modal kerja atau investasi dari perbankan adalah dapat menggerakan sektor riil dan dapat menyerap tenaga kerja serta memberikan stimulus bagi perekonomian.
Pengaruh UKM Terhadap Ekonomi
Penjaminan kredit diberikan kepada UKM yang tidak memenuhi syarat perbankan dalam memperoleh modal (unbankable) namun memliki prospek bisnis yang baik (eligible) karena produknya banyak dipesan atau diminta oleh pasar dan memiliki kinerja yang baik. Dengan penjaminan kredit, UKM yang unbankable tetapi eligible dapat memperoleh suntikan dana dari perbankan. Setelah UKM tumbuh besar dengan bertambahnya modal kerja atau investasi dan menjadi bankable, maka penjaminan kredit ini tidak perlu diberikan lagi. UKM yang memperoleh suntikan dana akan menambah kapasitas produksi akibat adanya permintaan pasar besar sehingga secara aggregat atau nasional akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) nasional. Disamping itu, untuk memperoleh kapasitas produksi yang semakin besar diperlukan tenaga kerja sehingga akan membuka lapangan pekerjaan dimana UKM berada. Dengan demikian, pengaruh penjaminan kredit terhadap ekonomi dapat diperkirakan secara statistik antara lain dengan menggunakan data nilai PDB UKM, Investasi UKM, jumlah penyerapan tenaga kerja dan jumlah unit UKM dari Departemen Kopreasi yang telah diolah.
Berdasarkan data tersebut dengan melihat skema penambahan PMN yang disetor ke LPK dengan berbagai skenario seperti pada tabel 2, diperkirakan perbankan akan mengucurkan kredit dari perbankan dengan jumlah plafond kredit sampai Rp. 30,2 triliun pada tahun 2011 dengan jumlah PMN sampai dengan Rp. 1 triliun akan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak 3,33 juta orang; 1,83 juta unit UKM baru atau jumlah UKM yang dapat menyerap dana perbankan; menciptakan nilai PDB sebesar Rp. 66,71 triliun; dan memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 4,38 %. Semakin besar jumlah PMN yang disuntikan untuk menambah kapasitas penjaminan kredit maka semakin besar pengaruh positif terhadap perekonomian.
Angka perkiraan target PMN ini akan terwujud apabila perbankan serius mendukung Inpres no. 6 tahun 2007 dan melakukan berbagai strategi agar kredit yag dikucurkan dapat merubah UKM yang unbankable menjadi UKM bankable serta kredit yang dikucurkan benar-benar tepat sasaran dan diterima oleh UKM yang memang memerlukan bantuan suntikan dana. Hal ini perlu dilakukan karena jumlah kredit yang dikuncurkan sangat besar yaitu Rp. 30 triliun lebih dan agar dapat menurunkan moral hazard dari UKM gadungan yang berusaha memperoleh suntikan dana perbankan karena memang kredit yang dikuncurkan nanti adalah kredit dengan bunga yang rendah atau kredit dengan bunga bersubsidi dari pemerintah serta tidak memerlukan colateral atau persyaratan yang memberatkan UKM. Selain itu, strategi yang harus dilakukan perbankan adalah melakukan pembinaan langsung ke UKM agar dapat menggunakan dana kredit tersebut seoptimal mungkin untuk menambah kapasitas produksi atau nilai tambah.
Program penjaminan kredit ini untuk menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah, berdasarkan pengalaman LPK yang pernah juga menerima program yang serupa mulai tahun 1971 – 1996, adalah program yang memliki loss ratio yang relatif tinggi atau kredit yang diberikan memang banyak yag default (wanprestasi), maka perlu dilakukan berbagai strategi agar LPK tidak kesulitan membayar klaim atau bahkan bangkrut. Hal ini juga dialami oleh LPK di negara-negara Asia yang tergabung dalam ACSIC (Asian Credit Supplementation Institution Confederation). ACSIC yang beranggotakan 16 LPK (Credit Guarantee Corporation) yang berasal dari 11 negara Asia (3 negara observer) yang didirikan sejak tahun 1987. Seperti terlihat pada tabel 3, LPK di lingkungan ACSIC seperti dari Jepang (LPK Jasme dan NFCGC) dan Korea (LPK KIBO dan KODIT) selama beberapa waktu mengalami kerugian (loss) karena menjamin kredit UKM yang merupakan program pemerintah. Namun ukuran keberhasilan LPK bukan hanya dilihat pada laporan Laba/Rugi saja tetapi dari keberhasilannya mengembangkan UKM yang unbankable menjadi UKM bankable dan eligible. Jepang dan Korea merupakan negara yang memiliki UKM yang sudah maju bahkan sudah mengglobal.
Strategi bisnis LPK
LPK sebagai BUMN selain memiliki aspek public service oriented (PSO) juga dituntut profit oriented (PO). Agar LPK memperoleh keuntungan dalam bisnis penjaminan kredit maka perlu dilakukan bebagai strategi bisnis sehingga selain dapat membantu program pemerintah untuk mengembangkan UKM yang memang bersifat PSO seperti halnya LPK di Negara Jepang dan Korea, juga dapat memberikan dividen kepada pemerintah. Seperti pada tabel 3, LPK PT Askrindo justru memperoleh keuntungan dalam menjalankan bisnis Penjaminan Kredit karena memang sudah berpengalaman membantu UKM sejak tahun 1971 dengan total UKM yang dibantu lebih dari 6,5 juta unit dengan jumlah nilai penjaminan lebih dari Rp. 71,5 triliun. Strategi bisnis yang telah dilakukan PT Askrindo agar tetap untung adalah; pertama, sejak tahun 1997 melakukan diversifikasi produk dengan memasarkan produk Asuransi Kredit (Credit Insurance seperti Asuransi Kredit Perdagangan dan Surety Bond) yang berorientasi profit. Dengan demikian, bisnis credit insurance ini dirancang untuk pure business yang profit oriented sehingga dapat melakukan Crossed Subsidy terhadap bisnis LPK yang juga dijalankan oleh perusahaan; Kedua, melakukan suatu penutupan penjamian kredit yang bersifat closed system yang berarti bahwa penutupan penjaminan kredit program pemerintah harus risk sharing dengan lembaga pemerintah terkait atau pemerintah daerah sehingga resiko ditanggung bersama antara PT. Askrindo dengan Pemda setempat yang memiliki tujuan untuk menggerakan sector riil di daerah; Ketiga, meningkatkan peranan risk management dengan memberikan aturan main, seperti memberikan syarat collateral (agunan) yang tidak memberatkan dan lebih tajam melakukan analisis penjamian kredit, yang dapat mengurangi resiko terjadinya klaim. Tugas para analis penjaminan kredit memegang peranan penting disini; dan keempat, mengelola investasi dari PMN yang disetor dan dana perusahaan lainnya dengan memanfaatkan instrumen investasi yang tersedia di pasar secara optimal sehingga menguntungkan. Strategi bisnis telah dilakukan juga oleh LPK lainnya untuk memperoleh profit dengan cakupan dan kualitas strategi yang berbeda.
Kesimpulan
Kekuatan ekonomi lemah yang melekat pada UKM akan diperkuat oleh pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi dengan mengeluarkan Inpres no. 6 tahun 2007. program pemberdayaan UKM ini ditujukan agar UKM dapat memperoleh kemudahan dalam akses modal dari perbankan. Sudah mahfum, bahwa perbankan sampai saat ini kurang berminat memberikan modal ke UKM lantaran masih dianggap memiliki resiko yang tinggi. Padahal UKM telah diuji memiliki daya tahan yang lebih besar dibandingkan dengan kekuatan ekonomi besar pada saat krisis ekonomi tahun 1998 dan paling banyak menyerap lapangan pekerjaan. Sudah waktunya pemerintah dan seluruh kekuatan ekonomi bangsa ini mendukung program paket kebijakan pemberdayaan UKM yang mulia ini untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
*) Oleh Mulyono,SE,MM, Pengamat Penjaminan Kredit
Selasa, Januari 19, 2010
STRATEGI PENGENDALIAN RISIKO KERUGIAN DENGAN PRE CLAIM TREATMENT DALAM DUNIA PENJAMINAN
I. Pendahuluan
Perkembangan dunia usaha yang semakin beragam dan penuh dengan komplesitas telah menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) usaha. Kondisi ini tentu akan menciptakan risiko usaha yang harus diantisipasi oleh dunia usaha. Berbagai cara untuk meminimalisir risiko dilakukan termasuk diantaranya menggunakan jasa asuransi dan penjaminan.
Jasa asuransi memberikan jasa penyebaran risiko antara perusahaan asuransi dan tertanggung dengan menerbitkan polis asuransi. Risiko yang ditanggung dalam asuransi bersifat tidak menentu (uncertainty) sehingga sulit diprediksi (unpredictable). Dalam asuransi, perjanjian penanggungan risiko melibatkan dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung dimana tertanggung diwajibkan membayar premi untuk memperoleh perlindungan risiko yang menyebabkan timbulnya prinsip no premi no klaim. Konsekuensi prinsip asuransi ini adalah klaim yang diajukan oleh tertanggung dapat diterima apabila premi sudah dibayarkan. Namun demikian, pada kenyataan dalam praktek usaha asuransi, sertifikat/polis asuransi dapat diterima oleh tertanggung melalui mekanisme transaksi asuransi yang dapat melahirkan suatu pembayaran premi yang tidak cash and carry namun memerlukan suatu jangka waktu pembayaran. Pada Jasa asuransi untuk menyebarkan risiko (spread of risk) dapat dilakukan dengan beberapa strategi yaitu menggunakan jasa re-asuransi, co-sharing, dan pencadangan klaim. Strategi ini dilakukan agar kinerja keuangan perusahaan tetap baik pada saat terjadi klaim yang relatif besar. Pada dunia asuransi, tidak ada suatu strategi dalam meminimalisir nilai klaim yang sudah terjadi. Apabila risiko kerugian sudah terjadi dan layak maka penanggung harus segera membayar klaim sesuai yang diperjanjikan dalam polis asuransi. Hal ini berbeda dengan jasa Penjaminan yang memberikan peluang agar dapat meminimalkan pembayaran klaim melalui proses penyelesain klaim (pre claim treatment).
Dalam dunia penjaminan, penyebaran risiko dilakukan dengan melibatkan 3 (tiga pihak) yaitu Penjamin, Penerima Jaminan, dan Terjamin. Risiko yang timbul masih dapat diperkirakan (predictable) berdasarkan indikator risiko walaupun seringkali pengaruh moral hazard lebih dominan sebagai penyebab timbulnya risiko. Strategi yang dapat dilakukan untuk menyebarkan risiko penjaminan adalah dengan cara menggunakan re-guarantee, co-guarantee dan agunan. Penyebaran risiko untuk minimalisir pembayaran klaim yang terjadi dengan menggunakan agunan sebesar 20 % merupakan suatu strategi yang dapat dilakukan walaupun penjaminan itu sendiri merupakan pengganti agunan dalam memperoleh perlindungan risiko.
Dalam dunia penjaminan, pencadangan klaim sebagai antisipasi dari perkiraan klaim yang akan terjadi belum suatu keharusan dan belum diatur dalam regulasi penjaminan. Seandainya ada perusahaan penjaminan yang melakukan pencadangan klaim untuk antisipasi klaim yang akan terjadi dan dalam rangka untuk menjaga keuangan perusahaan agar tetap sehat, strategi ini diperbolehkan. Perusahaan penjaminan sebagaimana perusahaan jasa keuangan lainnya mempunyai kewajiban kepada penerima jaminan yaitu dalam bentuk pemberian ganti rugi apabila si terjamin gagal untuk memenuhi kewajibannya terhadap si penerima jaminan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Tidak jarang terjadi bahwa pembayaran ganti rugi kepada penerima jaminan jauh melebihi pendapatan imbal jasa yang diterima sehingga perusahaan setiap saat dalam kondisi yang penuh dengan risiko.
Dihadapkan dengan situasi tersebut maka kemampuan perusahaan penjaminan untuk dapat memperkirakan seberapa besar klaim yang akan ditanggung selama satu tahun sangat membantu kesinambungan dari perusahaan. Angka perkiraan itu sendiri bukanlah didapatkan dari rekaan yang tanpa dasar namun didasarkan dari pengalaman yang telah teruji dalam kurun waktu tertentu. Dengan berdasarkan formula tertentu perusahaan penjaminan dapat membentuk cadangan yang bermanfaat dalam memberikan tingkat keakuratan daripada klaim yang harus dipenuhi di masa yang akan datang.
Dengan adanya ketentuan pencadangan, maka imbal jasa penjaminan yang diterima dapat dialokasikan secara lebih efektif. Sebagian dari imbal jasa yang diterima akan langsung dimasukkan ke cadangan setelah dikurangi dengan biaya operasional dan beban pemasaran. Tentunya dana yang disiapkan untuk cadangan tetap dapat digunakan untuk kegiatan investasi. Namun karena cadangan tersebut akan digunakan untuk kewajiban jangka pendek yang mempersyaratkan likuiditas yang tinggi, perusahaan harus dapat menginvestasikan dana tersebut pada sarana-sarana investasi yang sangat likuid.
Dalam usaha Penjaminan, strategi untuk meminimalisir pembayaran klaim di perbolehkan agar dapat menyelamatkan perusahaan penjaminan untuk membayar klaim lebih besar lagi. Perlakuan untuk menimalisir pembayaran klaim ini dilakukan oleh perusahaan asuransi di Eropa yang tergabung dalam asosiasi ICISA khususnya untuk produk Surety Bond. Surety Bond secara nature masuk dalam kategori usaha penjaminan namun sudah memasyarakat surety bond masuk dalam usaha asuransi.. Hal ini terjadi karena pada saat surety bond masuk dalam usaha asuransi belum ada regulasi yang mengatur tentang usaha Penjaminan. Dengan demikian, analogi penyelesaian klaim ini bisa diterapkan dalam usaha penjaminan di Indonesia. Hal yang berbeda terjadi pada proses penyelesaian klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi di ICISA adalah apa yang dilakukan oleh perusahaan asuransi di Amerika Serikat yang tidak menggunakan cara lain untuk mereduksi pembayaran klaim
Strategi Minimalisir pembayaran klaim ini hampir sama dengan strategi dalam penyelesaian kredit di perbankan. Namun tidak semua action plan dalam penyelesaian kredit di perbankan dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah klaim di usaha Penjaminan. Action plan yang digunakan harus disesuaikan dengan sifat nature dari Bisnis Penjaminan itu sendiri dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Faktor penting dalam menjalan usaha meminimalisir pembayaran klaim adalah berpatok pada dasar hukum dan regulasi yang ada. Dengan demikian, dasar hukum dan regulasi yang berlaku menjadi prasyarat utama dalam menjalankan strategi minimalisir pembayaran klaim apalagi menyangkut keuangan/asset negara dan keuangan perusahaan pemerintah. Hal tersebut harus dilakukan agar berazas pada azas kepatuhan (comply) terhadap regulasi yang ada.
II. Dasar Hukum
1. Keputusan Menteri Keuangan RI. No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2005 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
III. Kiat-Kiat Minimalisir Pembayaran Klaim dalam Usaha Penjaminan
3.1. Metode Minimalisir Pembayaran Klaim
Pengendalian risiko yang dilakukan oleh perusahaan penjaminan agar tetap sustain dimulai pada saat proses underwriting dengan menerapkan prinsip kehati-hatian sampai pada proses pembayaran klaim. Untuk melindungi kesehatan keuangan perusahaan penjaminan dalam menghadapi pembayaran klaim yang lebih besar karena usaha penjaminan adalah usaha yang berisiko tinggi, maka sesuai dengan regulasi yang ada, perusahaan penjaminan diperbolehkan melakukan suatu kebijakan atau treatment yang mengarah pada proses penyelesaian klaim yang menguntungkan perusahaan yang dikenal dengan Pre Claim Treatment . Pre claim treatment dirancang sebagai metode untuk meminimalisir pembayaran klaim dengan cara agar nasabah yang bermasalah dapat mengalami proses recovery sehingga mengurangi tingkat kegagalan/default atau mengurangi pembayaran klaim karena nilai tuntutan klaimnya menurun sebagai akibat proses busines recovery yang berhasil.
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam minimalisir pembayaran klaim yaitu sebagai berikut:
1. Pembayaran uang muka klaim (UMK) kepada obligee/Penerima Jaminan
2. Bantuan Penyelesaian Proyek agar proyek penerima jaminan/obligee dapat berjalan kembali dan sukses
3. Memberikan Penjaminan Kembali kepada Debitur yang sama untuk membantu memperoleh dana dari lembaga pembiayaan.
4. Memberikan pinjaman dengan menerbitkan Promissory Notes (PN) untuk membantu kebutuhan pembiayaan Terjamin dalam rangka mencapai prestasi yang ditetapkan oleh Penerima Jaminan
Dalam menawarkan solusi penyelesaian klaim yang melibatkan pihak Penerima Jaminan, Terjamin dan pihak lainnya, Perusahaan Penjaminan bertindak sebagai Negosiator yang menjembatani kepentingan seluruh pihak yang terkait. Fasilitasi yang diberikan untuk menyelesaikan klaim tersebut merupakan beban yang dapat ditawarkan pada pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, perusahaan penjaminan tidak mengeluarkan recovery cost yang relatif besar dibandingkan dengan klaim layak yang harus dibayarkan.
Strategi lainnya yang dapat dilakukan untuk mereduksi pembayaran klaim adalah dengan cara rescheduling dan reconditioning yang dapat memberikan keringan debitur dalam memperoleh pencapaian prestasi usaha yang dijamin.
3.2. Kewenangan Pengambilan Keputusan Untuk Strategi Penyelesaian Klaim
No.
Action Plan
Pejabat yang Berwenang Menilai dan Memutus
1.
Rescheduling
Direktur Teknis
2
Reconditioning
Direktur Teknis
3
Pembayaran UMK dan Penerbitan PN
Klasifikasi nilai UMK:
● s/d Rp. 5 Milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 5 milyar ≤ Rp. 10 milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 10 milyar
Direksi/Dekom
4.
Bantuan Penyelesaian Proyek
● s/d Rp. 1 Milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 1 milyar ≤ Rp. 5 milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 5 milyar
Direksi/Dekom
5.
Pemberian Penjaminan Kembali
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
3.3. Standar Operasi dan Prosedur Pre Claim Treatment.
Pemberian pre claim treatment untuk usaha mereduksi pembayaran klaim juga diperkirakan dapat menimbulkan risiko kerugian baru dalam proses pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi dan mengendalikan risiko yang terjadi dari proses pre claim treatment perlu disusun standar operasi dan prosedure yang memenuhi prinsip kehati-hatian, penerapan prinsip GCG, dan Pengenalan Mengenai Nasabah (PMN). Disamping itu, juga diperlukan tenaga ahli yang memiliki kompetensi khusus dapat berinteraksi dengan nasabah, memiliki pengetahuan tentang produk dan memiliki kompetensi dalam bidang hukum yang relevan.
Perkembangan dunia usaha yang semakin beragam dan penuh dengan komplesitas telah menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) usaha. Kondisi ini tentu akan menciptakan risiko usaha yang harus diantisipasi oleh dunia usaha. Berbagai cara untuk meminimalisir risiko dilakukan termasuk diantaranya menggunakan jasa asuransi dan penjaminan.
Jasa asuransi memberikan jasa penyebaran risiko antara perusahaan asuransi dan tertanggung dengan menerbitkan polis asuransi. Risiko yang ditanggung dalam asuransi bersifat tidak menentu (uncertainty) sehingga sulit diprediksi (unpredictable). Dalam asuransi, perjanjian penanggungan risiko melibatkan dua pihak yaitu penanggung dan tertanggung dimana tertanggung diwajibkan membayar premi untuk memperoleh perlindungan risiko yang menyebabkan timbulnya prinsip no premi no klaim. Konsekuensi prinsip asuransi ini adalah klaim yang diajukan oleh tertanggung dapat diterima apabila premi sudah dibayarkan. Namun demikian, pada kenyataan dalam praktek usaha asuransi, sertifikat/polis asuransi dapat diterima oleh tertanggung melalui mekanisme transaksi asuransi yang dapat melahirkan suatu pembayaran premi yang tidak cash and carry namun memerlukan suatu jangka waktu pembayaran. Pada Jasa asuransi untuk menyebarkan risiko (spread of risk) dapat dilakukan dengan beberapa strategi yaitu menggunakan jasa re-asuransi, co-sharing, dan pencadangan klaim. Strategi ini dilakukan agar kinerja keuangan perusahaan tetap baik pada saat terjadi klaim yang relatif besar. Pada dunia asuransi, tidak ada suatu strategi dalam meminimalisir nilai klaim yang sudah terjadi. Apabila risiko kerugian sudah terjadi dan layak maka penanggung harus segera membayar klaim sesuai yang diperjanjikan dalam polis asuransi. Hal ini berbeda dengan jasa Penjaminan yang memberikan peluang agar dapat meminimalkan pembayaran klaim melalui proses penyelesain klaim (pre claim treatment).
Dalam dunia penjaminan, penyebaran risiko dilakukan dengan melibatkan 3 (tiga pihak) yaitu Penjamin, Penerima Jaminan, dan Terjamin. Risiko yang timbul masih dapat diperkirakan (predictable) berdasarkan indikator risiko walaupun seringkali pengaruh moral hazard lebih dominan sebagai penyebab timbulnya risiko. Strategi yang dapat dilakukan untuk menyebarkan risiko penjaminan adalah dengan cara menggunakan re-guarantee, co-guarantee dan agunan. Penyebaran risiko untuk minimalisir pembayaran klaim yang terjadi dengan menggunakan agunan sebesar 20 % merupakan suatu strategi yang dapat dilakukan walaupun penjaminan itu sendiri merupakan pengganti agunan dalam memperoleh perlindungan risiko.
Dalam dunia penjaminan, pencadangan klaim sebagai antisipasi dari perkiraan klaim yang akan terjadi belum suatu keharusan dan belum diatur dalam regulasi penjaminan. Seandainya ada perusahaan penjaminan yang melakukan pencadangan klaim untuk antisipasi klaim yang akan terjadi dan dalam rangka untuk menjaga keuangan perusahaan agar tetap sehat, strategi ini diperbolehkan. Perusahaan penjaminan sebagaimana perusahaan jasa keuangan lainnya mempunyai kewajiban kepada penerima jaminan yaitu dalam bentuk pemberian ganti rugi apabila si terjamin gagal untuk memenuhi kewajibannya terhadap si penerima jaminan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Tidak jarang terjadi bahwa pembayaran ganti rugi kepada penerima jaminan jauh melebihi pendapatan imbal jasa yang diterima sehingga perusahaan setiap saat dalam kondisi yang penuh dengan risiko.
Dihadapkan dengan situasi tersebut maka kemampuan perusahaan penjaminan untuk dapat memperkirakan seberapa besar klaim yang akan ditanggung selama satu tahun sangat membantu kesinambungan dari perusahaan. Angka perkiraan itu sendiri bukanlah didapatkan dari rekaan yang tanpa dasar namun didasarkan dari pengalaman yang telah teruji dalam kurun waktu tertentu. Dengan berdasarkan formula tertentu perusahaan penjaminan dapat membentuk cadangan yang bermanfaat dalam memberikan tingkat keakuratan daripada klaim yang harus dipenuhi di masa yang akan datang.
Dengan adanya ketentuan pencadangan, maka imbal jasa penjaminan yang diterima dapat dialokasikan secara lebih efektif. Sebagian dari imbal jasa yang diterima akan langsung dimasukkan ke cadangan setelah dikurangi dengan biaya operasional dan beban pemasaran. Tentunya dana yang disiapkan untuk cadangan tetap dapat digunakan untuk kegiatan investasi. Namun karena cadangan tersebut akan digunakan untuk kewajiban jangka pendek yang mempersyaratkan likuiditas yang tinggi, perusahaan harus dapat menginvestasikan dana tersebut pada sarana-sarana investasi yang sangat likuid.
Dalam usaha Penjaminan, strategi untuk meminimalisir pembayaran klaim di perbolehkan agar dapat menyelamatkan perusahaan penjaminan untuk membayar klaim lebih besar lagi. Perlakuan untuk menimalisir pembayaran klaim ini dilakukan oleh perusahaan asuransi di Eropa yang tergabung dalam asosiasi ICISA khususnya untuk produk Surety Bond. Surety Bond secara nature masuk dalam kategori usaha penjaminan namun sudah memasyarakat surety bond masuk dalam usaha asuransi.. Hal ini terjadi karena pada saat surety bond masuk dalam usaha asuransi belum ada regulasi yang mengatur tentang usaha Penjaminan. Dengan demikian, analogi penyelesaian klaim ini bisa diterapkan dalam usaha penjaminan di Indonesia. Hal yang berbeda terjadi pada proses penyelesaian klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi di ICISA adalah apa yang dilakukan oleh perusahaan asuransi di Amerika Serikat yang tidak menggunakan cara lain untuk mereduksi pembayaran klaim
Strategi Minimalisir pembayaran klaim ini hampir sama dengan strategi dalam penyelesaian kredit di perbankan. Namun tidak semua action plan dalam penyelesaian kredit di perbankan dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah klaim di usaha Penjaminan. Action plan yang digunakan harus disesuaikan dengan sifat nature dari Bisnis Penjaminan itu sendiri dan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Faktor penting dalam menjalan usaha meminimalisir pembayaran klaim adalah berpatok pada dasar hukum dan regulasi yang ada. Dengan demikian, dasar hukum dan regulasi yang berlaku menjadi prasyarat utama dalam menjalankan strategi minimalisir pembayaran klaim apalagi menyangkut keuangan/asset negara dan keuangan perusahaan pemerintah. Hal tersebut harus dilakukan agar berazas pada azas kepatuhan (comply) terhadap regulasi yang ada.
II. Dasar Hukum
1. Keputusan Menteri Keuangan RI. No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan perusahaan Asuransi dan perusahaan Reasuransi.
2. Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2005 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi.
3. Peraturan Menteri Keuangan No. 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit
III. Kiat-Kiat Minimalisir Pembayaran Klaim dalam Usaha Penjaminan
3.1. Metode Minimalisir Pembayaran Klaim
Pengendalian risiko yang dilakukan oleh perusahaan penjaminan agar tetap sustain dimulai pada saat proses underwriting dengan menerapkan prinsip kehati-hatian sampai pada proses pembayaran klaim. Untuk melindungi kesehatan keuangan perusahaan penjaminan dalam menghadapi pembayaran klaim yang lebih besar karena usaha penjaminan adalah usaha yang berisiko tinggi, maka sesuai dengan regulasi yang ada, perusahaan penjaminan diperbolehkan melakukan suatu kebijakan atau treatment yang mengarah pada proses penyelesaian klaim yang menguntungkan perusahaan yang dikenal dengan Pre Claim Treatment . Pre claim treatment dirancang sebagai metode untuk meminimalisir pembayaran klaim dengan cara agar nasabah yang bermasalah dapat mengalami proses recovery sehingga mengurangi tingkat kegagalan/default atau mengurangi pembayaran klaim karena nilai tuntutan klaimnya menurun sebagai akibat proses busines recovery yang berhasil.
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam minimalisir pembayaran klaim yaitu sebagai berikut:
1. Pembayaran uang muka klaim (UMK) kepada obligee/Penerima Jaminan
2. Bantuan Penyelesaian Proyek agar proyek penerima jaminan/obligee dapat berjalan kembali dan sukses
3. Memberikan Penjaminan Kembali kepada Debitur yang sama untuk membantu memperoleh dana dari lembaga pembiayaan.
4. Memberikan pinjaman dengan menerbitkan Promissory Notes (PN) untuk membantu kebutuhan pembiayaan Terjamin dalam rangka mencapai prestasi yang ditetapkan oleh Penerima Jaminan
Dalam menawarkan solusi penyelesaian klaim yang melibatkan pihak Penerima Jaminan, Terjamin dan pihak lainnya, Perusahaan Penjaminan bertindak sebagai Negosiator yang menjembatani kepentingan seluruh pihak yang terkait. Fasilitasi yang diberikan untuk menyelesaikan klaim tersebut merupakan beban yang dapat ditawarkan pada pihak-pihak yang terlibat. Dengan demikian, perusahaan penjaminan tidak mengeluarkan recovery cost yang relatif besar dibandingkan dengan klaim layak yang harus dibayarkan.
Strategi lainnya yang dapat dilakukan untuk mereduksi pembayaran klaim adalah dengan cara rescheduling dan reconditioning yang dapat memberikan keringan debitur dalam memperoleh pencapaian prestasi usaha yang dijamin.
3.2. Kewenangan Pengambilan Keputusan Untuk Strategi Penyelesaian Klaim
No.
Action Plan
Pejabat yang Berwenang Menilai dan Memutus
1.
Rescheduling
Direktur Teknis
2
Reconditioning
Direktur Teknis
3
Pembayaran UMK dan Penerbitan PN
Klasifikasi nilai UMK:
● s/d Rp. 5 Milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 5 milyar ≤ Rp. 10 milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 10 milyar
Direksi/Dekom
4.
Bantuan Penyelesaian Proyek
● s/d Rp. 1 Milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 1 milyar ≤ Rp. 5 milyar
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
● > Rp. 5 milyar
Direksi/Dekom
5.
Pemberian Penjaminan Kembali
Direktur Teknis/Direktur Keuangan/Direktur Klaim
3.3. Standar Operasi dan Prosedur Pre Claim Treatment.
Pemberian pre claim treatment untuk usaha mereduksi pembayaran klaim juga diperkirakan dapat menimbulkan risiko kerugian baru dalam proses pelaksanaannya. Untuk mengantisipasi dan mengendalikan risiko yang terjadi dari proses pre claim treatment perlu disusun standar operasi dan prosedure yang memenuhi prinsip kehati-hatian, penerapan prinsip GCG, dan Pengenalan Mengenai Nasabah (PMN). Disamping itu, juga diperlukan tenaga ahli yang memiliki kompetensi khusus dapat berinteraksi dengan nasabah, memiliki pengetahuan tentang produk dan memiliki kompetensi dalam bidang hukum yang relevan.
REGULASI YANG MENGATUR LPK DI DAERAH KURANG HARMONIS
Pengembangan UMKM di daerah memerlukan Lembaga Penjaminan Kredit (LPK) dalam memperoleh kemudahan akses keuangan dan pembiayaan dari perbankan atau lembaga pembiayaan lainnya. Saat ini sudah ada sekitar 27 Pemda telah menjalankan bisnis penjaminan kredit UMKM di daerah yang bekerjasama dengan LPK namun perkembangannya relatif lambat dan belum optimal menjamin kredit UMKM. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah masih adanya keraguan Pemda dan perbankan di daerah dalam upaya menjalankan usaha penjaminan kredit karena pro kontra regulasi yang terkait dengan penjaminan kredit tersebut seperti halnya Permendagri No. 13/2006. Pemerintah selayaknya mengambil langkah segera untuk mengharmoniskan regulasi tersebut agar kegiatan ekonomi daerah berbasis UMKM dapat berlari kencang.
Peranan UMKM.
Peranan sektor riil dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional selama ini dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan kinerja yang fluktuatif. Peranan penting sektor riil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah menjadi fokus pemerintah dalam memperkuat struktur ekonomi. Pemerintah juga telah berupaya menggunakan seluruh kebijakan ekonomi dengan jalan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang merupakan motor penggerak ekonomi kerakyatan. Peranan UKM terhadap perekonomian pada saat krisis telah terbukti memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan entitas ekonomi lainnya dan tetap eksis memberikan kontribusi yang relative besar dalam pemulihan ekonomi. Pada saat ekonomi stabil pun, peranan UKM tetap dominan sebagai penopang ekonomi yang kokoh.
Peranan ekonomi kerakyatan dalam tatanan perekonomian nasional merupakan bagian yang sangat penting dan strategis, khususnya peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Strategi yang perlu dilaksanakan Pemerintah, diantaranya melalui pemberdayaan UMKM, sehingga mampu lebih berperan dalam pembangunan ekomoni daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejateraan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Belajar dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1997-1998, UMKM merupakan sektor yang memiliki daya tahan tinggi terhadap goncangan krisis ekonomi. UMKM terus tumbuh dari 43 juta unit usaha pada 2001 menjadi 48,9 juta unit usaha pada 2007 dan 49,84 juta unit usaha pada 2008 atau 99,99% dari keseluruhan pelaku usaha; terdiri dari Usaha Mikro 47,79 Juta Unit (95,70%). Usaha Kecil sebanyak 2,02 Juta Unit (4,05%) dan Usaha Menengah 120.253 Unit (0,24%). Peranan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) dalam mendorong perekonomian Indonesia sangatlah strategis, baik lingkup nasional maupun daerah.
Kendala UMKM
UMKM dalam mengembangkan usahanya banyak menemui kendala terutama yang menyangkut permasalahan permodalan baik untuk investasi maupun modal kerja. Penyebabnya antara lain bahwa UMKM sulit mengakses kredit perbankan untuk memperoleh sumber pembiayaan perbankan karena ketidakcukupan nilai agunan. Permasalahan yang dialami UMKM ini terjadi di berbagai daerah. Maka, salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk menggenjot pertumbuhan UMKM di wilayahnya adalah dengan Program Penjaminan Kredit UMKM. Penjaminan tersebut biasanya dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) bekerja sama dengan Perbankan (BPD) serta Lembaga Penjamin Kredit (LPK) yang masing-masing pihak melakukan sinergi dalam bentuk kerjasama Program Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Pemda dapat membentuk Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) maupun menggunakan LPK yang sudah berdiri, seperti PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. PT. Askrindo telah mempelopori usaha LPKD ini sejak tahun 2004 dan telah berhasil mengembangkan UMKM di daerah. Selayaknya PT. Askrindo memperoleh hak patent atas produk LPKD yang pada akhirnya diakui sangat positif dan membantu Pemda mengembangkan perekonomian daerah umumnya dan khususnya UMKM. Dalam skema LPKD yang dirintis oleh PT. Askrindo, untuk menarik minat BPD mengucurkan kredit kepada UMKM, maka resiko dijamin bersama oleh BPD, Pemda dan perusahaan penjamin dengan proporsi yang disepakati.
Regulasi Kurang Harmonis
Perkembangan LPKD di daerah yang dapat dikatakan sebagai ”Ibu” UMKM dalam memperoleh akses keuangan dari lembaga pembiayaan/perbankan perlu dukungan Pemda, perbankan, LPK juga regulasi yang mengaturnya. Saat ini ada secercah harapan yang bersumber dari regulasi yang mengatur penjaminan kredit yaitu dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi ini memberikan kesempatan untuk pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) melalui pola kerjasama dengan Pemda dan perbankan di daerah. Sementara itu, dasar hukum pendirian LPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi LPK, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”
Berdasarkan ketentuan tersebut perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan sehingga dapat melakukan diversifikasi usaha untuk mengurangi kerugian. Usaha penjaminan kredit menurut pengalaman LPK seperti halnya PT. Askrindo merupakan bisnis yang cenderung merugi karena misinya adalah public service obligation (PSO) untuk mensukseskan program pemerintah dalam mengembangkan UMKM ketimbang berorientasi keuntungan (profit oriented). Hal yang sama juga terjadi pada LPK di negara Asia seperti di Jepang, Korea, dan Malaysia.
Harapan dari regulasi untuk kemajuan penjaminan kredit di daerah menjumpai kendala dengan adanya regulasi lainnya yang kurang harmonis atau pro kontra. Pro kontra kini telah menjadi permasalahan hukum mengenai boleh atau tidaknya Pemerintah Daerah memberikan penjaminan kredit. Permasalahan hukum tersebut muncul karena adanya dua aturan yang bertentangan, yakni aturan hukum yang membolehkan bahkan menganjurkan dan aturan hukum yang tidak membolehkan pemanfaatan dana APBD untuk penjaminan kredit UMKM. Masalah hukum yang bertentangan tersebut menimbulkan polemik dan menimbulkan keragu-raguan, baik dari sisi Pemerintah Daerah, Lembaga Penjamin Kredit maupun Perbankan dalam upaya penjaminan kredit di daerah karena berkaitan dengan penerapan Good Clean Government (GCG). Permasalahan regulasi itu muncul karena ada regulasi yang kurang harmonis yaitu ada yang membolehkan dan tidak mengenai pelaksanaan penjaminan kredit yang dijalankan oleh Pemda.
Adapun aturan yang membolehkan antara lain:
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 21 ayat 1 yang isinya: ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil”
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 23 ayat 1 yang isinya: ”Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
a. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank
b. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jangkauan lembaga penjaminan kredit, dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.”
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 24 yang isinya: ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan, dengan :
a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan; dan
b. mengembangkan lembaga penjamin kredit dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.”
· UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 9 ayat 2 (k) yang isinya:
(2) Kepala Satuan kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang:
k. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah.
Sedangkan aturan hukum yang tidak membolehkan antara lain
· UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Pemerintah Daerah pasal 55 ayat 1 yang isinya: ”Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain”,
· Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah yang isinya: Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
· Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Paragraf 4 Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah yang isinya: Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
Regulasi yang kurang harmonis ini telah membuat keraguan pada Pemda dan BPD seperti halnya yang terjadi pada BPD Sulsel yang mengikuti petunjuk surat Dirjen. Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan No. 91/PK/2008 tgl. 28 Januari 2008, yang menyatakan bahwa “Daerah tidak dapat memberikan Jaminan atas pinjaman pihak lain”, oleh karena itu penjaminan kredit antara LPK bersama Pemda tidak dapat berjalan. BPD Kalbar juga menanyakan tentang dasar hukum boleh tidaknya APBD digunakan oleh Pemda untuk menjamin UMKM. Di Bali, Kerjasama Lembaga Penjamin Kredit dan Pemerintah Daerah untuk menjamin pengusaha kecil juga menjadi perhatian khusus BPK. Demikian juga Pemda lainnya, banyak yang tertarik untuk ikut serta menjadi penjamin bagi UMKM didaerahnya, baik dengan mendirikan LPKD maupun bekerja sama dengan LPK yang sudah eksis, akhirnya ditinjau ulang atau dibatalkan karena aturan hukum yang belum jelas.
Disisi lain, Bank Indonesia yang mempunyai program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sangat mendukung pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah. Di API – pilar 1 butir 3.a disebutkan bahwa dalam rangka memperkuat Struktur Perbankan Nasional, dan meningkatkan akses kredit bagi UMKM, Bank Indonesia memfasilitasi pembentukan Skim Penjaminan Kredit. Tidak heran kalau Bank Indonesia menggerakkan Kantor-kantor cabangnya untuk ikut mendukung pelaksanaan pendirian LPKD di daerah.
Agar perkembangan LPKD terus meningkat dan memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian daerah khususnya dan perekonomian nasional umumnya, pemerintah selayaknya melakukan beberapa hal yaitu; Pertama, memberikan perhatian serius agar permasalahan ketidakharmonisan regulasi tentang penjaminan kredit daerah dapat diselesaikan. Perlu suatu forum diskusi bersama yang melibatkan regulator ( Depkeu dan Depdagri ) dan pihak-pihak yang terlibat seperti Pemda, LPK, dan BPD untuk mengharmonisasikan regulasi yang bermasalah tersebut; kedua melakukan sinkronisasi pelaksanaan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) saat ini dengan usaha Pemda dalam mengembangkan UMKM di daerah melalui mekanisme LPKD agar dana yang digunakan untuk memperbesar kapasitas penjaminan dapat optimal; ketiga Pemerintah dan Pemda melakukan koordinasi dalam melakukan pengolahan data UMKM agar sasaran penyaluran KUR untuk UMKM kena sasaran dan optimal; dan keempat, harus dilakukan upaya monitoring dan evaluasi secara terus menerus dari penyaluran KUR agar LPK tidak mengalami kebangkrutan dengan jalan memberikan bantuan finansial dari pemerintah berupa bantalan keuangan untuk membayar nilai klaim yang terjadi. Hal ini perlu dilakukan karena secara nature penjaminan kredit KUR untuk UMKM cenderung merugi dan bersifat PSO.
*). Mulyono, SE, MM, pengamat Penjaminan Kredit
Peranan UMKM.
Peranan sektor riil dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi nasional selama ini dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan kinerja yang fluktuatif. Peranan penting sektor riil untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi telah menjadi fokus pemerintah dalam memperkuat struktur ekonomi. Pemerintah juga telah berupaya menggunakan seluruh kebijakan ekonomi dengan jalan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang merupakan motor penggerak ekonomi kerakyatan. Peranan UKM terhadap perekonomian pada saat krisis telah terbukti memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan entitas ekonomi lainnya dan tetap eksis memberikan kontribusi yang relative besar dalam pemulihan ekonomi. Pada saat ekonomi stabil pun, peranan UKM tetap dominan sebagai penopang ekonomi yang kokoh.
Peranan ekonomi kerakyatan dalam tatanan perekonomian nasional merupakan bagian yang sangat penting dan strategis, khususnya peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Strategi yang perlu dilaksanakan Pemerintah, diantaranya melalui pemberdayaan UMKM, sehingga mampu lebih berperan dalam pembangunan ekomoni daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan kesejateraan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Belajar dari pengalaman krisis ekonomi tahun 1997-1998, UMKM merupakan sektor yang memiliki daya tahan tinggi terhadap goncangan krisis ekonomi. UMKM terus tumbuh dari 43 juta unit usaha pada 2001 menjadi 48,9 juta unit usaha pada 2007 dan 49,84 juta unit usaha pada 2008 atau 99,99% dari keseluruhan pelaku usaha; terdiri dari Usaha Mikro 47,79 Juta Unit (95,70%). Usaha Kecil sebanyak 2,02 Juta Unit (4,05%) dan Usaha Menengah 120.253 Unit (0,24%). Peranan Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) dalam mendorong perekonomian Indonesia sangatlah strategis, baik lingkup nasional maupun daerah.
Kendala UMKM
UMKM dalam mengembangkan usahanya banyak menemui kendala terutama yang menyangkut permasalahan permodalan baik untuk investasi maupun modal kerja. Penyebabnya antara lain bahwa UMKM sulit mengakses kredit perbankan untuk memperoleh sumber pembiayaan perbankan karena ketidakcukupan nilai agunan. Permasalahan yang dialami UMKM ini terjadi di berbagai daerah. Maka, salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk menggenjot pertumbuhan UMKM di wilayahnya adalah dengan Program Penjaminan Kredit UMKM. Penjaminan tersebut biasanya dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) bekerja sama dengan Perbankan (BPD) serta Lembaga Penjamin Kredit (LPK) yang masing-masing pihak melakukan sinergi dalam bentuk kerjasama Program Penjaminan Kredit Daerah (PPKD). Pemda dapat membentuk Lembaga Penjamin Kredit Daerah (LPKD) maupun menggunakan LPK yang sudah berdiri, seperti PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. PT. Askrindo telah mempelopori usaha LPKD ini sejak tahun 2004 dan telah berhasil mengembangkan UMKM di daerah. Selayaknya PT. Askrindo memperoleh hak patent atas produk LPKD yang pada akhirnya diakui sangat positif dan membantu Pemda mengembangkan perekonomian daerah umumnya dan khususnya UMKM. Dalam skema LPKD yang dirintis oleh PT. Askrindo, untuk menarik minat BPD mengucurkan kredit kepada UMKM, maka resiko dijamin bersama oleh BPD, Pemda dan perusahaan penjamin dengan proporsi yang disepakati.
Regulasi Kurang Harmonis
Perkembangan LPKD di daerah yang dapat dikatakan sebagai ”Ibu” UMKM dalam memperoleh akses keuangan dari lembaga pembiayaan/perbankan perlu dukungan Pemda, perbankan, LPK juga regulasi yang mengaturnya. Saat ini ada secercah harapan yang bersumber dari regulasi yang mengatur penjaminan kredit yaitu dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 Tentang Lembaga Penjaminan dan Peraturan Menteri Keuangan R.I. No. 222/PMK.010/2008 Tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang. Regulasi ini memberikan kesempatan untuk pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah (LPKD) melalui pola kerjasama dengan Pemda dan perbankan di daerah. Sementara itu, dasar hukum pendirian LPKD adalah merujuk kepada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan Kredit, yang pada prinsipnya mengijinkan kepada Pemda dan masyarakat setempat untuk mendirikan serta mengelola LPKD, baik yang berbentuk Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, maupun Koperasi. Kemudian PerPres No. 2 Tahun 2008 tersebut ditindaklanjuti dengan petunjuk pelaksanaannya berupa PMK No. 222/PMK.010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang tatacara pendirian Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
Terbitnya PMK 222/PMK.010/2008 tersebut merupakan salah satu peluang bagi LPK, yaitu telah diterbitkannya regulasi di bidang Penjaminan, khususnya pada pasal 3 yang menyebutkan bahwa:
”untuk mendukung kegiatan usaha Penjamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan usaha lain antara lain :
g. Usaha lainnya yang ditetapkan oleh Ketua Bapepam dan Lembaga Keuangan”
Berdasarkan ketentuan tersebut perusahaan penjaminan memiliki peluang untuk berusaha di bidang non penjaminan sehingga dapat melakukan diversifikasi usaha untuk mengurangi kerugian. Usaha penjaminan kredit menurut pengalaman LPK seperti halnya PT. Askrindo merupakan bisnis yang cenderung merugi karena misinya adalah public service obligation (PSO) untuk mensukseskan program pemerintah dalam mengembangkan UMKM ketimbang berorientasi keuntungan (profit oriented). Hal yang sama juga terjadi pada LPK di negara Asia seperti di Jepang, Korea, dan Malaysia.
Harapan dari regulasi untuk kemajuan penjaminan kredit di daerah menjumpai kendala dengan adanya regulasi lainnya yang kurang harmonis atau pro kontra. Pro kontra kini telah menjadi permasalahan hukum mengenai boleh atau tidaknya Pemerintah Daerah memberikan penjaminan kredit. Permasalahan hukum tersebut muncul karena adanya dua aturan yang bertentangan, yakni aturan hukum yang membolehkan bahkan menganjurkan dan aturan hukum yang tidak membolehkan pemanfaatan dana APBD untuk penjaminan kredit UMKM. Masalah hukum yang bertentangan tersebut menimbulkan polemik dan menimbulkan keragu-raguan, baik dari sisi Pemerintah Daerah, Lembaga Penjamin Kredit maupun Perbankan dalam upaya penjaminan kredit di daerah karena berkaitan dengan penerapan Good Clean Government (GCG). Permasalahan regulasi itu muncul karena ada regulasi yang kurang harmonis yaitu ada yang membolehkan dan tidak mengenai pelaksanaan penjaminan kredit yang dijalankan oleh Pemda.
Adapun aturan yang membolehkan antara lain:
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 21 ayat 1 yang isinya: ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil”
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 23 ayat 1 yang isinya: ”Untuk meningkatkan akses Usaha Mikro dan Kecil terhadap sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
a. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jaringan lembaga keuangan bukan bank
b. menumbuhkan, mengembangkan dan memperluas jangkauan lembaga penjaminan kredit, dan
c. memberikan kemudahan dan fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan.”
· UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 24 yang isinya: ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Usaha Menengah dalam bidang pembiayaan dan penjaminan, dengan :
a. memfasilitasi dan mendorong peningkatan pembiayaan modal kerja dan investasi melalui perluasan sumber dan pola pembiayaan, akses terhadap pasar modal, dan lembaga pembiayaan; dan
b. mengembangkan lembaga penjamin kredit dan meningkatkan fungsi lembaga penjamin ekspor.”
· UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 9 ayat 2 (k) yang isinya:
(2) Kepala Satuan kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah berwenang:
k. menyiapkan pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah daerah.
Sedangkan aturan hukum yang tidak membolehkan antara lain
· UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat & Pemerintah Daerah pasal 55 ayat 1 yang isinya: ”Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain”,
· Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah yang isinya: Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
· Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Paragraf 4 Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah yang isinya: Pemerintah Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
Regulasi yang kurang harmonis ini telah membuat keraguan pada Pemda dan BPD seperti halnya yang terjadi pada BPD Sulsel yang mengikuti petunjuk surat Dirjen. Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan No. 91/PK/2008 tgl. 28 Januari 2008, yang menyatakan bahwa “Daerah tidak dapat memberikan Jaminan atas pinjaman pihak lain”, oleh karena itu penjaminan kredit antara LPK bersama Pemda tidak dapat berjalan. BPD Kalbar juga menanyakan tentang dasar hukum boleh tidaknya APBD digunakan oleh Pemda untuk menjamin UMKM. Di Bali, Kerjasama Lembaga Penjamin Kredit dan Pemerintah Daerah untuk menjamin pengusaha kecil juga menjadi perhatian khusus BPK. Demikian juga Pemda lainnya, banyak yang tertarik untuk ikut serta menjadi penjamin bagi UMKM didaerahnya, baik dengan mendirikan LPKD maupun bekerja sama dengan LPK yang sudah eksis, akhirnya ditinjau ulang atau dibatalkan karena aturan hukum yang belum jelas.
Disisi lain, Bank Indonesia yang mempunyai program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sangat mendukung pengembangan Lembaga Penjaminan Kredit Daerah. Di API – pilar 1 butir 3.a disebutkan bahwa dalam rangka memperkuat Struktur Perbankan Nasional, dan meningkatkan akses kredit bagi UMKM, Bank Indonesia memfasilitasi pembentukan Skim Penjaminan Kredit. Tidak heran kalau Bank Indonesia menggerakkan Kantor-kantor cabangnya untuk ikut mendukung pelaksanaan pendirian LPKD di daerah.
Agar perkembangan LPKD terus meningkat dan memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian daerah khususnya dan perekonomian nasional umumnya, pemerintah selayaknya melakukan beberapa hal yaitu; Pertama, memberikan perhatian serius agar permasalahan ketidakharmonisan regulasi tentang penjaminan kredit daerah dapat diselesaikan. Perlu suatu forum diskusi bersama yang melibatkan regulator ( Depkeu dan Depdagri ) dan pihak-pihak yang terlibat seperti Pemda, LPK, dan BPD untuk mengharmonisasikan regulasi yang bermasalah tersebut; kedua melakukan sinkronisasi pelaksanaan penjaminan Kredit Usaha Rakyat (KUR) saat ini dengan usaha Pemda dalam mengembangkan UMKM di daerah melalui mekanisme LPKD agar dana yang digunakan untuk memperbesar kapasitas penjaminan dapat optimal; ketiga Pemerintah dan Pemda melakukan koordinasi dalam melakukan pengolahan data UMKM agar sasaran penyaluran KUR untuk UMKM kena sasaran dan optimal; dan keempat, harus dilakukan upaya monitoring dan evaluasi secara terus menerus dari penyaluran KUR agar LPK tidak mengalami kebangkrutan dengan jalan memberikan bantuan finansial dari pemerintah berupa bantalan keuangan untuk membayar nilai klaim yang terjadi. Hal ini perlu dilakukan karena secara nature penjaminan kredit KUR untuk UMKM cenderung merugi dan bersifat PSO.
*). Mulyono, SE, MM, pengamat Penjaminan Kredit
Langganan:
Postingan (Atom)